Media Indonesia, Kamis, 18 November 2004
BERITA UTAMA
EDITORIAL: Poso dalam Duet Yudhoyono-Kalla
POSO akhir-akhir ini mirip 'tanah tak bertuan'. Hampir tidak ada otoritas apa pun yang
cukup memiliki wibawa dan kekuatan untuk menghentikan kekerasan.
Dalam pekan-pekan terakhir, Poso, Sulawesi Tengah, seperti negeri para rambo.
Orang-orang bersenjata menembak seenaknya orang lain di tempat-tempat umum
seperti di pasar, jalan raya, bahkan di gereja. Dan yang amat menyedihkan, seperti di
negeri koboi, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa ditangkap.
Sabtu pekan lalu sebuah bom meledak di Pasar Sentral Poso yang menewaskan
enam orang. Sebelumnya, seorang sopir angkot di kota itu ditembak mati tidak lama
setelah seorang kepala desa dipenggal di rumahnya. Beberapa bulan yang lalu
seorang jaksa ditembak mati sepulang dari pesta. Seorang pendeta yang sedang
berkhotbah di gereja pun dibunuh dengan senjata api. Yang menyedihkan, polisi
belum bisa menangkap pelakunya sampai hari ini.
Persoalan Poso, sama dengan masalah Aceh, Maluku, dan Papua, berpangkal dari
ketidakadilan. Ketidakadilan lokal yang dipicu oleh kebijakan Jakarta dalam berbagai
hal. Dari soal pemilihan bupati dan gubernur sampai dengan penerimaan pegawai
negeri sipil. Ketidakadilan yang berlangsung amat lama kemudian memperoleh
pembenaran ketika masyarakat lokal menganalisisnya dari sisi agama, suku, dan
daerah.
Fakta lain adalah kekerasan di Poso, Aceh, Maluku, dan Papua melibatkan
orang-orang bersenjata. Di Aceh ada Gerakan Aceh Merdeka, di Papua ada
Organisasi Papua Merdeka, di Maluku ada Republik Maluku Selatan, dan di Poso ada
kekuatan bersenjata yang kita cuma bisa menyebutnya sebagai orang-orang
misterius.
Pertanyaan kita adalah begitu misteriuskah persoalan di Poso sehingga kekerasan
yang meletus sejak tahun 2000 tidak teratasi, bahkan sekarang cenderung membara
lagi? Kita khawatir kalau pemerintah dan aparatur selalu tidak berdaya bila
berhadapan dengan kekerasan bersenjata. Di Aceh kita tidak mampu, di Papua tidak
mampu, di Maluku tidak bisa, di Poso kita loyo. Padahal, orang-orang bersenjata di
Poso jumlahnya tidak sampai satu kompi barangkali.
Bila Poso kembali membara, hal itu adalah tamparan memalukan bagi Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Kita ingat ketika keduanya dalam kapasitas
sebagai Menko Polkam (SBY) dan Menko Kesra (Kalla) di era Presiden Megawati
memproklamasikan persetujuan Malino I dan II. Perjanjian itu, kala itu, dipuji-puji
sebagai terobosan yang mampu mendamaikan orang-orang yang bertikai di Maluku
dan Poso.
Alangkah malunya kalau sekarang, di saat SBY dan Jusuf Kalla menjadi Presiden
dan Wakil Presiden, Poso kembali menjadi negeri para rambo. Kalau dulu duet
Yudhoyono-Kalla masih bernama duet menko, sekarang duet itu berubah nama
menjadi presiden dan wakil presiden. Masa duet dengan kewenangan lebih besar
kalah tajam ketika keduanya berduet di bawah bendera menko?
Aceh, Papua, Maluku, dan Poso memang bukan masalah sederhana. Akan tetapi,
yang membuat masalah yang tidak sederhana itu semakin rumit adalah
ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan persoalan. Karena tidak serius, maka
tidak tuntas.
Copyright © 2003 Media Indonesia. All rights reserved.
|