KOMPAS, Kamis, 18 November 2004
Pemerintah Gagal Rekonsiliasikan Poso
Oleh Arianto Sangaji
SUSILO Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, dua nama yang pernah terkait erat
dengan pemulihan keamanan dan rekonsiliasi Poso kini menjadi Presiden dan Wakil
Presiden RI. Namun, ketegangan etno-religi terus terjadi di Sulawesi Tengah sejalan
naiknya mereka ke kekuasaan.
Di Poso, ada penembakan misterius, pembunuhan misterius, dan pemboman
misterius. Di Sidondo, sebuah desa di Kabupaten Donggala, paling tidak empat
nyawa sudah melayang dalam masa hampir satu tahun terakhir. Di Morowali,
kabupaten yang dimekarkan dari Poso tahun 1999, ketegangan antarkelompok
semakin memanas. karena perebutan ibukota kabupaten. Ringkas cerita, ketegangan
sejenis hampir terjadi di semua wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, jika melihat
berbagai kasus lain di luar tiga tempat itu.
Selama ini sebagian masyarakat melihat kekerasan Poso sebagai manifestasi konflik
etno-religi. Kekerasan yang berlangsung hampir enam tahun telah menanamkan
saling curiga antaranggota masyarakat dengan latar belakang etnik dan agama
berbeda. Bagaimana pun, merujuk identitas korban, masyarakat lalu memercayainya
sebagai konflik etno-religi.
Kegagalan pemerintah
Berlarut-larutnya kekerasan di Poso bersumber dari kegagalan pemerintah. Pertama,
kegagalan memberi perlindungan keamanan kepada warga, terutama ditandai
membiarkan pertumbuhan kelompok-kelompok bersenjata non-negara (non-state
armed groups) di Poso. Kelompok-kelompok ini terlatih dan tergorganisir
menggunakan kekerasan bersenjata sebagai metode. Ironisnya, pemerintah sama
sekali tidak memiliki kebijakan keamanan tentang kelompok ini sehingga
menyuburkan pertumbuhannya.
Kegagalan pemerintahn juga terlihat dari luasnya penyebaran gelap senjata api dan
amunisi di daerah ini. Sama sekali tidak ada usaha untuk memangkas sumber
pasokan senjata api dan amunisi. Juga tidak mencegah penyalahgunaan senjata oleh
aktor non-negara. Diketahui, berbagai jenis senjata serbu (assault rifles) seperti M-16,
AK-47, SS-1, dan berbagai senjata laras pendek, serta amunisi buatan PT Pindad
menyebar di daerah ini.
Padahal, enam tahun terakhir pengiriman pasukan keamanan ke Poso meningkat
tajam. Ditandai berulang-ulangnya pengerahan pasukan non-organik TNI dan Polri,
penempatan pasukan organik baru (TNI AD dan Brimob), hingga pemekaran dan
rencana pemekaran komando teritorial (TNI AD) dan institusi setingkat untuk Polri
(Kepolisian Resor) yang baru. Artinya, sama sekali tidak ada korelasi antara
pengerahan pasukan dan peredaan kekerasan.
Kedua, ketidakjelasan konsep tentang rekonsiliasi. Kecenderungan ini sudah mulai
terlihat sejak inisiatif Pertemuan Malino Desember 2001. Dalam pertemuan itu,
komunitas Islam dan Kristen menjadi obyek rekonsiliasi, sementara posisi
pemerintah adalah mediator atau fasilitator. Artinya, kedua komunitas adalah
pembuat masalah, dan pemerintah adalah pihak di luarnya.
Ini jelas mendistorsi fakta tentang kekerasan Poso. Banyak bukti menunjukkan,
eskalasi kekerasan sebenarnya terkait langsung dengan institusi negara. Pembiaran
kekerasan oleh aparat keamanan, penyebaran senjata api dan amunisi, serta
keterlibatan langsung sejumlah aparat keamanan dalam kekerasan membuktikan,
kekerasan di sana tidak (sepenuhnya) bersumber dari masyarakat.
Ketidakjelasan rekonsiliasi itu menyebabkan pendekatan penyelesaian Poso nyaris
gagal. Pengiriman pasukan keamanan sama sekali tidak mampu mengakhiri
kekerasan. Pembentukan kelompok kerja Deklarasi Malino (Pokja Deklama) yang
terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat setempat hampir tidak efektif bekerja, karena
tidak menyentuh kepentingan kelompok korban dan cenderung project driven.
Proyek-proyek pemulihan dan rehabilitasi tidak mampu menarik pengungsi kembali
ke kampung halaman seperti semula.
Berkaca pada hal itu, pemerintah harus menyatakan secara jujur dan terbuka, dirinya
telah gagal mencegah kekerasan dan memulihkan keadaan di Poso, Kompensasinya,
pemerintah wajib memulihkan hak-hak penduduk di Poso, merehabilitasi semua
kerusakan (fisik dan mental), mengompensasi semua kerugian dan menjamin tidak
akan terulangnya kekerasan di sana.
Komisi Kebenaran
Pemerintah SBY dan JK harus menyusun langkah baru untuk penanganan Poso.
Langkah mendasar adalah membaca ulang kekerasan Poso dengan kacamata baru.
Yakni, tidak menyederhanakan kekerasan di sana sebagai problem antarkomunitas,
tetap memahaminya sebagai problem politik yang kompleks. Di mana kekerasan
sebenarnya terkait kepentingan (politik dan ekonomi) aktor-aktor tertentu dalam tubuh
negara. Selama ini, perbincangan resmi tentang kekerasan Poso tidak pernah
menyentuh hal ini. Tentu, karena kendala politik dibanding alasan teknis.
Untuk itu, pemerintah perlu membentuk semacam komisi independen tentang
kebenaran di Poso. Kewenangan komisi ini adalah mengumpulkan fakta tentang
kekerasan dan melihat tali-temalinya dengan para aktor negara. Dengan dmeikian,
komisi ini punya kewenangan menginvestigasi institusi-institusi pemerintah yang
berhubungan dengan kekerasan di sana. Komisi ini akan membuat laporan dan
rekomendasi yang mengikat pemerintah untuk menindaklanjutinya, baik yang
berhubungan dengan penegakan hukum, maupun pengembangan rekonsiliasi.
Dari sisi korban, kehadiran komisi kebenaran amat penting, terutama memenuhi hak
mereka untuk mengetahui duduk perkara konflik secara utuh. Mereka harus
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Poso. Mereka tidak hanya tahu apa yang
mereka alami sebagai manifesasi konflik etno-religi, tetapi yang lebih penting adalah
"politisasi" atau eksploitasi sentimen sehingga memicu konflik dan melestarikannya.
Mereka juga perlu tahu, mengapa negara gagal meredam kekerasan; mengapa aparat
selalu kalah cepat dengan penembak misterius; siapa yang memasok senjata api dan
dari mana peluru buatan PRT Pindad beredar begitu luas. Daftar pertanyaan lain dapat
dibuat untuk mengungkap seribu misteri. Komisi Kebernaran yang harus menyingkap
semua itu.
Arianto Sangaji Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|