KOMPAS, Senin, 22 November 2004
Kekerasan di Poso merupakan Teror
- Bukan Konflik
Makassar, Kompas - Tindak kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini di Poso, Sulawesi
Tengah, bukan merupakan konflik yang berkepanjangan. Tindak kekerasan itu lebih
kepada teror yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu karena dilandasi rasa dendam.
Demikian disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla seusai acara open house di rumah
pribadinya, Jalan Haji Bau, Makassar, Jumat (19/11) malam. "Di Poso tidak ada lagi
konflik. Coba tunjukkan konflik mana! Konflik itu keributan antara masyarakat dan
masyarakat," ujar Jusuf Kalla.
Adapun yang terjadi di Poso akhir-akhir ini, lanjut Jusuf Kalla, adalah teror. Teror itu
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, bukan sekelompok masyarakat. Teror itu akibat
didorong oleh rasa dendam yang ditimbulkan oleh konflik sebelumnya.
Untuk itu, Wapres mengatakan, pemerintah tidak akan pernah tinggal diam untuk
menyelesaikan kasus Poso. "Ribuan polisi ditempatkan di sana dan diperintahkan
untuk segera menangkap pelaku-pelaku teror tersebut," ujarnya.
Menanggapi bahwa pemerintah dapat dikategorikan sebagai pelanggar hak asasi
manusia (HAM) berat by omission jika membiarkan kasus Poso berlarut-larut,
Wapres mengatakan, Komnas HAM bisa saja mengatakan seperti itu, namun
pemerintah tidak pernah berhenti untuk menyelesaikan kasus Poso.
Tidak adanya konflik antarkelompok masyarakat di Poso juga diutarakan oleh Ketua
Tim Poso Komisi Nasional (Komnas) HAM Prof Dr Ahmad Ali. Namun, katanya,
semua teror di Poso yang terjadi sampai saat ini merupakan bukti bahwa pemerintah
belum berhasil menyelesaikan kasus Poso sampai ke akar-akarnya.
Bahkan, lanjut Ahmad Ali, perjanjian damai di Malino seperti menyimpan api dalam
sekam. Hal itu disebabkan rekonsiliasi Malino tidak ditindaklanjuti dengan proses
hukum dan kebijakan terpadu yang dapat menyelesaikan akar masalah konflik Poso.
Banyaknya teror yang terjadi akhir-akhir ini, kata Ahmad Ali, juga membuktikan
bahwa pelanggaran HAM masih terus terjadi di Poso. "Teror itu selalu menimbulkan
pelanggaran HAM karena menyebabkan orang mati, tidak merasa aman, dan hilang
harta bendanya," kata Ahmad.
Padahal, lanjutnya, hak untuk hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28, dan dalam
Declaration Universal of Human Rights. Sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 itu
disebutkan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan HAM.
Belum ada tersangka
Sementara itu, sejak ledakan bom yang terjadi pada hari Sabtu sehari sebelum Idul
Fitri 1425 Hijriah lalu, sampai kemarin belum ada tersangkanya. Meski telah
melakukan pemeriksaan terhadap beberapa warga, polisi masih belum menetapkan
tersangka peledakan bom yang menewaskan enam orang dan melukai tiga orang itu.
Menurut informasi yang diperoleh Kompas, pada pekan lalu sebetulnya polisi telah
mencurigai tiga orang yang telah diperiksa. Karena itu, pemeriksaan pun mengarah
kepada ketiga orang dari sembilan orang yang diperiksa terkait kasus ledakan
tersebut.
Akan tetapi, Kepala Kepolisian Resor (Polres) Poso Ajun Komisaris Besar Abdi
Dharma yang dihubungi hari Minggu mengatakan, sampai kemarin belum ada seorang
pun yang dijadikan tersangka. Namun, pihak kepolisian terus menelusuri guna
mengungkap kasus ledakan bom tersebut.
"Sudah beberapa orang yang kami curigai dan kami lakukan pemeriksaan, tetapi
karena tidak ada bukti-bukti, sesuai dengan KUHP maka dalam waktu 1 x 24 jam
kami lepaskan kembali," ungkapnya seraya menegaskan sampai kini belum ada yang
ditahan terkait kasus tersebut.
Komandan Kodim 1307 Poso Letkol (Infanteri) Ray Gunawan sebelumnya
mengatakan, pihaknya bersama polisi terus melakukan pemantauan atau patroli
sepanjang waktu untuk menciptakan kondisi yang aman. "Situasi Poso makin aman
dan terkendali, terutama setelah masyarakat semakin sadar untuk menyerahkan
kasus-kasus tersebut kepada pihak kepolisian," katanya pekan silam. (rei/ssd)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|