The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Pusat Penanggulangan Krisis Gereja Protestan Maluku


PPK-GPM
Jl. Mayjen D.I. Panjaitan - Ambon 97124
Telp. (0911) 341406

Lokasi baru warga Kristen Desa Tial (Kampong Kecil)

Laporan singkat dari kegiatan pelayanan kesehatan PPK GPM di lokasi pemukiman baru warga Kristen Desa Tial 22 Agustus 2004.

Masyarakat asal Desa Tial Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah tergusur dari Desa Tial sejak tgl 06 September 1999. Awalnya mereka menempati lokasi pengungsian yang dibangun di Komplek TNI AD Secata Suli selama kurang lebih satu tahun. Karena padatnya pengungsi dari berbagai wilayah ditampung di tempat itu, maka atas inisiatif sendiri sebagian besar warga Tial kemudian menyebar untuk tinggal di kerabat-kerabat mereka yang berada di Ambon dan sekitarnya. Sementara itu 2 Keluarga tetap bertahan di Secata Suli selama kurang lebih empat tahun.

Menyadari sulitnya proses pengembalian ke desa asal, ditambah kondisi yang tak memungkinkan untuk terus menetap di rumah berbagai kerabat, maka sejak 2002 warga Tial mulai mengupayakan pembebasan lahan baru untuk dijadikan tempat pemukiman mereka. Melalui negosiasi dengan keluarga Suitela di desa Suli, diperoleh sebidang tanah di sekitar sungai Wayari, yang berjarak kurang lebih 200 meter dari jalan raya utama. Proses pembebasan tanah dilakukan secara betahap melalui upaya warga Tial sendiri. Tanah seharga lebih kurang Rp. 200 juta dicicil selama beberapa tahap berdasarkan kesepakatan dengan pemilik tanah. Saat ini telah dibayar Rp. 30 800 000 untuk pembebasan lahan tahap pertama. Sisanya akan dicicil secara bertahap melalui usaha penggalangan dana yang dilakukan oleh warga Tial.

Dari pihak pemerintah sebagaimana yang terjadi selama ini, hanya ditanggung biaya bahan baku rumah (BBR) dan biaya pemulangan. Sejauh ini BBR yang diterima warga Tial mellow pembangunan rumah oleh kontraktor, barulah sejumlah 42 unit dari 72 unit yang seharusnya dibangun. Sementara biaya pembangunan sebesar Rp. 750 000/orang/5 orang/keluarga belum diterima oleh warga Kristen Desa Tial. Berdasarkan ketentuan pemerintah sebenarnya biaya pemulangan harus diberikan setelah pembangunan rumah, namun entah mengapa hal itu belum direalisir untuk 42 keluarga yang telah dibangun rumahnya.

Upaya-upaya untuk memulangkan warga Tial ke desa asalnya memang telah diusahakan melalui beberapa LSM. Namun upaya itu kemudian gagal karena model pendekatan yang tak memadai, sehingga kesepakatan-kesepakatan antar masyarakat belum tercapai sampai saat ini. Pada kenyataannya warga Tial Kristen diijinkan mengambil hasil kebun dari wilayah desa asalnya, oleh saudara-saudaranya warga Tial yang beragama Muslim. Sekalipun demikian untuk kembali menetap di wilayah desa asalnya dibutuhkan negosiasi dan persiapan yang cukup lama. Sejauh ini belum ada pihak-pihak yang mencoba memfasilitasi kembali negosiasi antar masyarakat, yang memungkinkan terlaksananya proses pemulangan. Pemerintah sendiri dalam hal ini lebih cenderung menutup mata terhadap pengkondisian proses persiapan pemulangan, melalui kegiatan interaksi masyarakat. Proses pemulangan pengungsi oleh pemerintah sejauh ini dimengerti, hanya sebatas penyediaan BBR dan biaya pemulangan. Ironisnya biaya pemulangan maupun BBR senantiasa diterima pengungsi dalam jumnlah yang tidak lagi utuh. Khususnya menyangkut warga Desa Tial yang beragama Kristen biaya BBR tidak diberikan kepada pengungsi, sebaliknya penanganannya langsung diserahkan kepada kontraktor. Terbeban dengan biaya pembebasan lahan maka warga Tial membuat kesepakatan dengan pihak pemerintah untuk memotong biaya BBR dan biaya pemulangan mereka guna kebutuhan pembebasan lahan.

Kepemilikan lahan memang menjadi prasyarat utama untuk memperoleh biaya pemulangan dan BBR. Pemerintah tak peduli dari mana lahan itu diperoleh pengungsi, ataupun dengan harga berapa dan dari mana pengungsi memperoleh dana untuk pembebasan lahan. Sikap ini memunculkan situasi kritis di kalangan pengungsi, yang harus merelakan pemotongan biaya BBR dan ongkos pemulangannya untuk memperoleh tambahan dana bagi pembelian tanah pemukiman yang baru. Implikasinya rumah-rumah tinggal yang dibangun kontraktor sangat rendah kwalitasnya. Misalnya rumah-rumah yang dibangun untuk warga Tial di sekitar sungai Wayari, tak satupun yang dilengkapi dengan WC. Saat ini untuk kebutuhan buang air besar, oleh empat keluarga telah dibangun empat buah WC untuk keperluan mereka. Selebihnya melakukan kegiatan itu di sungai ataupun di lokasi hutan sekitar pemukiman baru itu.

Dalam pengamatan kami rumah semi permanent yang dibangun kontraktor memiliki kwalitas bahan bangunan yang sangat rendah, dan diperkirakan hancur dalam satu tahun ke depan. Beberapa rumah bahkan memiliki satu jendela yang berfungsi untuk dua ruang. Warga Tial sendiri lebih banyak memilih untuk bersikap apatis dan menunggu, karena untuk mengurus pemenuhan hak-hak mereka diperlukan banyak biaya operasional yang tak sanggup ditanggung mereka. Sementara mereka harus terus mengumpulkan uang untuk membayar sisa tanggungan biaya pembebasan tanah yang berjumlah lebih dari Rp. 100 juta.

Sebagaimana yang nampak pada banyak pemukiman baru yang jauh dari pusat konsentrasi penduduk, maka berbagai persoalan social menjadi beban baru yang harus juga ditanggung oleh warga Tial Kristen. Untuk bersekolah anak-anak warga Tial harus melalui Hutan dan menyeberangi sungai untuk mencapai sekolahnya. Tertama untuk anak-anak usia sekolah dasar, kegiatan persekolahan dilakukan di desa Suli yang berjarak sekitar 1,5 km dengan melewati sungai dan hutan. Sementara itu untuk anak-anak usia sekolah menengah sampai lanjutan atas, pilihan bersekolah umumnya di desa Lateri yang berjarak kurang lebih 08 km dari lokasi pemukiman mereka. Berkaitan dengan penanganan kesehatan, puskesmas terdekat terletak di desa Passo yang berjarak kurang lebih 03 km dari pemukiman baru mereka. Selain ityu fasilitas listrik sampai saat ini belum tersedia di pemukiman baru itu. Hanya dua keluarga yang telah terjangkau penerangan listrik, atas swadaya mereka untuk membeli mesin genset kecil. Untuk mengupayakan pemenuhan makanan sehari-hari, sebagian besar warga Tial menggantungkan hidupnya pada hasil kebun di desa asalnya yang berjarak kurang lebih 10 km dari pemukiman baru ini. Selebihnya bekerja sebagai pegawai negeri, ataupun usaha jasa di sector informal.

Harapan warga sebagaimana yang terekam dalam kunjungan dan kegiatan pelayanan kesehatan oleh Crisis Center GPM, pada umumnya berkisar pada kemungkinan diperolehnya dana bagi pembebasan lahan baru mereka. Selain itu besar keinginan mereka untuk memperoleh hak-hak mereka berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar perumahan yang layak, dan fasilitas umum lainnya. Khususnya pembangunan fasilitas peribadahan.

Demikian sedikit gambaran tentang keberadaan warga Kristen Desa Tial yang saat ini telah menetap di tepian sungai Wayari, Desa Suli - Pulau Ambon.

Akhir Agustus '04

Pusat Penanggulangan Krisis GPM
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/koedamati
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044