Masariku Network, 22 Nopember 2004
Potret Kecil Segregasi Maluku
Dear All,
Segregasi sosial berdasarkan garis agama antara Kristen dan Muslim, menjadi
fenomena menarik untuk diamati pasca konflik. Kondisi segregasi masyarakat di
Maluku berdasarkan garis agama sesungguhnya bukan fenomena yang baru.
Pemerintah colonial memberikan kontribusi cukup signifikan untuk melahirkan kondisi
segregasi agama, untuk mempermudah control mereka terhadap masyarakat jajahan.
Sejak dahulu dengan sangat mudah kita dapat mengidentifikasi wilayah geografis
desa-desa Muslim maupun Kristen di Maluku. Dalam perkembangan kemudian
kondisi segregasi tersebut cenderung mencair, terutama pada masyarakat di
pusat-pusat wilayah pemerintahan dan ekonomi.
Proses de-segregasi social kemudian hancur total bersamaan dengan konflik social
Maluku yang terpicu pada sumbu agama, antara Muslim dan Kristen. Pendataan
terakhir yang kami lakukan memperlihatkan sebanyak 1.050.764 / 88% orang dari
total 1.200.000 orang penduduk Maluku yang hidup tersegregasi berdasarkan
perbedaan agama. Khususnya untuk Kota Ambon pasca konflik dengan luas sebesar
377 km2, dan jumlah penduduk sebanyak 206.210 jiwa, serta tingkat kepadatan 574
org/km2, komunitas Muslim dan Kristen hidup secara terpisah. Sampai saat ini hanya
2 wilayah yang masih tersisa sebagai tempat dimana Muslim dan Kristen tinggal
bersama. Satunya di desa Wayame, dan lainnya di wilayah Rindam Kodam XVI
Pattimura di Negeri Suli atas.
Pada kenyataannya segregasi social tidak saja merambah wilayah fisik-geografis,
tetapi juga terlestarikan melalui kodefikasi personal dalam ruang public. Situasi ini
nampak lewat bahasa/istilah yang digunakan. Pasca konflik tercipta istilah-istilah
baru yang menampilkan bentuk pengkodean secara tajam yang bersifat personal
(atau menyangkut kolektivitas ekslusif). Pada masa sebelum konflik, terdapat
penyebutan yang seragam ketika digunakan dalam dunia publik. Dalam kehidupan
publik, penggunaan istilah yang umum dipakai adalah Bung (untuk laki-laki dewasa)
dan Usi (untuk wanita dewasa). Ia berkembang menjadi sebuah ciri "kultural"
masyarakat Maluku (terutama Ambon dan Lease). Ia telah lama menjadi bagian dari
kesadaran orang Maluku tentang ruang publiknya. Namun kondisi tersebut berubah
ketika konflik Maluku berakhir. Orang mulai menggunakan istilah-istilah teknis yang
mereferensi ke primordialitas kampung atau agama. Dalam perkampungan atau
komunitas Islam orang sering menggunakan istilah
Ente (orang kedua tunggal) dan Ana' (orang pertama tunggal), juga Harrim atau Caca
(untuk orang perempuan). Sebaliknya dalam komunitas Kristen tidak terjadi
perubahan tersebut. Orang tetap menggunakan sebutan Usi (perempuan dewasa) dan
Bung (laki-laki dewasa) seperti situasi sebelum konflik.
MASARIKU NETWORK AMBON
|