Masariku Network, 22 Nopember 2004
Rekonstruksi Upaya Penanggulangan Kemiskinan:
Melembagakan "Pro-Poor Governance" di Maluku
Eddy Papilaya, Staf Sosek Faperta Unpatti; Kandidat Doktor Pada Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor
Masih ingatkah kita cerita tentang Sang Monyet dan Sang Ikan?. Ceritanya demikian,
"takkala banjir bandang datang, Sang Monyet merasa kasihan atau iba terhadap
Sang Ikan. Dengan demikian dia begitu bersemangat untuk bertindak sebagai
penyelamat-pembebas bagi Sang Ikan dengan cara mengeluarkannya dari habitatnya
dan menggendongnya dengan penuh kasih sayang di dahan pohon. Dengan bertindak
begitu, Sang Monyet beranggapan bahwa, Sang Ikan akan selamat dari banjir, dan
pasti senang karena ditolong. Tetapi takala selesai banjir, Sang Monyet hendak
mengembalikan Sang Ikan ke habitat aslinya, tetapi apa mau dikata, ternyata Sang
Ikan sudah mati". Maksud mulia, kemurahan hati Sang Monyet patut diancungi
jempol, tetapi persepsinya salah, tindakannya konyol, menyesatkan dan mematikan.
Lalu apa relevansi cerita tersebut dengan upaya penanggulangan kemiskinan yang
selama ini kita laksanakan dibandingkan dengan realitas kemiskinan yang
sesungguhnya terjadi? Kalau mau jujur, bukankah kita sering berperilaku bagaikan
Sang Monyet yang berlaga soktahu untuk menolong mereka yang miskin, atau
mereka yang terkapiran ("hard to reach"); atau bukankah kita sering bertindak ibarat
petani yang hanya memaras alang-alang (kusu-kusu), dan bukannya mencabut akar
"butu" kusu-kusu sehingga kusu-kusu tumbuh dan terus bertumbuh?. Menyadari akan
realitas tingginya angka kemiskinan di Indonesia maupun di Maluku maka tulisan ini
saya suguhkan dengan harapan agar dapat menjadi bahan masukan atau diskusi
lebih lanjut bagi para stakeholders pembangunan dalam upaya refleksi atas realitas
kemiskinan, merumuskan paradigma baru dan merekonstruksi strategi
penanggulangan kemiskinan yang efektif bagi 68,65% masyarakat miskin di Maluku.
Realitas Kemiskinan
Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kemiskinan merupakan salah satu
tragedi kemanusiaan terbesar hingga sekarang belum bisa dipecahkan (Mawardi,
2003). Masalah kemiskinan bukan hanya menjadi masalah lokal, regional, nasional
tetapi sudah menjadi gerakan dan gebrakan global. Hal ini dapat dicermati dari: (1)
pertemuan World Summer on Social Development Copenhagen 1995 (Nurdiana dan
Handayani, 2003); (2) Pertemuan pada Forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan
(World Food Summit) di Roma pada tanggal 12 Juni 2002; (3) KTT Millenium PBB
2001 mengikat secara moral bahwa semua negara, baik negara maju dan
berkembang/miskin untuk mengurangi separuh jumlah penduduk miskin pada tahun
2015 (Rumi, 2003); (4) Konperensi KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan di
Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 2-4 September 2002 (Deplu, 2002); (5) Seminar
Nasional tentang Tantangan Penanggulangan Kemiskinan Dalam Era Otonomi Daerah
(www.jps.or.id); (6) Seminar Internasional tentang Penanggulangan Kemiskinan di
Hanoi, Vietnam tanggal 10-11 Juni 2004 (KPK, 2004), (7) Konferensi 55 negara di
PBB tentang Tindakan Memerangi Kelaparan dan Kemiskinan, pada tanggal 20
September 2004, dengan skenario pengurangan kemiskinan, (8) Rakor Program 100
Hari Penanggulangan Kemiskinan bersama dengan hampir seluruh jajaran Menteri
terkait, Gubernur Bank Indonesia, pimpinan bank-bank pemerintah tingkat pusat,
Bank Muamalat dan Bank Syariah lainnya, Bank BPD Jatim dan lainnya, lembaga
keuangan pusat, swasta dan yayasan-Yayasan, pada tanggal 29 Oktober 2004
(www.suarakarya-online.com) dan berbagai pertemuan lainnya.
Menurut Komite Penanggulangan Kemiskinan Pusat (KPK, 2003), upaya
penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan amanat konstitusional bagi
pencapaian tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan dan Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Program Pembangunan Nasional
(Propenas, 2001-2005) disebutkan bahwa, kemiskinan sudah merupakan masalah
pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dengan dalih apapun.
Untuk itu, penanggulangan kemiskinan harus menjadi prioritas utama dalam
pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan demikian telah banyak program/proyek
penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), dan stakeholders pembangunan lainnya. Menurut
Kuntjoro-Jakti (2004), dana untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia untuk tahun
2004 diperkirakan mencapai Rp 18 triliun yang tersebar di berbagai departemen.
Walaupun telah banyak intervensi program/proyek penanggulangan kemiskinan
namun realitas kemiskinan yang diukur berdasarkan indikator jumlah penduduk
miskin masih relatif tinggi. Pada tahun 1976 penduduk miskin di Indonesia berjumlah
54,2 juta jiwa (40,1%), kemudian pada tahun 1996 turun drastis menjadi 22,5 juta jiwa
(11,3%). Pada tahun 1997, jumlah penduduk miskin meningkat dua kali lipat lebih
yaitu 49,5 juta jiwa (24,23%) sedangkan pada tahun 2002 sedikit turun menjadi 37,7
juta jiwa (18,8%). Menurut data Badan Pusat Statistik (2003) jumlah penduduk miskin
pada tahun 2003 berjumlah 37,3 juta jiwa (17,4%). Sedangkan jumlah penduduk
miskin di Maluku menurut KPK Promal (2002) berjumlah 176.217 KK (68,65%),
dengan tingkat penyebaran: Kabupaten Maluku Tengah 80.680 KK (70,73%); Maluku
Tenggara 34.984 KK (83,02%); Maluku Tenggara Barat (MTB) 28.649 (85.33%);
Kabupaten Buru 17.948 KK (79.25%) dan Kota Ambon 13.956 KK (31,52%).
Menurut Ritonga (2003) angka-angka tersebut menunjukkan bahwa, program-program
penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah
kemiskinan di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kelemahan
mendasar, antara lain: (1) pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi dan kurang memperhatikan aspek pemerataan, (2) cenderung lebih
menekankan pendekatan sektoral yang kurang terintegrasi, dan (3) kurang
mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi (Mega,
2003). Suharto (2003) menambahkan bahwa, hampir semua pendekatan dalam
mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi dan paradigma
yang bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang berpusat pada
produksi. Metode yang digunakan masih belum mencerminkan dinamika kemiskinan
karena belum mampu menggali akar penyebab kemiskinan menurut konsep
masyarakat miskin itu sendiri, bukan menurut orang luar.
Selain itu, penyebab kegagalan program penanggulangan kemisikinan di Indonesia,
yaitu: (1) cenderung terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial (orientasi
kedermawanan) untuk orang miskin, bukan untuk pemberdayaan sehingga
memperburuk moral, menimbulkan perilaku ketergantungan, dan korupsi dalam
penyalurannya, dan (2) kurangnya pemahaman tentang penyebab kemiskinan
tersebut. Indikator yang digunakan terfokus pada indikator dampak/akibat (Ritonga,
2003). Disamping itu, Komite Penanggulangan Kemiskinan Pusat (KPK, 2003)
memilah masalah kemiskinan dalam empat tataran, yaitu:
Pertama, kebijakan di tataran makro-strategis, yaitu selama ini banyak kebijakan
makro yang tidak sesuai dan berdampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat miskin, seperti: kebijakan perpajakan, kebijakan impor beras, kebijakan
perdagangan dan kebijakan perindustrian ternyata tidak memberikan iklim yang
kondusif atau bahkan menjadi kendala bagi pengembangan usaha masyarakat
miskin. Dengan demikian kebijakan regulasi yang diambil banyak yang tidak
berpiihak pada masyarakat miskin. Kedua, kebijakan di tataran makro-operasional,
yaitu banyak proyek/program yang mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan oleh berbagai stakeholders pembangunan (pemerintah, swasta dan
masyarakat sipil/LSM) berjalan sendiri-sendiri dan terjebak dalam egoisme sektoral.
Belum ada kesamaan persepsi atau pemahaman/cara pandang. Tidak ada sinergi,
koordinasi dan sinkronisasi (kalaupun ada masih sangat terbatas) dalam pembagian
peran antar stakeholders pembangunan dalam melaksanakan program
penanggulangan kemiskinan. Akibatnya efisiensi sumberdaya dan efektivitas
pencapaian tujuan penanggulangan kemiskinan menjadi tidak optimal. Ketiga,
kebijakan di tataran mikro strategis, yaitu berbagai proyek/ program penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan oleh stakeholders pem-bangunan baik yang berasal dari
pusat dengan berbagai sumber pembiayaan, seperti: DIP/APBN, DAK (Dana Alokasi
Khusus), Bank Dunia dan lainnya maupun dari daerah yang sumber dananya berasal
dari APBD/DAU, atau partisipasi/swadaya masyarakat kadang tumpang-tindih, tidak
saling berhu-bungan (bersinergi) satu sama lain, tidak terkait dengan kebijakan makro
strategis maupun makro operasional. Disamping itu, kebijakan Pemerintah Kabupaten
tidak berpihak pada masyarakat miskin. Realitas ini menimbulkan perilaku
ketergantungan, bukan kemandirian dan menciptakan mentalitas proyek. Keempat,
kebijakan di tingkat mikro operasional, yaitu program penanggulangan kemiskinan
kadang menimbulkan masalah yang sangat signifikan bagi mereka yang terkait
dengan manajemen proyek seperti: pimpro, LSM pendamping, dan sebagainya.
Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya masih terdapat berbagai
kelemahan dalam manajemen operasional dan adanya perilaku korup dari pelaksana
proyek.
Mengacu pada kelemahan upaya penanggulangan kemiskinan selama ini, maka
pemerintah Indonesia telah membentuk Komite Penanggulangan kemiskinan (KPK)
pada tahun 2001 dengan Kepres No. 124 Tahun 2001 jo. No. 8 Tahun 2002 jo. Nomor
34 tahun 2002. Disamping itu, dalam Inpres No. 5 Tahun 2003, tentang "Paket
Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Kerjasama Dengan IMF"
disebutkan bahwa, seluruh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Daerah/Kota di
seluruh Indonesia wajib menyusun dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah (SPKD). Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan merupakan
gerakan dan gebrakan yang sangat penting dan sangat mendesak untuk dicari
solusinya secara menyeluruh, mendasar dan mendalam secara transparan,
partisipatif dan akuntabel.
Pengertian Kemiskinan Menurut Pakar dan LSM
Pengertian kemiskinan sangat beragam, yaitu mulai dari sekedar ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan hingga
pengertian lebih luas yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral.
Definisi kemiskinan mengalami perkembangan sesuai dengan penyebabnya yaitu,
pada awal 1990-an definisi kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan
tingkat pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan,
pendidikan dan perumahan. Belakangan ini pengertian kemiskinan telah mencakup
dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan
aspirasi (Smeru, 2001). Pengertian tersebut berkaitan dengan konsep Chambers
(1983) tentang jebakan kemiskinan (deprivation trap), antara lain: (1) kemiskinan itu
sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5)
ketidakberdayaan.
Definisi orang miskin hanya dari sudut pemenuhan konsumsi saja sudah tidak cukup
karena: (1) pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi kemiskinan yang
dimaksud oleh orang miskin itu sendiri, dan tidak cukup untuk memahami realitas
kemiskinan; (2) pengertian tersebut dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang
salah, bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan
makanan yang memadai, dan (3) pengertian ter-sebut telah terbukti tidak bermanfaat
bagi pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa
kontra produktif (Smeru, 2001).
Menurut Sajogyo (1978) mereka yang disebut miskin kalau pengeluaran-nya kurang
dari 320 kg beras di desa dan kurang dari 480 kg beras di kota tiap tahun tiap jiwa.
Masyarakat miskin dibagi menjadi tiga kategori, yaotu: miskin, miskin sekali dan
sangat miskin. Pembatasan garis kemiskinan tersebut masih terbatas pada
pemenuhan pangan, belum memperhitungkan kebutuhan lainnya. KIKIS (2000)
mendefinisikan pengertian kemiskinan secara lebih mendalam, yaitu kemiskinan
adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia.
Kebutuhan asasi meliputi: kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas,
proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang. Kemiskinan subsistensi
terjadi karena rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang,
pangan, papan, serta kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan
terjadi karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem
perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar. Kemiskinan afeksi terjadi karena adanya
bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antara manusia dengan
manusia, dan antara manusia dengan alam. Kemiskinan pemahaman terjadi karena
kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan. Kemiskinan partisipasi terjadi karena adanya diskriminasi dan
peminggiran rakyat dari proses pengambilan keputusan, sedangkan kemiskinan
identitas terjadi karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang
mengakibatkan hancurnya nilai sosio-kultural yang ada.
Pengertian Kemiskinan Menurut Masyarakat Miskin
Berdasarkan hasil penelitian KIKIS (2003) tentang pengertian masyara-kat miskin
menurut tipologi, ditemukan bahwa: pertama, menurut masyarakat miskin menurut
tipologi "miskin perkotaan", kemiskinan adalah suatu keadaan dimana orang tidak
mempunyai harta benda, pendidikan dan tidak mempunyai hubungan secara leluasa
denga pihak-pihak tertentu, seperti: bank, pejabat, pengusaha, dan sebagainya.
Kedua, masyarakat miskin pada tipologi "pegunungan" mendefinisikan kemiskinan
dalam beberapa cakupan bidang kehidupan, antara lain: kehidupan politik hukum,
ekonomi, sosial budaya, dan gender.
Kemiskinan dalam bidang politik hukum, antara lain: (1) adanya rasa takut dalam
mengekspresikan kepentingan masyarakat lokal; (2) tertutupnya akses informasi; (3)
hilang atau ditutupnya akses masyarakat terhadap hutan; (4) masyarakat menjadi
penonton kekayaan alam di daerahnya; (5) tertutupnya akses dalam proses
pengambilan keputusan; (6) perampasan hak individu dan kolektif; (7) tidak berdaulat
terhadap pengelolaan sumber daya yang ada; (8) pengabaian pengetahuan lokal; (9)
kesadaran akan hak terhadap hutan dan sumberdaya alam (SDA); (10) perampasan
hak akses pada sumber daya hutan atau agraria; (11) perampasan hak; (12)
pengabaian hukum adat dan institusi adat, dan (13) hilangnya sumber-sumber
pemenuhan kebutuhan pokok.
Kemiskinan di bidang ekonomi, antara lain: (1) kehilangan mata pencaharian; (2)
kemiskinan tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan,
pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan; (3) kemiskinan SDA sebagai modal
kehidupan; (4) tidak dapat makan sampai kenyang, tidak bisa menyekolahkan anak,
diposisikan tidak manusiawi; (5) tidak punya lahan, kebutuhan-kebutuhan keluarga
tidak tercukupi oleh hasil hutan yang dibatasi; (6) tidak punya lahan untuk bertani; (7)
hilangnya sumber penghidupan masyarakat lokal; (8) kebutuhan dasar dalam hidup
tidak sesuai dengan situasi aktual di lokasi, dan (9) sumber daya air yang ada di
hutan dirusak oleh Perhutani.
Kemiskinan dalam bidang sosial budaya, antara lain: (1) menurunnya rasa solidaritas,
persaudaraan, rasa senasib dan sepenanggungan dengan sesama; (2) pelemahan
institusi adat dengan pembentukan dewan adat oleh pemerintah; (3) pelecehan
terhadap hukum dan institusi adat; (4) menurunnya rasa kebersamaan dan
penghargaan; (5) kemampuan adaptasi institusi lokal terhadap perubahan yang
terjadi; (6) resistensi kelembagaan lokal lemah; (7) penghancuran tempat-tempat
keramat; (8) keharusan mengganti mata pencaharian; (10) kehilangan hutan rimba;
(11) kemiskinan dari dimensi keadilan gender; (12) kelompok tani hutan selalu
beranggotakan laki-laki; (13) hancurnya hutan menyebabkan bahan baku untuk
menenun yang dilakukan perempuan menjadi musnah; (14) revolusi hijau
menyebabkan perempuan dalam panen padi menggunakan ani-ani menjadi hilang;
(15) masuknya HPH dan perkebunan besar di teritori Orang Rimba menyebabkan
langkanya bahan-bahan ramuan dan untuk persalinan, dan (16) merencek
(mengumpulkan ranting2 kayu) yang merupakan pekerjaan perempuan menjadi lebih
sulit karena tidak diakomodasi oleh Perhutani.
Ketiga, kelompok-kelompok masyarakat miskin di lingkungan petani sawah
mencakup: (1) petani gurem: pemilikan lahan antara 2.000-3.000 m2 atau kurang dari
0,5 ha; (2) petani penyakap: petani yang menyewa tanah untuk digarap; (3)
penggarap: petani yang menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil apabila
panen, dan (4) buruh tani: petani yang menggarap/membantu petani dengan upah
harian.
Pengertian Kemiskinan Menurut Pemerintah
Pengertian kemiskinan menurut versi pemerintah juga sangat beragam, antara lain
menurut: (1) Menko Kesra (2000), kemiskinan adalah suatu keadaan kekurangan
yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang di luar keinginan yang
bersangkutan sebagai kejadian yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan dan
kemampuan yang dimilikinya yang disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat
kompleks yang berinteraksi satu sama lain; (2) BKKBN (KPK, 2002), kemiskinan
adalah Jumlah keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah
menurut agamanya; tidak mampu makan 2 kali sehari; tidak memiliki pakaian
berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai
tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan; (3) BPS
(1994) kemiskinan adalah Kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi
kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori perkapita perhari; (4) Bappenas (2002),
kemiskinan mencakup unsur-unsur: (a) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan
dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, transportasi, dan
sanitasi); (b) kerentanan; (c) ketidakberdayaan; (d) ketidakmampuan menyalurkan
aspirasinya; (5) KPK (2003) mendefinisikan ciri-ciri masyarakat miskin, yaitu: (a)
tidak mempunyai daya/kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan
dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan (basic need deprivation); (b)
tidak mempunyai daya/kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha produktif; (c)
tidak mempunyai daya/kemampuan untuk menjangkau akses sumber daya sosial
dan ekonomi (inaccessibility); (d) tidak mempunyai daya/kemampuan untuk
menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif,
mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik
(vulnerability); (e) tidak mempunyai daya/kemampuan untuk membebaskan diri dari
mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga
diri yang rendah.
Menurut KIKIS (2002), cara pandang Bappenas (2002) dan KPK (2003) tersebut dapat
menunjukan ada kemajuan, tetapi jika dicermati dengan situasi ekonomi politik saat
ini, cara pandang itu justru akan berujung pada frustasi, karena sulit untuk
membangun kemandirian dan kerjasama dalam kondisi relasi kekuasaan yang sangat
timpang, dimana masyarakat miskin tidak memiliki akses dan jaminan untuk terlibat
secara penuh dalam proses pengambilan keputusan atas nasib mereka sendiri.
Pendekatan tersebut hanya akan mengulangi kegagalan kebijakan penanggulangan
kemiskinan di masa lalu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pandangan
pemerintah mengenai kemiskinan tampak dominan pada sisi dampak daripada
keinginan untuk membongkar penyebab terjadinya kemiskinan yang bersumber pada
relasi kekuasan yang timpang.
Pengertian Kemiskinan Menurut Lembaga Multilateral
Menurut Bank Pembangunan Asia (1999) kemiskinan adalah ketiadaan aset-aset dan
kesempatan esensial yang menjadi hak setiap manusia. Setiap orang harus
mempunyai akses pada pendidikan dasar dan rawatan kesehatan primer.
Rumahtangga miskin mempunyai hak untuk menunjang hidupnya dengan jerih
payahnya sendiri, dan mendapat imbalan yang memadai, serta mempunyai
perlindungan terhadap gangguan mendadak dari luar. Selain pendapatan dan layanan
dasar, individu-individu dan masyarakat juga menjadi miskin jika mereka tidak
diberdayakan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menentukan
kehidupan mereka. Kemiskinan lebih baik diukur dengan ukuran: pendidikan dasar,
rawatan kesehatan, gizi, air bersih, dan sanitasi; di samping pendapatan, pekerjaan,
dan upah. Ukuran ini harus digunakan untuk mewakili hal-hal yang tidak berwujud,
seperti rasa ketidakberdayaan dan ketiadaan kebebasan untuk berpartisipasi.
Sedangkan definisi kemiskinan menurut Bank Dunia adalah tidak tercapainya
kehidupan yang layak dengan pendapatan $ 1 perhari (Bank Dunia, 2004).
Keragaman definisi tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang
ideologis masing-masing penganutnya. Menurut Weber (Swasono, 1987) ideologi
bukan hanya menentukan masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi
cara mendefinisikan masalah sosial ekonomis dan bagaimana masalah tersebut
diatasi. Ada tiga cara pandang untuk memahami suatu ideologi, yaitu pandangan
menurut pemikiran: (1) konservatisme, (2) liberalisme, dan (3) radikalisme.
Kaum konservatif memandang bahwa kemiskinan bermula dari karakteristik orang
miskin itu sendiri. Orang miskin karena tidak mau bekerja keras, boros, tidak
mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat
untuk berprestasi. Orang miskin karena memiliki budaya kemiskinan yang mencakup
karakteristik psikologis, sosial dan ekonomi (Lewis, 1983). Kaum liberal memandang
manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situation adaptation pada
lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit; sedangkan kaum
radikal mengabaikan budaya kemiskinan. Mereka menekankan peranan struktur
ekonomi, sosial dan politik dan memandang sebagai manusia makhluk yang
kooperatif, produktif dan kreatif.
Menurut Keban (1994), pandangan konservatif cenderung melihat bahwa
program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah sikap mental
masyarakat miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing
manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pemerintah.
Dalam hal ini pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justeru merangsang
timbulnya kemiskinan. Kaum liberal memandang orang miskin sebagai pihak yang
mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan,
pekerjaan dan perumahan yang layak, cenderung merasa optimis dengan kaum
miskin dan menganggap mereka sebagai sumberdaya yang dapat berkembang
seperti orang-orang kaya. Bantuan pemerintah dipandang sangat bermanfaat untuk
direalisasikan; sedangkan kaum radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan
struktur kelembagaan ekonomi dan politik. Oleh karenanya, kebijakan yang ditempuh
adalah melakukan perubahan kelembagaan ekonomi dan politik secara radikal.
Dimensi-dimensi Kemiskinan
Menurut KIKIS (2003) kemiskinan bersifat multi dimensional, yaitu terkait dengan
masalah: (1) kesejahteraan, yaitu: terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan,
kesehatan dan pendidikan; (2) akses terhadap sumberdaya, yaitu: adanya peluang
untuk memanfaatkan sarana untuk menggunakan fasilitas dan berproduksi, seperti:
menggunakan teknologi, informasi, kredit modal, pelayanan kesehatan, sumber daya
alam, listrik, telekomunikasi; (3) kesadaran kritis, yaitu: kesadaran rakyat akan hak
dan dapat memperjuangkan hak, seperti: mampu menentukan pilihan, berani berpikir
bebas, berani mempertanyakan segala nilai, norma, tatanan yang ada, baik dari adat
istiadat, agama, negara dan berani bertindak mengubahnya agar menjadi lebih adil;
(4) partisipasi, yaitu peran rakyat untuk bisa terlibat atau ikut andil dalam
pengambilan keputusan dan menjadikannya lebih aktif bukan sebagai anggota yang
pasif, dan (5) posisi tawar, yaitu: Kemampuan rakyat untuk menentukan nasib dan
kepentingan sendiri, pemanfaatan sumberdaya dan punya kekuatan untuk menuntut
hak.
Selaras dengan pendapat tersebut, Saefuddin (2003) dan Ellis (1994) merangkum
beberapa dimensi kemiskinan yang terkait dengan bidang: (1) politik, yaitu tidak
memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka;
(2) sosial, yaitu tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada (3) ekonomi,
yaitu rendahnya kualitas SDM, termasuk kesehatan, pendidikan, dan keterampilan
yang berdampak pada penghasilan; (4) budaya, yaitu terperangkap dalam budaya
rendahnya kualitas SDM, seperti: rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan
fatalisme, dan (5) lingkungan hidup, yaitu rendahnya pemilikan aset fisik termasuk
aset lingkungan hidup, seperti: air bersih dan penerangan
Jenis - Jenis Kemiskinan
Kemiskinan dapat dibagi menjadi dua bagian menurut sifat dasar, yaitu: (1)
kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi akibat krisis
ekonomi, dan (2) kemiskinan kronik (chronic poverty). Menurut Hulme dan Shepherd
(2003), "chronic poverty has been defined as "occording when an individual
experiences significant capability deprivation for a period of five years or
more…Capability deprivation are here seen as multi-dimensional going beyond the
ussual income and consumption measure, to include tangible and intangible assests,
nutritional, status and indices of human deprivations".
Menurut KIKIS (2003) jenis-jenis kemiskinan, antara lain: (1) kemiskinan manusia,
yaitu Kekurangan kapabilitas esensial manusia, terutama melek huruf dan gizi; (2)
kemiskinan pendapatan, yaitu Kekurangan pendapatan sehingga tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi minimum; (3) kemiskinan absolut, yaitu Tingkat
kemiskinan di bawah kebutuhan minimum untuk bertahan hidup yang tidak dapat
dipenuhi. Diterapkan dengan mengukur kebutuhan kalori minimum plus komponen
bahan makanan yang esensial; (4) kemiskinan relatif, yaitu Didefinisikan dalam
hubungannya dengan sesuatu rasio garis kemiskinan absolut, atau di negara maju
sebagai proporsi pendapatan rata-rata per kapita; (5) indeks pembangunan manusia
(HDI), yaitu Menurut Program Pembangunan PBB (UNDP), HDI merupakan komposit
dari tiga faktor: (a) harapan hidup pada waktu lahir, (b) melek huruf dewasa, dan (c)
pendapatan per kapita; (6) indeks kemiskinan manusia, yaitu Ukuran UNDP untuk
ketiadaan kebutuhan dasar manusia. Variabel yang digunakan untuk menentukan
indeks ini adalah: (a) persentase orang yang diperkirakan akan meninggal sebelum
usia 40 tahun; (b) persentase orang dewasa yang buta huruf; dan (c) layanan ekonomi
menyeluruh diukur dari prosentase orang yang tidak mempunyai akses pada layanan
kesehatan dan air bersih yang aman dan prosentase anak-anak balita yang beratnya
di bawah normal, dan (7) ukuran pemberdayaan gender, yaitu Asesmen UNDP
tentang tingkat kesenjangan gender di bidang-bidang ekonomi yang penting,
partisipasi politik, dan pengambilan keputusan.
Paradigma Lama Penanggulangan Kemiskinan
Aktivitas utama dari penanggulangan kemiskinan selama ini didominasi oleh dua
pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pemenuhan konsumsi per kapita (menggunakan
garis kemiskinan dan bersifat makro). Pasokan datanya dikerjakan melalui Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)/ Biro Pusat Statistik (BPS); dan (2) pendekatan
yang berbasis keluarga. Pendekatan ini memiliki patokan 8 (delapan) ciri rumah
tangga miskin, yaitu: (1) luas lantai rumah kurang dari 8 m2; (2) jenis lantainya tanah;
(3) menggunakan air hujan atau dari sumber air tak terlindung sebagai pasokan air
bersih; (4) tidak memiliki jamban; (5) tidak memiliki asset; (6) tidak ada ketersediaan
lauk pauk, atau ada sedikit lauk pauk tapi tidak bervariasi; (7) tidak pernah terlibat
dalam kegiatan sosial; dan (8) tidak pernah membeli pakaian. Pendekatan yang
kedua ini biasa dilakukan oleh BKKBN. BKKBN menggolongkan masyarakat menjadi
pra-sejahtera (miskin), sejahtera I (sedikit diatas ambang garis kemiskinan) dan
sejahtera II (jauh di atas ambang kemiskinan).
Kedua pendekatan di atas banyak memiliki kelemahan mendasar, yaitu: Pertama,
kedua pendekatan tersebut di atas tidak membuka peluang bagi suara dan aspirasi
orang miskin. Hal itu berarti definisi kemiskinannya bisa bertabrakan dengan definisi
kemiskinan dari orang miskin itu sendiri. Akibatnya, definisi dan operasionalisasi
kegiatan penanggulangan kemiskinan tidak cukup layak untuk memahami realitas
kemiskinan yang sesungguhnya terjadi. Kedua, kedua pendekatan tersebut
menimbulkan konsekuensi operasionalisasi teknis kegiatan penanggulangan
kemiskinan menjadi pendekatan ekonomi yang bersifat kedermawanan (charity). Hal
itu berarti orang miskin menjadi obyek dari suatu aktivitas yang bersifat proyek dan
hanya mampu menjawab masalah dalam jangka pendek. Ketiga, kedua pendekatan
tersebut tidak memiliki kepekaan terhadap keragaman konteks wilayah, sektoral
maupun kedalaman kemiskinan. Keempat, kedua pendekatan itu tidak bisa
diharapkan dapat menyumbang proses demokratisasi karena hanya menghasilkan
pola hubungan subordinat di mana "pengendali proyek" penanggulangan kemiskinan
sebagai "si dermawan" dan lapisan miskin sebagai "yang terpilih untuk dikasihani".
Kelima, kelemahan mendasarnya adalah kedua pendekatan itu gagap dan
mengingkari persoalan yang menjadi akar masalah atau sebab-musabab kemiskinan.
Ciri pokok dari penanggulangan kemiskinan di masa lalu, yaitu: (1) pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan sendirinya akan membereskan kemiskinan; (2)
kemiskinan lebih banyak dilihat sebagai kurangnya pendapatan dan kurangnya
konsumsi, dan (3) kemiskinan dianggap sebagai gejala kantong-kantong kemiskinan.
Menurut Laode Ida (2002) pemberantasan kemiskinan dimasa lalu menganut paham
bahwa, perlu ada program khusus yang ditujukan secara langsung untuk mengurangi
penduduk miskin. Paham ini tidak memahami penyebab atau akar masalah, tetapi
hanya mengobati akibat.
Realitas kemiskinan yang semakin meluas saat ini menunjukkan bahwa, tatanan
ekonomi, politik, sosial dan budaya justru berperan besar dalam melanggengkan
kemiskinan itu sendiri. Hal ini dapat dicermati dari masalah sistem alokasi sumber
daya alam, kecenderungan utama dalam tatanan ekonomi, politik, sosial dan budaya
yang menguatkan proses pemiskinan rakyat, antara lain: (1) luasnya ekspansi modal
dan permintaannya terhadap ketersediaan tanah murah dalam skala besar; (2) politik
hukum agraria yang tidak adil dan (3) sistem politik pemerintahan yang hegemonic.
Ketiga kecenderungan utama di atas memberikan kontribusi terhadap membesarnya
jumlah petani gurem (petani dengan pemilikan dan penguasaan tanah tidak lebih dari
0,2 hektar) dan petani tuna kisma (petani tanpa pemilikan dan penguasaan tanah
pertanian), serta petani di luar Jawa yang tercerabut dari akar budaya aslinya karena
diklaim Pemerintah sebagai perambah hutan dan terasing yang harus "dimodernkan"
tapi dengan syarat melepas tanah
adatnya (KIKIS, 2003). Gambaran masalah tersebut merupakan salah satu dari
realitas kemiskinan struktural. Kemiskinan tidak dapat ditanggulangi dengan
pendekatan atau strategi yang menolak atau mengingkari realitas yang menjadi
sumber penyebab kemiskinan itu sendiri. Pendekatan atau strategi yang
instrumental, yakni yang mencoba mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada
komunitas miskin ternyata hanya mampu menyelesaikan secara jangka pendek dan
justru memberi peluang untuk kembali terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam.
Hal ini yang sulit dipahami, program penanggulangan kemiskinan justru menghasilkan
penguatan masalah kemiskinan. Paradigma lama penanggulangan kemiskinan
tersebut dapat diidentikan dengan cerita tentang Sang Monyet dan Sang Ikan yang
berakhir dengan "unhappy story". Atau cerita tentang petani yang hanya mamaras
kusu-kusu di kebun/ladang, tanpa mencabut sampai dengan akar-akarnya.
Paradigma Baru Penanggulangan Kemiskinan
Menurut Suharto (2003) hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan
masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigm) yang
bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi dan model yang berpusat pada
produksi (production centered). Paradigma tersebut memiliki berbagai kelemahan
sehingga diperlukan paradigma baru yang lebih berpusat pada manusia (people
centered). Paradigma baru studi kemiskinan, antara lain: (1) kemiskinan sebaiknya
tidak hanya dari karakteristik orang miskin yang statis, melainkan dilihat secara
dinamis; (2) indikator untuk mengukur kemiskinanan sebaiknya tidak tunggal,
melainkan komposit; (3) konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang
lebih lengkap dari pendapatan dalam memotret dinamika kemiskinan; dan (4)
pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin pada beberapa indikator kunci yang
mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencarian
(livelihoods capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment),
mengelola aset (assets management), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan
(access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan
tekanan (cope with shocks and stresses).
Menurut KIKIS (2003) paham apapun tentang kemiskinan dan pendekatan apapun
dalam penanggulangan kemiskinan tidak akan ada manfaatnya jika tidak
menyediakan jaminan bagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
dasar kaum miskin. Dalam perspektif hak, kaum miskin dilihat sebagai manusia yang
bermartabat. Kebijakan yang dibutuhkan bukanlah kebijakan yang memihak mereka
(Not pro-poor policy), tetapi suatu kebijakan yang berdasar pada kepentingan
aktualisasi hak-hak dasar mereka. Memposisikan manusia bermartabat tetapi
sebagai obyek kebijakan, berbeda dengan memposisikan manusia bermartabat
sebagai subyek kebijakan. Perspektif hak memberi prinsip dasar dalam
penanggulangan kemiskinan di masa depan, yakni pendekatan berbasis hak-hak
dasar kaum miskin dalam program dan strategi penanggulangan kemiskinan (Dandan
dan Rubens, 2001). Hal ini menjadi insiatif grand-strategy dari paradigma baru dalam
penanggulangan kemiskinan yang memiliki nilai dasar: penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak-hak dasar kaum miskin. Realitas kemiskinan saat ini
menunjukkan bahwa, telah terjadi proses penghancuran martabat manusia. Amartya
Sen menjelaskan tentang masalah penghancuran kapabilitas manusia dan
dampaknya terhadap proses pemiskinan secara individu maupun kolektif.
Strategi yang dapat dikembangkan dalam perspektif hak kaum miskin antara lain:
pertama, memastikan hak-hak dasar kaum miskin diakui. Tidak cukup hanya dengan
dinyatakan dalam konstitusi (secara hukum), tetapi harus dipastikan dalam setiap
tindakan bahwa hak-hak dasar kaum miskin tidak akan dikhianati. Kedua, hak-hak
dasar kaum miskin tersebut tidak dapat diberikan atau dicabut. Dengan demikian
peran Negara dalam hal ini harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak
dasar kaum miskin tersebut. Ketiga, dalam kerangka negara melaksanakan tanggung
jawab dan kewajibannya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak
kaum miskin, maka negara seyogianya melakukan tindakan politik tanpa
diskriminasi. Keempat, wilayah strategis dalam penanggulangan kemiskinan sangat
bergantung pada konteks wilayah dan sektor. Kenyatan kemiskinan di perdesaan
adalah karena ketiadaan akses terhadap sumber daya yang memberi keamanan bagi
keberlanjutan hidup (Gardiner dan Suleeman, 2004). Mencermati beberapa kelemahan
paradigma modernisasi dan realitas tingginya jumlah penduduk miskin walaupun telah
banyak dilakukan intervensi program penanggulangan kemiskinan, maka paradigma
yang digunakan merupakan konvergensi paradigma pembangunan berpusat pada
manusia (Korten dan Klaus, 1984; Chamber, 1993) dan paradigma pendidikan kritis
(Freire, 1968). Menurut Maksum dan Ruhendi (2004) kesadaran magis dan kesadaran
naif berkaitan dengan perspektif berpikir masyarakat di era pra-modern dan modern,
sedangkan perspektif beripikir masyarakat post-modern cenderung berada pada
kesadaran kritis. Kemampuan berpikir kritis harus diterima secara politis dalam
konteks politik pendidikan dan pelembagaannya harus mengalami penguatan praksis
pada tingkat pembelajaran (Danin, 2003). Sebagai contoh, yaitu masyarakat yang
memiliki kesadaran kritis akan memandang sistem dan struktur sebagai penyebab
kemiskinan, sedangkan mereka yang memiliki kesadaran naif memandang kesalahan
diri sendiri sebagai penyebab kemiskinan.
Penyebab Kemiskinan
Hasil penelitian Turkewitz (2001) di beberapa negara tentang hubungan antara
karakter suatu rezim pemerintahan dengan capaian indikator kemiskinan
menunjukkan hubungan yang sangat kuat, yaitu: (1) makin efektif suatu
pemerintahan, makin rendah tingkat kematian bayi; (2) makin rendah tingkat korupsi
di pemerintahan, makin tinggi tingkat melek huruf orang dewasa; (3) makin baik
kondisi penegakkan hukum suatu negara, makin rendah tingkat kematian bayi; dan
(4) makin sedikit regulasi yang diciptakan pemerintah, makin tinggi tingkat
pendapatan perkapita. Selaras dengan hasil penelitian tersebut, hasil penelitian
Huther dan Shah (Mardiasmo, 2002) menunjukkan korelasi positif yang signifikan
antara indeks pembangunan manusia (human development index)) dengan indeks
kualitas kepemerintahan (governance quality index).
Untuk kasus Indonesia, hasil penelitian Sumarto (2004) menunjukkan bahwa, dampak
tatakelola pemerintahan yang buruk terhadap orang miskin adalah nyata secara
sistematik mempengaruhi banyak orang dan menghambat upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan. Daerah yang melaksanakan praktek tata kelola
pemerintahan yang baik cenderung mengalami tingkat penanggulangan kemiskinan
yang lebih tinggi. Dalam kaitannya antara budaya birokrasi dengan laju penurunan
persentase penduduk miskin, ditemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan
antara berbagai budaya birokrasi (terhadap iklim usaha) terhadap penurunan jumlah
penduduk miskin. Kabupaten/kota yang birokrasi pemerintahannya berkarakter
kurang kondusif, proporsi penurunan jumlah penduduk miskin hanya sebesar 3,4
persen; sedangkan di Kabupaten/Kota yang birokrasi pemerintahannya berkarakter
kondusif mengalami penurunan jumlah penduduk miskin dua kali lipatnya, yaitu 7
persen. Kabupaten/Kota yang birokrasi pemerintahannya termasuk kategori sangat
kondusif, mengalami jumlah penurunan penduduk miskin lebih tinggi lagi, yakni 15
persen.
Faktor Personal
Penyebab kemiskinan terkait dengan beberapa faktor, antara lain: kultural, struktural,
dan alamiah (Kartasasmita, 1996; Bappenas, 2002). Mashoed (2004) menambahkan
aspek psikologis. Faktor kultural dan psikologis dapat dikelompokan dalam faktor
internal (human capital), sedangkan faktor struktural dan alamiah/ekologis sebagai
faktor eksternal (social capital, phisyical capital, financial capital, natural capital).
Pendekatan internal berasumsi bahwa, kemiskinan yang menimpa setiap individu
atau sekelompok masyarakat bersumber dari dalam individu/masyarakat itu sendiri;
berkaitan dengan budaya yang dianutnya. Menurut Solomon (1999) "culture is the
accumulation of shared meanings, rituals, norms, and traditions among the members
of an organization or society". Budaya terdiri dari beberapa unsur, antara lain: nilai
(value), norma (norms), kebiasaan (customs), larangan (mores), konvensi
(conventions), mitos, dan simbol (Soekanto, 1990; Sumarwan, 2003). Menurut
Sumardjan (1993) budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem
kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf kemiskinan yang disandang
sustu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tak perlu diusahakan
perbaikannya. Kemiskinan dilihat sebagai nasib dan tak mungkin berubah;
masyarakat menyerah pada nasib dan bersikap tak perlu, bahkan tak mampu
menggunakan sumberdaya lingkungan untuk mengubah nasib tersebut. Disamping
itu, Lewis (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan merupakan adaptasi dan
reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang
berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kemiskinan kultural
dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun cenderung untuk tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat yang memiliki kondisi: (1) sistem ekonomi uang,
buruh upahan, dan sisten produksi untuk keuntungan; (2) tingginya tingkat
pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya
upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan
organisasi sosial, ekonomi dan politik secara sukarela maupun atas prakarsa
pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada unilateral; dan (6)
kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan
penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan hidup
hemat, serta adanya anggapan bahwa redahnya status ekonomi sebagai hasil
ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Beberapa pola strategi adaptasi di kalangan penduduk miskin pedesaan yang
dikembangkan untuk menjaga kelangsungan hidup, antara lain: (1) melakukan
beraneka ragam pekerjaan untuk memperoleh penghasilan; (2) jika kegiatan-kegiatan
tersebut belum memadai, penduduk miskin akan berpaling ke sistem penunjang yang
ada di lingkungannya; (3) bekerja lebih banyak meskipun lebih sedikit masukan; (4)
memilih alternatif lain jika ketiga alternatif di atas sulit dilakukan dan kemungkinan
untuk tetap bertahan hidup di desa sangat kritis (Corner, 1988).
Faktor Situasional
Mubyarto (1998) mengemukakan bahwa kemiskinan merupakan persoalan
situasional. Faktor situasional (struktural/eksternal) berasumsi bahwa, kemiskinan
yang melanda setiap individu/sekelompok masyarakat lebih diakibatkan oleh faktor
yang berasal dari luar individu/sekelompok masyarakat tersebut. Berdasarkan fakta
obyektif diketahui bahwa, realitas kemiskinan lebih didominasi oleh kemiskinan
struktural. Fokus kemiskinan struktural adalah menyoroti pada proses pemiskinan
dan sebab-sebab kemiskinan. Secara umum kemiskinan dipahami sebagai
perampasan kapabilitas atas ruang-ruang dimana orang bisa berkiprah. Cara pandang
kemiskinan struktural adalah sedapatnya membongkar penyebab masalah
kemiskinan yang disebabkan oleh kekuatan eksternal. Penganut paham ini
menentang asumsi-asumsi teori modernisasi tentang penyebab kemiskinan yang
terjadi dikalangan masyarakat sebagai akibat dari nilai-nilai budaya tradisional (Maliki,
2003).
Kemiskinan struktural merupakan perampasan daya kemampuan (capability
deprivation) manusia atau kelompok manusia yang terjadi secara sistematis sehingga
membuat manusia dan kelompok manusia itu terjebak dalam kondisi yang
memiskinkan. Perampasan daya kemampuan tersebut mencakup: (1) perampasan
daya sosial, yaitu perampasan akses pada 'basis' produksi rumah tangga, seperti
informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi, dan
sumber-sumber keuangan. Akses terhadap daya sosial tersebut juga disebabkan oleh
tekanan ekspansi modal dan globalisasi ekonomi; (2) perampasan daya politik, yaitu
perampasan akses individu terhadap pengam-bilan keputusan politik, bukan saja pada
kemampuan untuk memilih, tetapi juga untuk menyuarakan aspirasi dan tindakan
kolektif; (3) perampasan daya psikologis, yaitu tekanan eksternal yang menyebabkan
hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya, baik dalam pembangunan
sosial maupun politik sehingga individu/kelompok masya-rakat tidak memiliki peluang
untuk mampu berpikir kritis. Tekanan eksternal diinternalisasi kepada individu/
kelompok masyarakat sehingga menjadi kesadaran palsu.
Ada lima dimensi pokok dari kemiskinan struktural, yaitu: Pertama, dimensi
kekuasaan yang mengatur pola hubungan kekuasaan (power relation), baik hubungan
kekuasaan politik, ekonomi, maupun kebudayaan; Kedua, dimensi kelembagaan,
dimensi kelembagaan bukan saja pemerintahan, tapi lembaga tradisional mempunyai
pengaruh yang signifikan dengan kemiskinan struktural. Ketiga, dimensi kebijakan,
yaitu produk perundang-undangan serta keputusan-keputusan lembaga pemerintah
yang mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap proses
pemiskinan dan program penanggulangan kemiskinan. Setidaknya ada lima unsur
kebijakan, kelembagaan dan proses-proses sosial ekonomi yang berkaitan langsung
terhadap proses pemiskinan dan kemiskinan, yaitu: (1) politik otoriter dan
sentralisme, (2) ekonomi pasar dan Washington Consensus, (3) penanggulangan
kemiskinan di masa lalu, (4) peranan donor, dan (5) lingkungan ekonomi global.
Dalam konteks teori globalisasi, diketahui bahwa globalisasi baik secara kultural,
ekonomi, politik dan/atau intitusional merupakan salah satu penyebab kemiskinan
"chronic" (Gore, 2002; Bracking, 2003; Ritzer dan Goodman, 2004); Keempat,
dimensi budaya, antara lain: nilai, sikap, perilaku budaya, khususnya yang
berkembang sebagai reaksi terhadap tekanan eksternal masyarakat miskin; dan
Kelima, dimensi lingkungan fisik yang berhubungan dengan potensi sumber daya
alam di suatu daerah. Berkaitan dengan kelima dimensi kemiskinan struktural
tersebut, Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa sekurang-kurangnya ada 4
penyebab kemiskinan, yaitu: (1) rendahnya taraf pendidikan; (2) rendahnya tingkat
kesehatan; (3) terbatasnya lapangan kerja; dan (4) kondisi keterisolasian.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Bappenas (2002) telah menetapkan dua strategi utama penanggulangan kemiskinan,
yaitu: (1) meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktivitas, dimana
masyarakat miskin memiliki kemampuan pengelolaan, memperoleh peluang dan
perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan
ekonomi, sosial budaya maupun politik; dan (2) mengurangi pengeluaran melalui
pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses ke pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi. Kedua
strategi tersebut dijabarkan dalam empat pilar langkah kebijakan sebagai berikut:
(1) Dalam rangka memperluas kesempatan (promoting opportunity) maka strategi
yang dilakukan adalah menciptakan suasana dan lingkungan ekonomi makro,
pemerintahan, dan pelayanan publik yang memihak bagi pencapaian upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan.
(2) Dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat (community empowerment),
maka strategi yang dipilih adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia,
pemantapan organisasi dan kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya
sehingga mampu mengakses dan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan dan
perencanaan publik.
(3) Dalam rangka upaya peningkatan kemampuan (capacity building), maka strategi
yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk
meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan,
peningkatan keterampilan usaha, permodalan, prasa-rana, teknologi, serta informasi
pasar.
(4) Dalam rangka upaya perlindungan sosial (social protection), maka strategi yang
dipilih adalah memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin,
utamanya kelompok masyarakat yang paling miskin (fakir miskin, orang jompo, anak
terlantar, cacat) dan kelompok masyarakat miskin yang disebabkan oleh bencana
alam, dampak negatif, krisis ekonomi dan konflik sosial yang diarahkan melalui
kemampuan kelompok masyarakat dalam menyisihkan sebagian dari penghasilan
melalui mekanisme tabungan kelompok.
Berdasarkan faktor penyebab kemiskinan yang dominan, yaitu faktor struktural
(eksternal), maka KIKIS (2004) mengusulkan empat pilar demokratisasi untuk
melawan pemiskinan, yaitu:
(1) Restrukturisasi relasi politik, antara lain: (a) Penanggulangan pemiskinan
seharusnya menjadi satu pasal dalam amandemen UUD 45. Pasal ini akan mengikat
negara dan pasar untuk mendukung usaha-usaha redistribusi aset ekonomi, transfer
teknologi, jaminan layanan kesehatan dan pendidikan yang luas dan bermutu. Hal ini
mutlak perlu sebagai wujud komitmen tertinggi dari bangsa kepada kaum miskin; (b)
Perlunya dibentuk UU yang secara khusus mengatur penanggulangan kemiskinan.
UU ini akan mengatur: strategi penanggulangan kemiskinan dan target
penanggulangan kemiskinan; komisi independen kemiskinan dan dana/alokasi dana
untuk penanggulangan kemiskinan; (c) Komisi Penanggulangan Kemiskinan
Independen yang diangkat berda-sarkan UndangUndang dan beranggotakan orang
yang kredibel yang memiliki mandat untuk memajukan, membela dan memantau
program pembangunan dan penanggulangan kemiskinan; (d) Revisi dan/atau
pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang meng-hambat atau tidak
mendukung usaha-usaha penanggulangan pemiskinan.
Berdasarkan keempat hal tersebut, maka pendekatan penanggulangan kemiskinan
menjadi kewajiban hukum (legal obligation) dari Negara. Dengan demikian akan
terhindari penanggulangan kemiskinan menjadi suatu hal yang bersifat
"kedermawanan' (charity). Terkait dengan pendekatan kemiskinan berbasis hak,
maka strategi yang bertumpu pada kewajiban negara (state obligation) akan dapat
menjadi inisiatif yang memadai untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat
miskin.
(2) Redistribusi kekayaan, antara lain: (a) Pembaruan agraria sangat diperlukan untuk
mengatasi ketimpangan pemilikan dan penguasaan sumber daya tanah,
mempertinggi produk-tivtas, dan menggerakkan ekonomi pedesaan (Nugroho, 2001);
(b) Reformasi pajak dan anggaran yang pro rakyat (pro poor budgeting) adalah
instrumen pokok dimana negara memilki kendali dan bisa melakukan pengambilan
keputusan dan alokasi sumberdaya yang progresif. Pajak yang progresif akan
membuat alokasi yang adil dan membuat negara tidak tergantung sumber luar negeri.
Anggaran yang pro rakyat akan membuat ekonomi tumbuh, masyarakat dapat
bekerja dan layanan sosial akan luas dan bermutu. Anggaran publik dalam APBN dan
APBD yang pro rakyat adalah wujud dan bukti komitmen politik pemerintah atas
rakyatnya; (c) Kesehatan dan pendidikan dengan menyediakan peluang dan fasilitas
kesehatan dan pendidikan seluas mungkin bagi rakyat, negara secara langsung
sudah membagi aset untuk masa kini dan masa depan. Kesehatan dan pendidikan
adalah area dimana negara dan pemerintah memiliki kendali untuk menolong
rakyatnya bebas dari kemiskinan. Kesehatan dan pendidikan adalah jalur utama bagi
kaum miskin dan kaum perempuan untuk bebas dari pemiskinan dan kemiskinan.
Pendidikan dan kesehatan yang luas dan bermutu akan menaikkan kesempatan
ekonomi dan sosial bagi kaum miskin dan perempuan menjadi rakyat yang kuat,
warga negara yang cerdas. Kurangnya perhatian dan investasi pada masalah
kesehatan dan pendidikan justru akan melanggengkan proses-proses pemiskinan.
(3) Reorientasi pengelolaan ekonomi menuju ekonomi kerakyatan. Tujuan ekonomi
kerakyatan adalah memandirikan ekonomi nasional, membuka kesempatan ekonomi
bagi semua rakyat, perimbangan pengelolaan keuangan negara, baik dalam konteks
antara usaha kecil, menengah dan besar, ataupun antara pusat dan daerah,
mengadilkan pemilikan dan menghapuskan ketimpangan pemilikan aset negara,
termasuk kredit perbankan, memperkuat peranan negara dalam mengendalikan atau
mengatur pasar. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi rakyat untuk memiliki akses sebesar-besarnya terhadap aset:
tanah, kredit, keuangan, produksi, tanah, teknologi, sumber daya alam, dan lain-lain
yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.
Strategi ekonomi kerakyatan antara lain: (a) peningkatan disiplin pengelolaan
keuangan negara dengan sasaran utama penanggulangan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya; (b) penghapusan monopoli melalui
penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan; (c) peningkatan alokasi
sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah; (d) redistribusi
pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap; (e) pembaharuan UU koperasi
dan pendirian koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan; (f)
penyehatan dan reformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk efiesiensi
ekonomi, pemilikan saham bagi pekerja BUMN, dan lainnya; (g) memperkuat dan
menstabilkan ekonomi nasional dengan memperlambat liberalisasi keuangan,
memberlakukan kontrol modal dan devisa; (h) penggunaan instrumen moneter dan
fiskal yang expansif untuk menggerakan ekonomi dalam negeri, dan (i) akses dana
dan kredit untuk pertanian, pendidikan, usaha kecil dan menengah. Hasil penelitian
Susilo Bambang Yudhoyono (2004) juga menunjukkan bahwa angka kemiskinan
dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi dan tingkat upah.
(4) Reformasi fundamental peran donor, yaitu: mendesak negara-negara donor agar
mereka bisa membantu Indonesia secepatnya keluar dari krisis, antara lain: (a)
strategi penanggulangan kemiskinan harus mencerminkan kebutuhan dan
kepentingan Indonesia; (b) membantu Indonesia mengurangi beban utangnya, secara
langsung menghapuskan utang di masa lalu; (c) membantu Indonesia memiliki pilihan
kebijakan ekonomi lain selain yang diajukan oleh IMF, terutama dalam soal strategi
makro ekonomi; (d) memberikan bantuan teknis yang tidak bersyarat sehingga
bantuan tidak menyebabkan ketergantungan; dan (e) bersama Indonesia membuat
reformasi pengambilan keputusan dalam lembaga keuangan internasional dalam
manajemen ekonomi global.
Strategi penanggulangan kemiskinan yang dirumuskan oleh Bappenas (2002) dan
KIKIS (2004) tersebut dikritik oleh pada para pegiat LSM karena proses
penyusunannya bersifat sangat-terlalu elitis-sentralistis (tidak bersifat desentralistis
sesuai semangat dan roh otonomi daerah), tidak partisipatif dalam artian tidak
melibatkan perwakilan masyarakat miskin sehingga tidak memenihi prinsip
akuntabelitas publik, dan menafikan realitas penyebab kemiskinan yang bersifat
lokal-spesifik. Oleh karena itu, perumusan strategi penanggulangan kemiskinan
daerah (SPKD) sesuai amanat Inpres Nomor 5 tahun 2003 seyogianya berbasis pada
penyebab kemiskinan, baik penyebab langsung (pola), penyebab tidak langsung
(struktur) dan penyebab mendasar/akar permasalahan dilakukan melalui analisis
kemiskinan partisipatif (AKP) sebagai pendekatan alternatif. Langkah-langkah yang
perlu dilakukan dalam melakukan AKP, yaitu dengan mengajukan beberapa
pertanyaan kunci, antara lain:
Pertanyaan pertama, yaitu dimana masyarakat miskin berada? Pertanyaan ini akan
menuntun kita untuk mengenali konsentrasi peta kemiskinan, apakah mereka berada
pada daerah tertentu, misalnya perkampungan nelayan, daerah pertanian, daerah
suku minoritas tertentu atau di daerah terpencil di pegunungan, atau di sudut-sudut
perkotaan atau kemiskinan ada merata di berbagai tempat. Kita dapat mengajak
berbagai stakeholders melalui proses konsultasi publik terbatas untuk menentukan
tipologi kemiskinan yang terdapat di kabupaten/kota tersebut. Penentuan tipologi
harus didasarkan pada pertimbangan gabungan data kemiskinan yang dikeluarkan
oleh BKKBN, BPS, Dinsos, Bappeda dan sumber lainnya yang dapat dipercaya,
dengan tidak mempertentangkan konsep yang dianut oleh masing-masing
Dinas/Badan/Kantor/lembaga
Pertanyaan kedua, yaitu siapa saja pihak yang miskin tersebut? Apakah mereka
umumnya berasal dari suku tertentu, kelompok masyarakat yang mempunyai
kedudukan sosial tertentu atau mempunyai pekerjaan-pekerjaan tertentu. Misalnya
mereka umumnya merupakan buruh nelayan yang tidak mempunyai perahu sendiri,
mereka buruh perkebunan musiman yang merupakan pendatang di daerah ini, mereka
adalah masyarakat yang hidup di laut yang tidak mempunyai lahan dan dianggap oleh
masyarakat lokal umumnya sebagai masyarakat yang terbelakang dan suka mencuri
atau mereka merupakan suku berpindah yang hidup di hutan yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan kehidupan modern pada umumnya dan masyarakat
menganggapnya sebagai suku terasing. Bagaimana kondisi perempuan, janda dan
buruh anak pada masyarakat miskin ini? Misalnya di masyarakat nelayan kondisi
janda sangat sulit karena mereka tidak punya akses kelaut (umumnya perempuan
tidak ikut kelaut), akses utama kehidupan nelayan. Mereka terpaksa hidup dari sisa
ikan yang tidak laku terjual dan bercocok tanam secara sangat sederhana. Dari
kedua pertanyaan ini kelompok miskin akan menjadi jauh lebih kongkrit sosoknya,
sehingga pertanyaan berikut juga bisa dijawab dengan sangat spesifik.
Pertanyaan ketiga, yaitu mengapa mereka menjadi miskin atau tetap miskin?
Umumnya mereka miskin karena kekurangan akses terhadap sumber-sumber utama
ekonomi mereka seperti keterbatasan informasi, pasar, modal, pengetahuan
pengelolaan produksi (manajemen usaha) atau pada keputusan publik yang
menentukan harkat hidup mereka. Contohnya, keterbatasan informasi mengenai cara
memelihara ayam yang baik, cara menyiasati pasar yang ada, harga komoditi di
pasaran, cara memperoleh input yang lebih murah dll. Keterbatasan akses terhadap
pasar karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang memonopoli akses mereka
kepasar di luar desanya dll. Keterbatasan modal, semua usaha selalu mengeluhkan
keterbatasan modal namun adanya modal yang lebih besar tidak selalu
menyelesaikan masalah dan bahkan bisa memperparah keadaan. Pemberian modal
pinjaman untuk mesin jahit pada pengrajin boneka di Tasikmalaya justru mengurangi
pendapatan mereka. Mereka dahulunya dipinjamkan mesin oleh pengumpul, sekarang
harus mencicil dan memelihara mesin sendiri sementara harga jual ke pengumpul
yang memonopoli akses ke pasar luar sama saja. Mesin jahit juga tidak bisa dipakai
untuk kepentingan produktif lainnya. Petani bebek di Jawa Tengah nasibnya lebih
buruk setelah mendapat modal karena kesulitan mengembalikan hutangnya.
Penambahan bebek memerlukan cara penanganan yang lebih profesional sementara
pengetahuan produksi mereka terbatas dan daya serap pasar desa untuk bebek
mereka juga terbatas. Produksi bebek meningkat tapi harga jual jadi menurun. Modal
selalu dibutuhkan tapi tanpa memperhitungkan kemampuan mengatur produksi dan
akses pasar modal bisa menjadi bumerang.
Pengelolaan produksi, misalnya pengrajin meubel dan sejenisnya sering
meningkatkan produksi berdasarkan perkiraan trend pasar yang kurang dikaji dengan
baik sehingga pada saat tertentu sering terjadi kelebihan produksi. Akibatnya untuk
membayar buruh dan biaya lainnya barang terpaksa di jual dengan merugi.
Kemampuan mengelola sistem produksi yang dikaitkan dengan kondisi pasar sangat
penting namun kebanyakan pengusaha kecil tidak mempunyai kemampuan ini. Harus
ada sistem yang menjembataninya. Akses terhadap keputusan publik, yaitu sering
keputusan mengenai tata ruang bisa secara tiba-tiba memiskinkan banyak orang.
Contohnya, Keputusan Pemerintah DKI Jakarta untuk merubah fungsi suatu
perkampungan di Jakarta Utara menjadi kompleks Ruko hanya menguntungkan
aparat dan merugikan masyarakat banyak. Daerah kampung miskin ini merupakan
daerah industri rumahan penunjang eksport "wearing apparel". Detail-detail kecil dari
barang yang akan dieksport seperti manik-manik, kancing yang lepas dipasang disini
sebelum dimasukan ke container. Suatu sistem yang praktis dan menguntungkan
produsen, kelompok miskin dan eksport Indonesia, terpaksa hilang hanya karena
perencana di DKI tiba-tiba merasa akan lebih produktif bila daerah ini dibuat ruko. Bila
kelompok miskin mempunyai kesempatan yang sama terhadap keputusan publik
kerugian ini tidak akan terjadi.
Kerentanan yang tinggi, selain akses mereka juga miskin karena mempunyai
kerentanan yang tinggi. Mereka sering mempunyai kiat-kiat yang mengagumkan
untuk mengatasi krisis namun kerentanan mereka umumnya tetap tinggi. Seorang
janda yang berdagang kelontong sering harus memakai semua modalnya bila anak
sakit, ada keluarga hajatan, dll. Petani kecil sekali gagal panen akan sulit
memberoleh modal kembali dan sering terbelit hutang yang berkepanjangan.
Pedagang ukiran logam akan bangkrut bila sedikit kurang memperhatikan fluktuasi
harga logam yang berubah cepat. Kerentanan-kerentanan semacam ini yang penting
untuk diatasi dalam mengurangi kemiskinan. Bagaimanapun, kerentanan ini sangat
perlu disadari walau sering tertutupi oleh kegigihan dan fleksibilitas mereka dalam
berusaha. Kerentanan ini, seringkali menyebabkan mereka sangat sulit
mengakumulasi modal. Penyebab kemiskinan terkait dengan "human capital", "social
capital", " financial capital", "physical capital" dan "natural capital" dapat dianalisis
dengan diagram penyebab kemiskinan (cause effect diagram) atau dengan fenomena
gunung es (Iceberg phenomenom).
Pertanyaan keempat yaitu, apa yang seharusnya dilakukan, apa yang mampu
dilakukan oleh para stakeholders, bagaimana caranya? Bila kita akan mengarah pada
strategi yang realistis, maka kita perlu membedakan kedua jawaban ini dan
memfokuskan diri pada apa yang mampu dilakukan. Pemetaan jawaban 1,2 dan 3
yang digabungkan dengan usulan upaya-upaya penanganan yang realistis inilah
merupakan suatu strategi penanggulangan kemiskinan (siapa melakukan apa, kapan,
dimana dan bagaimana). Setelah merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan
secara transparan, partisipatif dan akuntabel, maka SPKD tersebut harus
dikonsultasi-publikan lagi di tingkat cluster (kecamatan) dan di kabupaten/kota untuk
mendapatkan masukan yang lebih luas dan mempertinggi prinsip transparansi,
partisipasi dan akuntabilitas publik. Selanjutnya SPKD tersebut harus dilembagakan
melalui mekanisme legislasi yang diajukan oleh pihak eksekutif (pemkab/Pemkot)
atau mungkin pula merupakan hak inisiatif legislatif kalau inisiatifnya berasal dari
DPRD. Pelembagaan SPKD dalam bentuk peraturan daerah (Perda) harus dilakukan
karena memiliki kekuatan "legal-formal" untuk selanjutnya diintegrasikan dalam
mekanisme perencanaan dan penganggaran reguler (APBD), kemudian
diimplementasikan, diawasi oleh publik dan dipertanggungjawabkan dalam LPJ
Bupati/Walikota.
Penutup
Upaya penanggulangan kemiskinan memiliki makna filosofis, strategis maupun
pragmatis. Oleh karenanya, upaya penanggulangannya seyogianya dilakukan secara
menyeluruh, mendasar, mendalam, transparan, partisipatif dan akuntabel dengan
berbasis pada penyebab kemiskinan yang multi-dimensional, baik secara langsung,
tidak langsung, maupun menukik langsung pada akar permasalahannya. Jika tidak
demikian, maka genaplah sudah Pepatah Afrika yang mengatakan bahwa" Barang
siapa ingin membantu sembilan orang miskin, maka ia menghadapi resiko menjadi
orang miskin yang kesepuluh". Dengan demikian, kita harus bekerjasama lintas
sektoral-para pihak (multi-stakeholders), lintas kabupaten/kota, lintas propinsi dan
lintas negara dalam menanggulangi kemiskinan. Karena itu, falsafah sapu lidi masih
sangat relevan dalam upaya penanggulangan kemiskinan, yaitu berkerja bersama
dalam menanggulangi kemiskinan (Working together to overcome the poverty).
Dengan kemauan politik (political will) dan aksi politik (p
olitical action) dan aksi bersama multi-stakeholders (collective action), maka harapan
kita untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang berpihak pada masyarakat miskin
(pro-poor governance) menjadi kenyataan. Kata "Kakak Kelas Saya": "Bersama kita
bisa", amin.
Penulis adalah Mantan Fasilitator Perda Transparansi dan Partisipasi Masyarakat
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan; Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah, Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Reformasi Sistem Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah di Kabupaten Boalemo, Propinsi Gorontalo.
MASARIKU NETWORK
|