KOMPAS, Kamis, 18 November 2004
Konflik Poso, Tak Kunjung Sudah
Oleh Hari Susanto
DI bulan November 2004 ini masalah pertikaian Poso meledak lagi, di mana terjadi
penembakan dan pemboman kendaran di kawasan kabupaten itu. Berita ini tentu
amat menyedihkan bagi usaha-usaha perdamaian yang telah dicanangkan
pemerintah, bahkan berbagai lembaga internasional berusaha mewujudkan
perdamaian itu.
Berbagai spanduk digelar di seluruh pelosok tanah air dengan kalimat antara lain "...
Damai itu Indah ... Damai itu Sejahterta..." dan sebagainya seolah menjadi slogan
kosong.
Konflik Poso yang muncul dipermukaan lebih dilihat dari aspek SARA (suku, agama,
ras dan antar kelompok). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konflik Poso
lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial
ekonomi.
Kesenjangan politik pemerintahan pada dasarnya dipicu pergeseran pemegang
tampuk pemerintahan daerah/lokal. Pergeseran pengendalian pemerintah di kawasan
Poso dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia juga menggeser kepemimpinan lokal dari etnis lokal kepada etnis
pendatang. Pergeseran kepemimpinan ini juga berimplikasi terhadap proses
rekrutmen pegawai negeri sipil yang mengabdi kepada pemerintahan daerah
setempat, tentunya.
Sementara itu, pergeseran lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (Lama) ke Poso
Kota (Baru) tentu berimplikasi terhadap penguasaan aktivitas ekonominya - karena
ada kecenderungan bahwa berpindahnya pusat pemerintahan (daerah) mengundang
bergesernya pula pusat-pusat perkantoran dan perdagangan mendekati pusat-pusat
pemerintahan. Singkatnya, terjadi akumulasi kegiatan di pusat pemerintahan baru,
yang notabene mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Sementara itu, kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke
Poso yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi
Utara/Gorontalo. Pendatang umumnya lebih kuat, muda dan mempunyai daya juang
untuk mampu bertahan di daerah baru. Kedatangan para pendatang ini juga
menyebabkan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya atas dasar kepemilikan
penduduk asli, kemudian beralih kepemilikannya kepada para pendatang. Proses
peralihan kepemilikan tersebut terjadi melalui program pemerintah dalam bentuk
transmigrasi maupun penjualan lahan-lahan pada para migran. Arus migrasi masuk, in
migration ini cukup deras terjadi semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an di mana
program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur prasarana angkutan darat,
Trans-Sulawesi.
Apa yang terjadi, dengan dikembangkannya tanaman bernilai ekonomi tinggi, kakao
(coklat), dan kelapa (kopra) oleh para pendatang, tentunya, telah memberikan
peningkatan kesejahteraan para pemiliknya. Walau penduduk asli mengikuti pola
tanam para pendatang untuk memperoleh hasil tanaman bernilai ekonomi tinggi itu,
akan tetapi penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para pendatang.
Tentunya terdapat dua perasaan dirugikan bagi para penduduk asli akibat kehadiran
para pendatang ini. Pertama, lahan pertaniannya sebagian telah beralih
kepemilikannya kepada pendatang. Kedua, margin yang diperoleh dari hasil
pertaniannya lebih besar dinikmati oleh para pendatang.
Itulah asal-muasal pemicu konflik Poso. Namun usaha-usaha untuk melakukan
perbaikan terus digalang. Sekurang-kurang keyakinan lokal sebagai alat pemersatu
tetap dijaga, yakni sintuwu maroso. Sintuwu maroso mempunyai pengertian sebagai
'bersatu kita kuat'. Sebagai implementasi dari sintuwu maroso, kini digalakkan
kembali aktivitas pos sintuwu, tari dero dan padungku. Inilah perekat yang diharapkan
dapat mengembalikan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Kabupaten Poso. Namun
apapun bentuk pemulihan yang dilakukan, sebelum para pengungsi kembali ke
kampung halamannya, maka proses pemulihan itu belum mencapai hasil optimal.
Pemilihan Bupati Poso
Peristiwa penembakan dan pemboman yang terjadi di paruh pertama bulan November
2004 itu harus menjadi catatan penting bagi proses perdamaian di Poso, maupun di
kawasan-kawasan konflik lainnya. Namun dalam rangka masalah kesenjangan politik
pemerintahan di Kabupaten Poso nanti - maka perlu mendapat perhatian proses
pemilihan bupati di tahun 2005 nanti.
Kemenangan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dan Partai Damai
Sejahtera (PDS) dalam pemilihan umum legislatif Kabupaten Poso ini diduga akan
menjadi mayoritas suara di DPRD Kabupaten Poso. Implikasi bahwa pemilihan Bupati
Kabupaten Poso ini akan "marak" karena tarik-menarik antara putra daerah dan putra
pendatang. Hal ini akan memperkeruh persoalan usaha perdamaian di Kabupaten
Poso.
Masyarakat Poso di pasca konflik secara umum menjadi semakin segregatif.
Sebelum konflik, masyarakat daerah ini lebih bercorak heterogen. Namun akibat
konflik yang terjadi, komunitas minoritas etnis atau agama tertentu dalam sejumlah
desa meninggalkan desanya, mengungsi dan bergabung ke masyarakat mayoritas
se-etnis atau se-agama di desa atau daerah lain.
Usaha-usaha pengembangan perdamaian pada masyarakat dengan sifat dasar yang
berbeda. Di satu pihak pendekatan budaya tampaknya cukup efektif. Dalam
pemahaman seperti ini, dapat dimengerti mengapa kerukunan masyarakat di
beberapa kecamatan di Kebupaten Poso dapat berproses lebih cepat dibandingkan
dengan proses kerukunan masyarakat yang terjadi kecamatan-kecamatan lainnya.
Dalam pengertian ini pulalah dapat dimengerti mengapa hampir semua pengungsi dari
daerah kecamatan tertentu telah kembali ke daerahnya masing-masing, sementara
tidak demikian untuk pengungsi dari kecamatan yang lain. Di lain pihak, pendekatan
budaya tampaknya kurang tepat. Untuk itu perlu pemikiran mendalam dan penelitian
lebih lanjut yang serius untuk merumuskan pendekatan pembangunan perdamaian
untuk masyarakat yang corak dasarnya lebih bersifat heterogen segrefatif.
Namun apapun yang terjadi, usaha-usaha menuju pemulihan telah dilakukan, tidak
saja oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah), akan tetapi lembaga-lembaga
swadaya masyarakat (baik internasional, nasional maupun lokal) dan masyarakat
setempat telah berusaha untuk melakukannya.
Kemungkinan-kemungkina yang akan membuka kembali pintu konflik hendaknya
sudah diantisipasi semenjak dini. Sebagai misal, pemilihan Bupati Kabupaten Poso di
tahun 2005 nanti. Kalau kericuhan pemilihan Bupati nanti terjadi, hal ini akan
memunculkan konflik baru di Kabupaten Poso - yang tentunya ini bisa menjadi
peluang terbukanya konflik baru di daerah-daerah lain.
Sekali lagi, penanganan persoalan Poso harus diberikan perhatian lebih serius.
Proses perdamaian yang diharapkan oleh masyarakat Poso bukan adanya kondisi
aman yang dipenuhi oleh TNI/POLRI, akan tetapi kondisi aman yang didukung oleh
para tetangga-tetangganya sekampung halaman.
Hari Susanto Ahli Peneliti Utama bidang Ekonomi Regional, Pusat Penelitian
Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), Jakarta
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|