KOMPAS, Kamis, 11 November 2004
Kami Ingin Hidup Kembali seperti Biasa
BEBERAPA hari terakhir ini suasana Gedung Asari Masjid Al Fatah, Ambon, pada
malam hari begitu semarak. Ratusan orang, sebagian besar muda-mudi, berdiri
berdesak-desakan memenuhi gedung. Terbatasnya kapasitas gedung membuat
pengunjung meluber hingga ke sepanjang jalan menuju gedung yang terletak persis di
samping Masjid Al Fatah dan di belakang Masjid Jami, Ambon.
SEJAK 31 Oktober hingga 8 November lalu, di Masjid Al Fatah kembali digelar
Festival Ramadhan 1425 Hijriah/2004 Masehi. Pesta budaya Islam di Ambon yang
menampilkan lomba azan, lagu kasidah, dan lagu-lagu pengantar sahur tersebut
pelaksanaannya sempat terhenti sejak konflik agama bergejolak di Maluku lima tahun
silam. Bedanya, bila dulu acara tersebut digelar di halaman masjid, kini dilaksanakan
di dalam gedung.
Semasa konflik, Gedung Asari difungsikan sebagai rumah sakit darurat untuk
mendukung Rumah Sakit Al Fatah yang terbatas daya tampungnya. Gedung, yang
selama sembilan hari belakangan ini suasananya meriah, itu dulu menjadi tempat
perawatan warga Muslim yang terluka. Bahkan, gedung tersebut pernah pula
dijadikan tempat mengafani mayat-mayat yang meninggal akibat pertikaian
antarkomunitas berbeda agama.
TANGGAL 30 Oktober lalu menjadi momentum bersejarah bagi kehidupan beragama
di Maluku. Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu berkenan memberikan sambutan
dalam peringatan Nuzulul Quran.
Acara keagamaan yang juga dihadiri oleh para bupati dan wali kota se-Provinsi
Maluku tersebut merupakan yang pertama kali digelar secara terbuka sejak
kerusuhan. Untuk pertama kalinya juga, sejak konflik berkecamuk, semua pejabat
daerah menghadiri acara keagamaan yang diselenggarakan di masjid terbesar di
Maluku tersebut.
Menurut Lukman, seorang pengungsi asal Wainitu, yang pernah beberapa kali
mengungsi ke Masjid Al Fatah, kehadiran tokoh pemerintah dan masyarakat dari
keyakinan yang berbeda telah dapat diterima oleh masyarakat dari komunitas yang
berlainan keyakinan.
Di saat awal konflik terjadi, lanjut Lukman, pejabat sipil dan militer yang berasal dari
komunitas berbeda yang datang mengunjungi pengungsi dan korban luka di Masjid Al
Fatah akan mendapat lemparan batu dari pengungsi yang marah. Mereka geram
terhadap pejabat yang dipandang sebagai kelompok yang telah mengakibatkan
penderitaan mereka.
Selama Ramadhan ini, Masjid Al Fatah juga dipadati oleh umat Islam yang hendak
melaksanakan ibadah. Mereka tidak saja berasal dari Ambon, tetapi juga dari seluruh
pelosok daerah di Maluku. Pelaksanaan shalat lima waktu maupun shalat tarawih
berjalan lancar tanpa ada kendala keamanan maupun teror bom yang masih cukup
marak di Ambon.
Ruangan masjid pun terasa lega. Berbeda pada saat pengungsi masih menghuni
sebagian besar ruangan masjid. Ruang utama masjid terpaksa harus diatur
sedemikian rupa sehingga tetap dapat digunakan untuk beribadah walaupun harus
berdesakan dengan pengungsi.
Menurut seorang jemaah, Harry Tuharea, sejak hari kedua setelah kerusuhan di
Ambon mulai berkecamuk Januari 1999, ribuan pengungsi telah memadati Al Fatah.
Keberadaan pengungsi di dalam masjid tersebut sempat membuat resah. Pasalnya,
kekhusyukan jemaah dalam beribadah menjadi terganggu.
Namun, akhirnya jemaah dapat memaklumi kehadiran para pengungsi yang mencari
perlindungan keamanan itu. Kerusuhan memang dapat pecah sewaktu-waktu, seperti
saat upacara peringatan ulang tahun ke-54 Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April
2004 silam, gelombang pengungsi di Masjid Al Fatah terjadi beberapa kali. Masjid
yang menjadi kebanggaan umat Islam Maluku tersebut baru terbebas dari pengungsi
sekitar pertengahan tahun 2004.
Satu aktivitas yang tak pernah berubah selama konflik berlangsung adalah pasar
kaget ramadhan di depan Masjid Al Fatah. Pasar yang menyediakan berbagai
makanan dan minuman untuk berbuka puasa tersebut selama dua tahun terakhir ini
ramai dikunjungi oleh pembeli dari dua komunitas masyarakat Ambon yang pernah
bertikai. Tak ada pembedaan agama, semua orang dapat menikmati aneka penganan
yang dijajakan.
MENURUT imam Masjid Al Fatah, Haji Ahmad Bantan, tahun ini umat Islam di
Ambon dapat melaksanakan ibadah dengan lebih baik dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Konflik berkepanjangan dan pertikaian yang muncul secara
tiba-tiba selama tahun 1999 hingga awal tahun 2004 membuat umat Islam tidak
tenang saat menjalankan ibadah. "Dalam kerusuhan, orang-orang tidak tenang
beribadah karena mereka terpecah-pecah," kata Bantan.
Maraknya teror bom di sejumlah rumah ibadah, gedung perkantoran, dan
tempat-tempat bisnis di Ambon mau tidak mau membuat umat Islam khawatir.
Menurut Bantan, masyarakat cemas apabila teror tersebut merembet ke daerah
mereka. Oleh karena itu, Bantan berharap agar umat tetap waspada.
"Jika terjadi teror bom di daerah kami, konflik bisa pecah lagi," kata Bantan. Menurut
dia, trauma konflik dalam benak mereka masih belum hilang betul. Agar umat tidak
terpancing, Bantan berharap aparat keamanan dan pemerintah mampu segera
menangkap orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang memancing emosi dan
menebar teror bom serta mengadu domba umat. Orang-orang itulah yang dapat
kembali menjauhkan kerukunan umat beragama yang kini perlahan-lahan tengah
dibina kembali.
"Kami ingin kembali hidup seperti biasa. Umat maunya dapat hidup untuk dunia dan
akhirat dengan tenang," kata Bantan. Ia juga berharap masyarakat tidak mudah
terprovokasi.
Meskipun demikian, saat ini di dalam masyarakat dari dua komunitas yang pernah
bertikai mulai timbul kesadaran bahwa teror bom tersebut hanya bermaksud mengadu
domba mereka. "Masyarakat sudah tidak mudah terprovokasi lagi. Setiap teror yang
ada, penanganannya diserahkan kepada aparat keamanan," kata Harry yang juga
Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Pattimura Ambon.
Pada tahun-tahun awal bergolaknya kerusuhan, setiap ada isu bom, masyarakat yang
mendapat teror selalu melempari masyarakat dari komunitas lain dengan batu.
Padahal, tuduhan tersebut belum tentu benar. Kini ditemukannya sejumlah bom di
daerah yang menjadi basis komunitas tertentu diyakini bukan lagi berasal dari
masyarakat yang berbeda agama.
Masyarakat pun mulai membaur kembali. Mereka dapat bekerja dan beraktivitas di
daerah lain yang berbeda keyakinan dengan yang dianutnya. Masyarakat kini pun
dapat leluasa melakukan aktivitas keseharian mereka. "Yang penting, kita saling
menghormati dan menghargai," papar Harry.
Masih banyak tantangan dan ujian kerukunan hidup beragama di Ambon. Salah
satunya dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri nanti. Untuk pertama kalinya sejak tahun
1999, rencananya shalat tersebut akan kembali digelar di Lapangan Merdeka, di
depan Kantor Gubernur Maluku. Selama konflik berlangsung, shalat Idul Fitri biasa
dilaksanakan di Masjid Al Fatah.
Lapangan Merdeka merupakan daerah perbatasan di antara dua komunitas. Lokasi
lapangan juga terletak berseberangan dengan Gereja Maranatha yang juga menjadi
pusat krisis selama konflik, selain Masjid Al Fatah.
Semoga kesadaran masyarakat bahwa konflik hanya akan memecah kerukunan dan
merusak seluruh sendi kehidupan mereka semakin meningkat.... (M ZAID WAHYUDI)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|