KOMPAS, Rabu, 01 Desember 2004
Pendidikan di Ambon Masih Memprihatinkan
Ambon, Kompas - Kondisi pendidikan di Kota Ambon setelah konflik, yang
berkecamuk sejak tahun 1999 mereda, belum sepenuhnya pulih. Masih terdapat
sejumlah sekolah yang bangunannya dalam kondisi memprihatinkan. Selain itu,
prasarana penunjang seperti fasilitas laboratorium dan buku-buku pelajaran juga
sangat tidak memadai.
Salah satu sekolah yang kondisinya memprihatinkan adalah Sekolah Menengah Atas
(SMA) Negeri 9 Ambon Sentra Waiheru. Dari pemantauan Kompas, Selasa (30/11),
bangunan sekolah yang juga ditempati Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 16
Ambon dan Sekolah Dasar (SD) Negeri 91 Waiheru itu sangat parah. Hampir semua
jendela tidak ada kacanya dan banyak pintu yang berlubang hingga separuh. Untuk
menghindari tiupan angin dan air saat hujan, beberapa jendela terpaksa ditutup
dengan seng atau papan kayu.
Langit-langit ruang kelas pun banyak yang sudah terkelupas. Langit-langit kelas yang
semula berwarna putih banyak yang sudah menghitam karena jamur akibat seringnya
terguyur hujan. Genteng juga banyak yang bocor, sementara kayu-kayu penyangga
atap dimakan rayap.
Lingkungan sekolah sangat kotor. Selain dinding sekolah banyak coretan, di lantai
kelas juga banyak sisa tanah akibat banjir yang sulit dibersihkan. Guru SMA Negeri 9
Ambon Sentra Waiheru Muhammad Yunus, menyatakan, bukannya siswa dan guru
tidak mau membersihkan kelas, tetapi percuma karena setiap hujan ruangan kelas
akan kebanjiran lagi.
Karena banyak genteng yang bocor, kegiatan belajar-mengajar terpaksa dipindahkan.
Menurut guru lainnya, Is Longka, bila hujan siswa terpaksa belajar di teras sekolah.
Itu pun diprioritaskan bagi siswa kelas III yang sebentar lagi akan mengikuti ujian
akhir nasional.
Selasa kemarin, PLN juga memutuskan aliran listrik di sekolah tersebut. Menurut
guru mata pelajaran Sosiologi, Taha Mansur, sekolah tersebut menunggak rekening
listrik selama 50 bulan sebesar Rp 6,6 juta.
Terpecah
Sebelum konflik terjadi, SMA Negeri 9 Ambon Sentra Waiheru merupakan sekolah
unggulan pertama di Kota Ambon. Di sekolah itu tersedia asrama bagi siswa putra
dan putri. Fasilitasnya pun cukup lengkap, mulai dari berbagai peralatan laboratorium
hingga komputer.
Setelah konflik, sekolah itu hancur. Pendidikan siswa pun dititipkan di SMA Negeri 3
Ambon. Setelah keamanan makin membaik, SMA Negeri 9 diaktifkan kembali. Sejak
itu sekolah terpecah dua, yaitu di daerah Waiheru, yang berjarak sekitar 20 kilometer
dari Ambon sebagai sekolah induk, dan di Talake, di dalam kota. Perpecahan terjadi
karena perbedaan keyakinan siswa dan guru dengan agama mayoritas masyarakat
Waiheru.
Sampai sekarang sekolah masih terpisah. Sebanyak 513 siswa belajar di Waiheru
dengan 29 orang guru, yang 26 guru di antaranya merupakan guru honorer. Di Talake,
menurut Taha, terdapat sekitar 40 siswa dengan 40 orang guru. Semua fasilitas
sekolah di Waiheru dipindahkan ke dalam kota. Akibatnya, sekolah di Waiheru harus
dibiayai sendiri oleh siswa dan guru.
Menurut Taha, beberapa kali Pemerintah Kota Ambon dan anggota DPRD Kota
Ambon mengunjungi sekolah itu dan menjanjikan akan segera memperbaikinya.
Namun, janji-janji tersebut tidak terbukti. Karena itu, Senin lalu para siswa melakukan
unjuk rasa di Kantor Wali Kota Ambon menuntut perhatian menyangkut nasib
pendidikan mereka. (MZW)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|