The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Maluku Media Centre


Maluku Media Centre, Senin, 06/09/2004 21:38:02 WIB

Pemerintah Pusat Garap Habis Ikan Maluku

Reporter : Azis Tunny

Ambon, MMC --- Laut yang membentang luas di Provinsi Maluku membuat daerah ini kaya akan baharinya. Bagaimana tidak, provinsi yang memiliki 1.207 pulau itu 90 persennya terdiri atas lautan. Sayangnya, akibat banyaknya izin penangkapan ikan dan ekspor ikan yang dikeluarkan pemerintah pusat, provinsi Maluku merasa sangat dirugikan dengan regulasi ini.

Tercatat di Maluku hingga kini dari 19 perusahaan perikanan yang fishing ground-nya di perairan Maluku dan melakukan ekspor dari Maluku dan sisanya lebih banyak mengekspor dari Jakarta atau Surabaya. "Proses seperti ini sudah berlangsung sejak tahun lalu, dan ini sangat merugikan Maluku," kata Kepala Dinas Perindustrian dari Perdangangan Maluku Drs. Burhan Bandjar kepada wartawan, Senin (6/9), di Ambon.

Untuk itu, pihaknya saat ini sedang membuat program dan mendata ulang berapa banyak perusahaan penangkapan ikan yang beroperasi di Maluku serta melakukan aktivitas ekspornya. Sedangkan data sementara yang ada di pihaknya, kata Bandjar, sekitar 19 perusahaan saja yang melakukan penangkapan ikan di laut Aru dan laut Banda. Itupun sebagiannya yang mendapat izin dari pemerintah daerah Maluku. Untuk itu, dirinya meminta agar pemerintah pusat dapat memperhatiakn persoalan pengurusan izin, hingga aktivitas ekspor ikan.

"Kendalanya kan perusahaan-perusahaan itu sebagian besar mengurus izinnya di Jakarta. Inilah yang merugikan Provinsi Maluku, karena data ekspor perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat dicover. Selain itu, akibatnya juga turut mempengaruhi pendapatan asli daerah dari sektor ini," tandas Bandjar.

Untuk mendapkan data ekspor tersebut, pihaknya harus melakukan kerjasama dengan dinas Perikanan, dimana Dinas Perikanan Maluku sendiri juga mendapatkan data ekspornya dari Jakarta.

Sebenarnya melakukan ekspor di luar Maluku tidak ada masalah, tetapi kewajiban secara moral harus menyampaikan realisasi ekspornya kepada Gubernur Maluku sebagai kepala daerah, sehingga dengan data yang kuat dan akurat bisa dilakukan bergaining dengan Menteri Keuangan tentang berapa besar nilai ekspor Maluku.

"Data ini dipakai untuk sharing tentang berapa besar bagian pajak yang diperuntukan bagi pemerintah pusat dan provinsi. Jika ini tidak dilakukan maka ekspor perikanan diluar Maluku yang sangat besar ini, tidak pernah di ketahui jumlahnya," kata Bandjar lagi.

Gubernur Maluku, lanjut dia, harus diberikan kewenangan yang besar oleh pemerintah pusat untuk memberikan izin penangkapan kepada kapal yang memiliki bobot 100 DWT. Dicontohkannya, di Kalimantan Barat, pemerintah pusat telah memberikan izin khusus untuk pengolangan HPH dan tidak lagi melalui Menteri Kehutanan. "Kenapa untuk sektor Perikanan hal ini tidak dilakukan juga. Masing-masing daerah khan memiliki karakteristik dan sumber daya alam yang berbeda," sesalnya.

Secara tegas, Bandjar mengatakan, pihaknya akan meminta ke Gubernur Maluku untuk segera mengambil langkah mencabut izin penangkapan ikan di Maluku, jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak mempunyai kewajiban moral untuk menyampaikan data ekspornya kepada pemerintah daerah Maluku. "Ya, karena saat ini perusahaan melakukan ekspor seenaknya dimana saja karena izinya dari menteri di Jakarta," tukas.

Menyikapi masalah tersebut, dua anggota DPRD Maluku, Kutni Tuhepaly dan Hendrik Serihollo menyatakan penyesalannya. Kutni misalnya, menuturkan bahwa selama ini perusahaan penangkapan ikan yang home base-nya di perairan Maluku tidak memiliki izin dari pemerintah daerah. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan tersebut melakukan joint venture dengan perusahaan-perusahaan berbendera asing yang selama ini fishing ground di perairan Maluku.

Padahal, kata dia, sebelum konflik, puluhan perusahaan penangkapan ikan beroperasi di perairan laut Maluku dan selalu mendapat pengawasan melekat pihak Pemda dan institusi terkait. Sayang, kondisi itu tidak terjadi seperti sekarang ini (pasca konflik). Seharusnya, lanjut Kutni, karena wilayah operasi di perairan Maluku, otomatis perusahaan-perusahaan itu wajib menyetor fee ke Pemda. "Selama ini hal itu tidak terjadi. Kondisi ini sangat merugikan daerah Maluku yang terkenal kaya akan baharinya," tukasnya.

Kutni juga membeberkan, jika selama ini Dana Alokasi Umum (DAU) yang dikucurkan pemerintah pusat kepada Pemda Maluku dalam upaya pembangunan perikanan di Maluku, sebenarnya berasal dari kontribusi yang diberikan perusahaan-perusahaan itu ke pemerintah pusat. "Dana itu sebenarnya milik daerah Maluku. Hanya saja diberi dalam bentuk DAU. Dan hal ini sudah terus kami sampaikan selama pembahasan APBD," ujarnya.

Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPRD Maluku ini juga meminta, institusi terkait seperti Dinas Perikanan Maluku melakukan evaluasi kembali terhadap keberadaan kapal-kapal penangkap ikan di perairan Maluku, mulai dari persoalan izin, proses ekspor hingga fee yang semestinya diterima daerah. "Ini harus dilakukan secepatnya, jika tidak perikanan Maluku hanya akan menjadi wadah keuntungan Pempus maupun perusahaan-perusahaan tersebut," pintanya lagi. (MMC)

© 2003 Maluku Media Centre, All Rights Reserved
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/koedamati
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044