| KLIT HOME | Berita / gosip terbaru KLIT | Photo Founder KLIT | Photo sOP KLIT | Photo aOP KLIT | Photo Lesbian other |
| Cerita-cerita HOT | Photo-photo HOT | Movie-movie HOT | Daftar hitam wanita | Artikel umum | IRC Help |
|
IRC tools | Download | Bintang zodiak | Ramalan cuaca | Serba-serbi | FORUM | Log Out |


Batas Sebuah Cinta
penulis : R1per - r1per@yahoo.com

Halaman 1

"Too Much Love Will Kill You." Itulah judul sebuah lagu yang secara tidak sengaja terlintas di dalam pikiran saya. Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja saya teringat akan judul tersebut dan tidak dapat melepaskan pikiran saya dari kata-kata tersebut.

Judul lagu tersebut mengingatkan saya akan banyak hal yang telah saya lalui dalam menjalani hubungan pertama saya, terutama saat hubungan itu sendiri berakhir.

Sebagai seorang lesbian, saya pertama kali menjalin hubungan serius pada usia 12 tahun, usia yang masih sangat muda, masa di mana emosi dan perasaan lebih mendominasi daripada akal dan pikiran yang rasional.

Pada masa itu, saya masih "baru" terhadap sesuatu yang namanya "cinta." Saya tidak pernah diberi pelajaran mengenai cinta, bagaimana cara menjalani dan menghadapinya, ataupun bagaimana cara menanggulanginya.

Saya hanya sering mendengar bahwa cinta itu indah. Bahwa saat kita jatuh cinta, dunia seakan penuh dengan bunga-bunga. Bahwa cinta dapat membawa kita ke tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan.

Maka, ketika untuk pertama kalinya saya jatuh cinta, saya jatuh cinta dengan sepenuh hati dan jiwa saya. Saya tidak lagi memikirkan bagaimana seharusnya saya mencintai pasangan saya. Saya hanya membuka pintu hati saya dan membiarkan hati saya untuk mencintai pasangan saya dengan tanpa limit, tanpa batasan, dan tanpa syarat.

Selama 6 tahun masa hubungan saya, saya menjadi bergantung kepada pasangan saya 100%. Apapun yang saya lakukan, saya lakukan demi untuk kebahagiaan pasangan saya, bukan untuk kebahagiaan kami berdua.

Pasangan saya menginginkan agar saya tidak bepergian lagi dengan kawan-kawan saya, saya tidak pernah lagi keluar dengan kawan-kawan saya. Pasangan saya menginginkan agar saya tidak berbicara, bahkan berteman lagi dengan kawan baik saya, sayapun tidak berbicara, bahkan berteman lagi dengan kawan baik saya. Pasangan saya mengatakan bahwa saya kurang maskulin, saya pun berusaha merubah diri saya menjadi lebih maskulin.

Secara perlahan namun pasti, saya menjadi seperti seorang pecandu narkoba yang menggantungkan hidupnya atas obat-obatan, namun dalam hal ini, "obat" tersebut adalah pasangan saya.

Begitu tergantungnya saya terhadap pasangan saya, sehingga saya tidak lagi bisa berpikir secara rasional bahwa apa yang saya kira "cinta" itu bukanlah cinta, akan tetapi "obat" yang secara perlahan akan menghancurkan hidup saya apabila dosis yang dikonsumsi tidak dikurangi dengan cepat.

Saya tidak tahu bahwa saat kita membuka pintu hati kita lebar-lebar, maka saat itu pulalah hati kita menjadi rentan terhadap segala hal yang dapat menyakitkan dan menghancurkan harapan hidup kita.

Saya tidak sadar bahwa saya perlu menyisakan sedikit ruang di hati saya, sekecil dan sesempit apapun, untuk diri saya sendiri, agar saya tidak kehilangan jati diri saya yang sebenarnya.

Yang saya tahu hanyalah bahwa saya mencintai pasangan saya dan saya tidak bisa hidup tanpa dia, maka saya akan berusaha semampu saya untuk menjadikannya seluruh hidup saya, walaupun saya kehilangan identitas diri saya sendiri sebagai konsekuensinya.

Tidak pernah terlintas sekalipun di benak saya bahwa nantinya saya akan hidup tanpa pasangan saya. Sampai kemudian kenyataan itu datang menghantam saya bak ombak besar di tengah lautan yang tenang.

Karena alasan klise, "ingin menjalin hubungan dengan pria," pasangan saya meninggalkan saya. Saya seperti dihantam oleh beribu-ribu ton baja. Saya seperti dibangunkan dari mimpi di siang bolong. Hati saya serasa disayat oleh pisau bergaram. Saat itu saya baru menyadari, betapa pahitnya kenyataan itu.

Saat pasangan saya pergi meninggalkan saya, dia tidak hanya membawa pergi dirinya dari hati saya, lebih dari itu, pasangan saya turut membawa pergi sebagian dari diri saya, sebagian dari hati saya, dan kemampuan diri saya untuk mencintai. Saat semuanya itu dirampas dari diri seorang manusia, bagaimanakah manusia itu mampu menjalani hidupnya seperti semula?

Apa yang terjadi kemudian? Saya seperti orang yang linglung. Layaknya orang yang kehilangan arah, setiap harinya saya hanya dapat tidur dan tidur, tenggelam dalam kepatah-hati-an dan keputus-asaan itu sendiri.

Saya tidak merasa lapar, saya tidak merasa haus, saya tidak mempunyai keinginan untuk terus menjalankan hidup saya. Yang saya inginkan hanyalah tidur, karena dengan tidur saya berharap segala kepedihan yang saya alami akan berakhir. Dengan tidur saya berharap saya dapat bermimpi untuk terus hidup dengan pasangan saya. Dengan tidur saya berharap saya tidak akan pernah harus bangun lagi.

Bodoh memang kedengarannya. Sekarangpun, jika saya melihat ke belakang, saya tidak habis berpikir, betapa bodohnya saya waktu itu. Akan tetapi, pada waktu itu, saya hanyalah seorang remaja berusia 18 tahun yang masih penuh dengan angan-angan cinta yang begitu muluk, jadi, siapakah yang dapat menyalahkan apa yang saya lakukan ?

Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk dapat "bangkit" dari segala kepedihan yang saya alami. Ironisnya, pada akhirnya, dari teman-teman sayalah saya mendapatkan dukungan dan bantuan moral. Dengan dukungan itulah, saya dapat melewati masa-masa paling sulit dalam hidup saya.

Secara bertahap saya mulai bisa membuka mata dan pikiran untuk melihat dan belajar bahwa patah hati tidak berarti akhir dari segalanya. Perlahan-lahan, saya mulai bisa melepaskan diri dari "ikatan" dan "bayangan" masa lalu.

Saya mulai menyadari bahwa menjadi diri saya seperti apa adanya bukanlah sebuah dosa. Saya tidak perlu merubah diri saya sedemikian rupa, mengerahkan seluruh upaya sampai di luar batas kemampuan saya sebagai seorang manusia dan seorang wanita, untuk membuktikan cinta saya.

Saya mulai mengerti bahwa bila kita mencintai pasangan kita dengan tulus, kita tidak akan menuntut, apalagi merubah pasangan kita menjadi apa yang kita inginkan. Namun justru, kita akan mencoba untuk belajar menerima dan mencintai pasangan kita apa adanya.

Pada akhirnya saya sadar bahwa hidup tidak pernah berhenti dan saya harus terus berjalan ke depan, dan di depan sana, entah kapan, cinta akan datang kembali singgah di hati saya. Dan bila ini terjadi, saya akan belajar untuk menyisakan sedikit ruang di hati saya untuk diri saya sendiri, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Satu pelajaran yang saya dapat dari pengalaman saya, bahwa cinta yang berlebihan itu tidaklah sehat. Mencintai seseorang itu bukan suatu kesalahan. Hanya ketika cinta itu mendominasi seluruh ruang hati dan akal sehat kita, saat itu pula lah kita patut mempertanyakan apakah itu cinta namanya? Ataukah itu sebuah ketergantungan?

Tentu saja, ini hanyalah pendapat saya pribadi yang didasari oleh apa yang telah saya alami secara pribadi. Pada akhirnya, setiap orang tentunya memiliki pengalaman dan pendapat yang berbeda-beda. Pelajaran apapun yang diambil pada akhirnya, semuanya itu kembali kepada pribadi masing-masing orang yang menjalaninya. *********

Tulisan diambil dari salah satu sumber di internet [swara srikandi]

Kembali ke artikel utama


 

Anda ingin mempunyai email dari situs Klit
user@klit.i-p.com segera klik ini

   

Contact email to founder : wienda_mansion@yahoo.com
Contact email to webmaster : klit_dalnet@yahoo.com

 

| BuKu TaMu | FoRuM | Log Out |


Copyright (c) Klit Generation 2003, Yogyakarta, Indonesian