KOMPAS, Senin, 18 Oktober 2004
Pemerintah Baru Harus Tangani Pengungsi Konflik Maluku
Jakarta, Kompas - Pemerintahan terpilih harus segera merealisasikan janji-janji yang
tidak bisa dipenuhi oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri terkait
penyelesaian masalah konflik sekaligus prioritas penanganan masalah pengungsi di
Maluku.
Pernyataan itu muncul dalam sebuah diskusi peluncuran buku Tragedi Maluku
Sebuah Krisis Peradaban karangan Dr John Pieris, Jumat (15/10). Selain penulis,
diskusi juga menghadirkan pembicara Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia (UI)
Prof Dr R Leirissa.
"Situasi keamanan di Maluku sudah sangat kondusif. Cuma masalah pengungsi itu
kenapa sampai sekarang tidak juga diselesaikan. Masih banyak mereka yang telantar
di Kota Ambon, " ujar Leirissa.
Leirissa menilai penanganan masalah pengungsi sangat lambat dan pemerintah,
menurutnya, tidak merespons. Padahal, kondisi para pengungsi sudah sangat tidak
manusiawi. Terkait potensi konflik, kata Leirissa, hal itu lebih terpicu akibat adanya
rekayasa dari beberapa oknum, baik militer maupun birokrasi.
Sementara terkait dengan keberadaan aktivitas kelompok separatis Republik Maluku
Selatan (RMS), Leirissa menganggap keberadaan mereka sudah sangat lemah dan
tidak lagi memiliki sumber pendanaan yang dapat mereka andalkan. "Paling-paling
mereka kan cuma omong besar saja. Masyarakat pun menurut saya tidak lebih dari
lima persen saja yang mau mengikuti RMS itu. Sekarang masalahnya ada di aparat
keamanan.
Rekayasa kebanyakan dilakukan oleh oknum polisi dan tentara," ujar Leirissa.
Untuk itu Leirissa meminta pemerintah tidak terlalu lama menempatkan satu pasukan
TNI di satu lokasi sehingga mereka bisa berbuat hal-hal yang justru bertujuan untuk
mencari keuntungan. Hal itu dilakukan dengan melakukan rekayasa untuk memicu
konflik.
Adapun penulis buku John Pieris menilai perlu dilakukan dialog antar-agama dengan
lebih intensif, yang dilakukan oleh masyarakat serta tokoh agama dan adat di tingkat
akar rumput (grassroot). Dengan begitu, nantinya akan muncul bentuk rekonsiliasi
keagamaan yang tulus. (DWA)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|