KOMPAS, Sabtu, 28 Agustus 2004
Satya Arinanto: Ada "Setting" Penyelamatan Pelanggar HAM
BERBAGAI kasus pelanggaran HAM kini telah digelar persidangannya, namun pakar
hukum Universitas Indonesia Dr Satya Arinanto (39) menilai dalam persidangan kasus
pelanggaran HAM belum memuaskan tetapi justru terkesan ada upaya
"penyelamatan" terhadap para pelanggar HAM.
Bagaimana Anda mengevaluasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu?
Sejak awal kita melihat, mungkin dulu ada semacam upaya menyelamatkan, yang
dilakukan rezim sebelumnya. Dalam arti waktu Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM dikeluarkan, sebetulnya dari elite penguasa ada keinginan untuk
menyelamatkan jenderal-jenderal itu, agar jangan sampai diadili di luar. Karena di luar
ada pengalaman, misalnya pernah diceritakan jaksa kasus di Yugoslavia, Alain Tieger
itu mengatakan bahwa di sana itu dengan dakwaan empat lembar sudah bisa
diproses bahkan dijatuhi hukuman, jadi penyelamatan itu dibuat dengan perpu,
makanya kita lihat ada keunikan. Pemerintah sendiri malah menyuruh agar perpu
ditolak saja.
Kasus seperti Tanjung Priok, Timtim, saya melihat pertama ada semacam upaya
penyelamatan. Sebagian kalangan berharap ada penegakan keadilan, tetapi
kenyataannya tidak menyentuh dalang dibalik itu. Proses awal kasus tersebut
sempat mandek berkali-kali di Kejagung. Waktu di demo, jawaban menunggu Jaksa
Agung masih naik haji, ada yang dikembalikan supaya dilengkapi datanya. Ini adalah
model untuk memperlambat proses itu. Setting ini terasa kuat di semua kasus,
sepertinya semacam sistem yang tidak terlihat bahwa ada upaya kasus ini
diperlambat, dan nanti ujung-ujungnya ya mungkin selesai atau terdakwanya lolos.
Dari putusan pendapat majelis hakim banyak yang berbeda. Ini kenapa?
Ya settingnya itu, setting menyelamatkan. Makanya kita harus buat peta, konsepsi
apa sebetulnya yang ada dibalik layar itu. Paling tidak dalam kerangka, transisional
justice ada empat hal, apakah forgive and forget, ataukah never forgive and never
forget, forget but never forgive, atau never forget but forgive. Misalnya, ada beberapa
contoh di Jerman, Spanyol sampai di negara Eropa, soal pola mana yang dianut.
Misalnya ujungnya itu forgive, tapi tidak jelas apakah yang sebelumnya itu dilupakan
atau tidak dilupakan. Jadi yang ujungnya mungkin forgive tapi forgive yang
dipaksakan. Jadi ada trial dulu, kalau Jerman dengan pengadilan militer di Nuremberg
itu kan sebetulnya kita lihat dari 24 terdakwa, arahnya semua dihukum terutama
hukum gantung. Jadi petanya never forget and never forgive, yang diambil tindakan
tegas.
Kalau kita ini, settingnya belum kelihatan itu. Kalau dari undang-undang adalah
membentuk Pengadilan HAM atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR
itu sendiri sampai sekarang, masih tarik menarik. Sebetulnya dalam kasus HAM ada
perdebatan, misalnya hukum yang berlaku pada masa lalu apakah kemudian menjadi
sesuatu yang dapat dikatakan benar, kalau sudah terjadi transisi politik. Seperti
kasus itu, jadi yang dulu dianggap sah, setelah terjadi transisi politik orang itu bisa
dihukum, padahal dulu dia sah menjalankan perintah.
Menurut Anda, dampak bagi Indonesia sendiri?
Menurut saya buruk. Tetapi ada masyarakat kita ini pemaaf, mungkin paling tidak
secara umum. Tetapi bagi orang yang mengalami belum tentu. Seperti kasus Tanjung
Priok, orang yang menjadi korban berbeda pendapat dan terus terjadi tarik menarik
mengenai kerugian. Apa karena perbedaan kompensasi yang diterima atau mungkin
ada kepentingan yang berbeda. Ini perlu studi mendalam, tidak hanya semata-mata
bagaimana transisi itu terjadi, bagaimana penanganan pelanggaran HAM, termasuk
aspek budaya dari korban pelanggaran HAM ini.
Masih ada momentum KKR?
Untuk sekarang, ada. Karena dari para korban dan keluarga banyak yang belum
puas. Sebetulnya ini sudah lama. Misalnya waktu saya mengajar, ada cucu mantan
korban Westerling yang mengajukan pertanyaan kepada saya, bolehkah mengajukan
orang yang membunuh kakeknya. Itu ada. Makanya bagus juga kalau ada batasan
dari tahun berapa kasusnya. Misalnya mulai tahun 1945, malah ada yang lebih jauh
dari itu. Tetapi kesulitan dalam pembuktian, tetapi keadilan harus ditegakkan.
Kalau kembali ke masa lalu, sementara masa depan masih banyak problem, lalu
mana yang lebih dikedepankan?
Saya melihat masa lalu, adalah masalah ikutan yang tetap ada, yang menempel
sampai masa kini. Sekarang mau tidak mau ini harus dikurangi, kalau bisa
diselesaikan. Kalau tuntas sama sekali saya kira tidak bisa. Jadi dengan empat
model tadi yang antara dua kata kunci forget dan forgive, kita belum tentu bisa. Tetapi
itu akan ikut terus, jadi bagaimana mengurangi atau melepaskan sama sekali.
Mudah-mudahan dengan KKR bisa, tetapi syarat anggotanya benar-benar yang
misalnya diadakan pemilihan, kalau lima ya lima itu, jangan terus karena kepentingan
politik rangking dibawahnya yang diambil.
TAK hanya masalah penanganan HAM di masa lalu yang mengundang perhatian
Satya. Pakar Hukum Tata Negara ini melihat, dalam masa transisi ada begitu banyak
persoalan yang muncul.
Ayah dari Yustiana Ardanti dan Tisa Ramdhani, serta suami dari Mutiara D Apriasti ini
menilai selain menuntaskan masalah pelanggaran HAM dan reformasi tata negara,
pemberantasan korupsi merupakan salah satu problem di masa transisi yang harus
dituntaskan.
Otonomi daerah sudah berjalan, tetapi ternyata menyuburkan praktik korupsi di
daerah. Menurut Anda apa sebenarnya yang terjadi?
Pada tahun 1998 waktu menyusun berbagai undang-undang, yang kemudian diklaim
mantan Presiden Habibie dibuat UU tentang Pemerintahan Daerah. Terus terang
waktu proses pembuatan UU tersebut terutama pengesahannya, itu hampir luput dari
perhatian masyarakat, karena waktunya dekat dengan pelaksanaan pemilihan umum.
Pasal yang dibuat sangat ideal, dan diharapkan pada masa setelah UU dibuat, wakil
rakyat yang akan terpilih termasuk kepala daerah itu adalah orang-orang yang bersih
dan berkeinginan untuk membangun daerah sepenuhnya. Tetapi kenyataannya tidak
semua demikian. Akibatnya kita melihat banyak kasus di daerah.
Mengapa demikian?
Hal ini mungkin juga karena kelemahan dalam peraturan. Adanya prosedur
pertanggungjawaban seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 108
Tahun 2000, yang mengharuskan kepala daerah harus menempuh paling tidak tiga
macam pertanggungjawaban, yakni pertanggungjawaban pada akhir masa anggaran,
akhir masa jabatan dan hal tertentu. Maka mungkin tercipta suatu
pertanggungjawaban yang mengakibatkan eksekutif harus mengusahakan supaya
pertanggungjawabannya diterima oleh legislatif. Itu di antaranya salah satu pintu yang
menyebabkan terjadinya seperti itu .
Selain itu, ada kelemahan di peraturan itu sendiri. Sejak PP Nomor 110 Tahun 2000
yang mengatur tentang kedudukan keuangan DPRD dinyatakan tidak berlaku, tetapi
sampai sekarang Depdagri belum menerbitkan lagi peraturan pengganti. Hanya ada
semacam surat edaran yang dikeluarkan, tetapi itu bukan setingkat dengan PP.
Sekarang ini setiap kali ada diskusi otonomi daerah, selalu timbul pertanyaan seperti
itu, termasuk masalah kedudukan semua keputusan menteri. Sebab dalam Pasal (2)
Tap MPR III/2000 menyebutkan bahwa Kepmen tidak termasuk dalam hierarki
perundang-undangan.
Jadi kekeliruannya pada tingkat asumsi dasar bahwa orang yang lahir adalah orang
baik?
Salah satunya itu. Karena pada waktu membuat aturan itu, mungkin yang di Tim
Tujuh Depdagri dan masukan dari Depkeh pada waktu itu, berpikir pokoknya ideal lah
yang akan datang ini. Pokoknya daerah sudah lama dikooptasi oleh pemerintah
pusat. Walaupun sebenarnya dulu ada penelitian di Belanda yang menyebutkan
sebenarnya dengan sistem yang lama itu lebih baik, karena korupsi satu kali
katanya. Kalau sekarang ini katanya korupsi sudah dua kali. Sudah lama saya
dengar sinyalemen seperti itu, tetapi apa betul hanya satu kali, itu kan hanya asumsi
saja.
Kekeliruannya di mana, apakah hanya sebatas legalitas yang keliru ataukah memang
problem sumber daya manusia yang memang aji mumpung?
Dua-duanya. Pertama, saya melihat dulu politik hukum ingin menciptakan peraturan
yang ideal untuk merekrut mungkin kepala daerah dan wakil rakyat yang baik.
Asumsinya nanti pemerintahan daerah berjalan baik, diberikan kekuasaan yang
benar, kemudian memperkuat daerah dan dalam konteks yang lebih luas memperkuat
integrasi bangsa. Sebenarnya begitu kerangkanya. Memang ada satu dua yang
belum tepat diberlakukan untuk kondisi sekarang, sehingga kemudian ada beberapa
Kepmen yang dibuat untuk "menganulir" itu. Hal ini yang kemudian dipermasalahkan
oleh para kepala daerah itu. Jadi mereka kemudian melaksanakan legalitas Kepmen
itu tadi, berdasarkan Tap MPR III/2000, yang sekarang sudah diuji oleh Tap MPR
I/2003.
Bagaimana Anda melihat penahanan sejumlah anggota DPRD Kendari?
Saya melihat kejaksaan sudah berupaya baik. Cuma masalahnya sekarang masih
timbul perdebatan, kalau memang misalnya PP No 110 sudah dinyatakan tidak
berlaku lagi, ini bagaimana. Waktu saya ikut seminar di Sumbar, ada pandangan
bahwa media massa saja yang terlalu menyoroti kesalahan anggota DPR, yang
eksekutif juga banyak yang bobrok tetapi kok jarang diangkat. Ini kata anggota DPR.
Kembali ke pertanyaan tadi, sebenarnya saya melihat kejaksaan terpaksa
melepaskan atau sementara diubah statusnya jadi tahanan kota, itu katanya karena
mengikuti sidang paripurna itu. Sebenarnya upaya itu sudah baik, karena sekarang ini
memang ada perang terhadap korupsi. Jadi apa pun prosedurnya sebetulnya
sekarang ini semua penanganan masalah korupsi sebetulnya harus dipusatkan atau
didasarkan pada satu ketentuan yang khusus.
Apakah ada intervensi?
Kemungkinan itu ada, saya lihat direct atau indirect intervention itu ada, walaupun kita
tidak bisa melihat dalam bukti formalnya begitu. Tetapi mungkin dari suasana hukum
atau politik yang ada, kemungkinan itu bisa kita baca. Walaupun sebetulnya
kebetulan ada alasan formal seperti harus ikut sidang.
Kenapa enggak sejak awal dilakukan tahanan kota?
Makanya saya melihat masalah itu, kemungkinan direct intervention atau mungkin
juga itu tidak ada, atau mungkin mereka mau membuat image dulu kepada publik
bahwa dia sudah melakukan upaya serius untuk pemberantasan korupsi. Pandangan
masyarakat, bahwa sudah ada upaya yang keras, dan ini terpaksa dipinjamkan dulu.
Mungkin hanya untuk itu.
Tetapi yang muncul sinisme publik?
Ya memang begitu. Semula kita terkejut melihat kejadian yang ditunjukkan televisi,
misalnya anggota keluarga histeris karena keberatan anggota keluarga dibawa, tetapi
kemudian tiba-tiba dikembalikan. Tetapi saya melihat, ini ada salah satu problem
transisi yakni masalah korupsi yang harus dituntaskan. Jadi tidak hanya masalah
pelanggaran HAM atau reformasi tata pemerintahan. Jadi ini saya lihat sebagai salah
satu masalah. (Sonya Hellen Sinombor/ Budiman Tanuredjo)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|