GATRA, 27 September 2004
Syariat Tak Pernah Padam
KETIKA pemilihan presiden putaran kedua digelar pada 20 September lalu, Ustad
Ja'far Umar Thalib, 43 tahun, sedang mengajar santri-santrinya di Pondok Pesantren
Ihya 'as Sunnah. Tak seorang pun penghuni pesantren yang berlokasi di Desa
Degolan, Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu keluar untuk memberikan
suara pada calonnya.
Menurut Ketua Kelompok Pemungutan Pemilihan Suara Degolan, Suwarno, 70 tahun,
Ja'far tak pernah datang ke TPS, meski semua administrasi sudah beres. "Ini terjadi
sejak pemilu tahun sebelumnya," tutur Suwarno. Pesantren Ihya 'as Sunnah memiliki
lima ustad dengan 54 santri. Total warganya 70 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 40
orang yang sudah punya hak suara.
Di TPS 5 Degolan, tempat Ja'far mencoblos pada pemilu presiden putaran kedua,
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono(SBY)-Muhammad Jusuf Kalla meraih 119
suara. Megawati-Hasyim Muzadi mendapat 104 suara. Sebanyak 133 orang tak
menggunakan hak suaranya, termasuk komunitas pondok pesantren tempat Ja'far
menjadi pengasuhnya. Pada pemilu presiden putaran pertama, 5 Juli lalu, pasangan
Mega-Hasyim menduduki urutan pertama, diikuti SBY-Kalla, Wiranto-Salahudin
Wahid, Amien Rais-Siswono, dan paling bontot diduduki Hamzah-Agum.
Ja'far memilih tak ikut mencoblos karena merasa tak bisa berharap banyak dari
kandidat presiden yang ada. "Saya pesimistis dan tak bisa berharap banyak dari
presiden terpilih untuk memberlakukan syariat Islam," ujarnya memberi alasan. Kartu
pemilihnya digeletakkan saja di atas almari pakaian. "Untuk apa nyoblos kalau
ideologinya saja sudah haram," kata Ja'far tegas. Baginya, pemilihan umum adalah
bagian dari demokrasi buatan manusia. Padahal, masih kata Ja'far, ideologi selain
Islam adalah haram.
Dalam pandangan Ja'far, ideologi dan paham demokrasi yang sengaja diusung oleh
Barat itu bertujuan melawan dan menghancurkan Islam. Demokrasi sendiri, menurut
Ja'far, akan segera hancur dan digantikan dengan Islam. "Tunggu saja saat-saat
kehancurannya. Tanda-tandanya sudah mulai kelihatan. Tak ada negara di dunia yang
abadi dengan demokrasi," katanya mencoba menganalisis. Baginya, hanya Islam
yang akan melanggengkan dunia dan negara dari kehancuran. Ia mencontohkan Arab
Saudi, meski tak menerapkan Islam sepenuhnya, negaranya aman dan sejahtera,
serta bisa menjamin keadilan rakyatnya.
Bagi mantan Panglima Laskar Jihad ini, paham selain Islam tak bisa diterima. Ia
yakin dan masih mempunyai obsesi suatu saat penerapan syariat Islam secara kaffah
di Indonesia tercapai. "Saya akan tetap berjuang selama hayat masih dikandung
badan dan tidak akan pernah menyerah," katanya. Bagi Ja'far, dan orang-orang yang
sepaham dengannya, penerapan syariat Islam di Indonesia adalah sebuah keharusan.
Pasalnya, mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Syariat Islam, lanjut Ja'far,
memilih dan menempatkan keadilan secara sempurna. Meski tidak ada pemilihan
presiden laiknya pemilihan umum, suara dan perwakilan umat Islam dan warga
lainnya sudah diwakilkan pada ahlul halli wal aqdi, yang terdiri dari kalangan ulama,
orang-orang saleh, dan mereka yang ikhlas.
Para ahlul halli wal aqdi yang terpilih jelas bukan orang sembarangan. Mereka tak
hanya teruji secara kemampuan, melainkan juga secara moral dan agama. "Jika
konsep ini digunakan, dapat menghindari salah pilih wakil dan pejabat yang bukan
ahli dan kemampuannya," katanya. Adapun umat di luar Islam, tambah Ja'far, tetap
terlindungi karena hukumnya jelas.
Mereka juga punya wakil di ahlul halli wal aqdi. Baginya, tak ada istilah darurat untuk
menunda penerapan syariat Islam. Pasalnya, darurat hanya diperbolehkan kalau
situasi dan kondisinya yang alamiah bukan buatan manusia. "Sementara ajakan
berdemokrasi di Indonesia sengaja ada dan diadakan," katanya.
Lalu, bagaimana sikapnya terhadap sesama muslim yang berjuang di jalur demokrasi
dan berpolitik dengan mendirikan partai? "Saya tetap menjalin hubungan baik dan
silaturahmi dengan mereka. Namun saya juga selalu memberikan tausiyah (pesan)
bahwa demokrasi adalah akal-akalan manusia Barat saja," katanya seraya
menyunggingkan senyum. Sejauh ini, Ja'far pesimistis bahwa muslim yang berlaga di
medan demokrasi bisa menegakkan syrariat Islam dengan kaffah. "Sulit menegakkan
syariah kalau negaranya masih berdemokrasi. Meski tidak harus negara Islam, aturan
negaranya harus syariah dulu atau, paling tidak, ada arah untuk menerapkan syariat
Islam," paparnya.
Ustad yang selalu berserban dan berbaju gamis ini mengaku, partai politik sebagai
alat demokrasi hanya akan menjadi alat untuk melakukan politik praktis. Partai politik
dan tokoh Islam yang sudah masuk partai dan terjun ke kancah demokrasi pasti akan
terkontaminasi paham. "Akhirnya tidak akan pernah murni berjuang lagi menegakkan
syariat Islam," tuturnya.
Kalau sudah demikian, sikap parpol dan orang Islam pasti akan oportunis. "Kalau toh
kini belum oportunis, karena belum dapat jatah," kata Ja'far. Kepada anak dan ketiga
istrinya, ia melarang menggunakan hak pilihnya. Sedangkan para santri diberi
kebebasan. Dalam prakteknya, tak satu pun santrinya yang keluar pondok untuk
menyalurkan suara ke TPS terdekat.
Meski tak bersetuju dengan demokrasi dan berjuang lewat politik praktis, silaturahmi
dengan mereka yang memilih jalur ini tetap dilakukan. Ja'far menerapkan prinsip
dakwah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW bahwa addinu-n-nasihah (agama itu
nasihat). Ya, untuk beriman dan ikhlas untuk-Nya. Dengan prinsip dakwah seperti itu,
pendekatan kepada tokoh-tokoh yang dipandang dapat membikin perubahan yang
signifikan bagi kehidupan bangsa dan negara ini terus dilakukan. Adapun inti
nasihatnya yang selalu ditekankan adalah untuk kembali kepada Islam dan
membangkitkan semangat komitmen terhadap Islam.
Ja'far berpandangan bahwa kaum muslimin harus menaati penguasa, siapa pun
penguasa itu. Dan menaati itu dalam perkara yang makruf, yang baik. Kepada para
pemimpin negeri, ia memberi nasihat agar jangan berlarut-larut dalam berbagai
kejahatan dan kezaliman. "Itu yang terus-menerus kami dakwahkan," kata ayah 10
putra-putri ini.
Orang-orang yang berpaham seperti Ja'far Umar Thalib itu tidak sedikit. Di Indonesia,
ada puluhan ribu umat Islam yang punya paham seperti Ja'far. Mantan pejuang di
Afghanistan ini menyebut komunitas itu sebagai salafi. Aktivitas mereka berdakwah
dengan pola-pola yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Karena menolak demokrasi dengan segala perangkatnya, mereka jarang terdengar
kiprahnya di masyarakat. Mereka bekerja seperti warga negara lainnya. Namun
aktivitas dakwahnya lebih menonjol. Di mana pun berada, mereka membuat aktivitas
dakwah di lingkungannya, baik itu berupa pesantren maupun lembaga-lembaga
pendidikan yang memberantas buta huruf Al-Quran.
Tapi, ketika pada April 2000 Ja'far Umar Thalib memimpin Laskar Jihad ke Ambon,
republik ini geger. Dengan memakai serban, baju gamis, celana di atas mata kaki,
jenggot dipanjangkan, bersenjatakan pedang dan bedil seadanya, sekitar 2.000
anngota Laskar Jihad diterjunkan ke Ambon yang waktu itu sedang dilanda konflik
horizontal. Tidak hanya itu, sedikitnya 700 personel Laskar Jihad juga diterjunkan ke
Poso. Mereka terdiri dari beragam profesi dan latar belakang, dari ustad, mahasiswa,
sampai pekerja kasar.
Kehadiran mereka di medan laga itu memicu kontroversi berkepanjangan. Tapi Laskar
Jihad yang merupakan sayap militer Forum Komunikasi Ahlu-Sunnah Wal-Jamaah
(FKSWJ) itu punya argumen lain. "Sepanjang pemerintah tidak mampu melindungi
umat Islam di wilayah konflik, kami terpanggil untuk membelanya," begitu Ja'far Umar
Thalib memberi pembenaran. Lalu mereka pun hadir di medan konflik, tidak hanya
untuk berperang, juga membangun masyarakat dengan cara-cara Islami.
Komunitas Laskar Jihad di Ambon dan Poso mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
dan pelayanan kesehatan. Juga memberi pelajaran dan teladan bagaimana hidup
secara Islam itu. Hal ini tampak, antara lain, tak lagi dibenarkannya membunuh
musuh dengan cara-cara di luar kemanusiaan, melindungi anak-anak, perempuan,
dan para manula, serta tidak menganggu rumah ibadah umat lain.
Syariat Islam pun diterapkan di Ambon. Di wilayah muslim Ambon, tak ada lagi
peredaran minuman berakohol, pelacuran diberantas, perjudian ditutup. Hukum rajam
juga diberlakukan ketika anggota laskar memerkosa seorang warga. Kecaman pun
bertubi-tubi dialamatkan kepada kelompok ini. Ja'far sempat diperiksa dan ditahan
polisi dengan berbagai macam tuduhan, dari memberlakukan hukum di luar hukum
positif nasional sampai tuduhan mencemarkan nama baik presiden ketika berpidato di
Ambon. Setelah diproses di pengadilan, Ja'far lolos dari jeratan hukum.
Munculnya Laskar Jihad yang tiba-tiba itu sempat membuat orang terkejut. Tapi,
ketika pada 7 Oktober 2002 Ja'far mengumumkan dibubarkannya Laskar Jihad,
masyarakat tak kalah terkejutnya. Ada apa gerangan? Kepada Gatra, Ja'far
mengungkapkan bahwa mereka mendapat teguran keras dari Syekh Robi' bin Hadi
al-Makdkhali, guru besar ilmu hadis di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Menurut Ja'far, Syekh Robi' marah karena Laskar Jihad sudah dimanfaatkan oleh para
tokoh politik Islam.
Syekh Robi' menunjuk, misalnya, ketika FKSWJ mengadakan mukernas di Pondok
Gede, Jakarta, 13 Mei 2002, tokoh-tokoh politik seperti Hamzah Haz (PPP), Hidayat
Nur Wahid (PKS), dan Ahmad Sumargono (PBB) datang diundang dan berceramah.
Juga tabloid Laskar Jihad yang menghadirkan orang-orang yang tak mengerti tentang
manhaj salafi ikut mengisi dan menulis di sini. Upaya klarifikasi sudah dilakukan, tapi
tidak berhasil. Akhirnya, Laskar Jihad dibubarkan. Para aktivisnya kembali ke
kehidupan normal, dan bekerja seperti sediakala.
Tapi perjuangan dan keteguhan Ja'far Umar Thalib memberlakukan syariat Islam
memang tak pernah padam. Bahkan setelah Laskar Jihad dibubarkan, keyakinannya
makin menjadi-jadi. "Islam sangat komplet mengatur dan mengontrol kehidupan
manusia. Hukum buatan manusia tak akan pernah menyelamatkan manusia," kata
Ja'far, seakan mengajak untuk berpikir ulang tentang sistem kenegaraan yang kita
pilih.
Herry Mohammad dan Sujoko
[Kontra-Demokrasi, Gatra Edisi Khusus Beredar 27 November 2004]
Copyright © 2002-04 Gatra.com.
|