Radio Nederland Wereldomroep, Rabu, 10 November 2004
TNI/POLRI Diuntungkan Kalau Sulteng Tetap Diwarnai Konflik
Media Indonesia kembali memberitakan sejumlah pembunuhan di Poso. Pihak
kepolisian khawatir kalau kasus-kasus ini digunakan untuk memprovokasi kota Poso
yang dikatakan mulai kondusif. Anto Sangadji, Koordinator Yayasan Tanah Merdeka,
LSM soal masyarakat adat di Sulawesi Tengah, menyatakan itu hanya alasan polri di
Sulawesi Tengah, karena sampai sekarang tidak pernah diketahui sebab atau pelaku
pembunuhan. Menurutnya ini juga membuktikan bahwa pemerintah gagal memberikan
rasa aman. Ia menduga aparat keamanan juga terlibat dalam konflik Poso, dan
TNI/Polri juga diuntungkan dengan adanya kekerasan di Sulawesi Tengah. Ikuti
penjelasan Anto Sangadji kepada Radio Nederland.
Anto Sangadji [AS]: Saya kira ini bentuk ekskusnya dari aparat kepolisian di
Sulawesi Tengah. Karena berulang-ulang kali, peristiwa kekerasan seperti ini, itu tidak
pernah ada jawaban dari aparat kepolisian. Siapa sebetulnya yang melakukan itu
semua.! Saya kira peristiwa yang tadi siang jam 11, itu sekali lagi membuktikan
bahwa aparat kepolisian kita sudah gagal untuk memberikan rasa aman di
masyarakat.
Peristiwa hari ini kan hanya berbeda beberapa hari dengan peristiwa sebelumnya.
Dua tiga hari yang lalu ada seorang kepala desa yang kepalanya dipenggal di Poso.
Kurang dari satu bulan ini sudah ada empat atau lima kasus kekerasan yang terjadi di
Poso. Ada penembakan misterius, ada pembunuhan misterius, ada pemboman
misterius.
Radio Nederland [RN]: Jadi menurut Bapak empat lima kejadian terakhir ini lebih
dikaitkan kepada tindakan kriminal biasa atau memang ada latar belakang lainnya
Pak?
AS: Saya kira ini lebih bisa dilihat sebagai suatu tindak kriminal yang sederhana.
Karena kita bicara tentang kekerasan di daerah konflik. Problem Poso ini sudah jauh
lebih rumit. Jauh lebih politis daripada sekedar melihatnya sebagai suatu peristiwa
kriminal.
RN: Tetapi kan polisi belakangan ini banyak melakukan razia senjata, razia
kendaraan, berbagai macam razia. Apakah tidak ada manfaatnya sama sekali?
AS: Kalau kita bicara soal razia, razia itu sudah berkali-kali dilakukan. Jadi kalau
setiap kali terjadi kekerasan, setelah itu polisi selalu melakukan razia seperti itu. Tapi
setelah habis razia, tidak pernah kekerasan terhenti kan. Jadi menurut saya
konteksnya bukan di situ. Dalam menangani soal kekerasan di Poso, pendekatan
pihak kepolisian semestinya tidak harus sekedar menggunakan pendekatan model
pemadam kebakaran. Ada kejadian terus datang.
Mestinya kan harus menggunakan pendekatan yang jauh lebih strategis. Salah satu
contoh misalnya. Banyak kekerasan bersenjata di Poso, sampai hari ini, kita tidak
pernah bisa tahu dari mana sebetulnya sumber senjata dan amunisi. Banyak fakta
yang menunjukkan, bahwa misalnya amunisi, banyak sekali PT Pindad. Peluru-peluru
buatan PT Pindad beredar di sana. Nah tetapi sampai hari ini tidak! pernah ada
tindakan yang konkret untuk menginvestigasi PT Pindad.
Menurut saya, apakah karena pihak kepolisian takut? PT Pindad adalah salah satu
perusahaan di mana komisarisnya itu adalah kepala staf angkatan darat sehingga ada
sesuatu yang memang secara politis menjadi hambatan buat polisi untuk
menginvestigasi secara lebih jauh.
RN: Jadi menurut Bapak secara politis ada kemungkinan keterlibatan aparat
keamanan dalam konflik di Poso? Begitu Pak?
AS: Ya, kalau saya melihat sejauh itu, karena sampai hari ini tidak pernah ada suatu
tindakan konkret untuk mencari tahu. Terutama dilihat dari sisi penyebaran senjata
api dan amunisi. Dari mana senjata-senjata itu datang. Apakah itu bentuknya
selundupan. Atau pun dari sumber pasokan dalam negeri. Semuanya kan harus
dikembalikan kepada otoritas keamanan kita.
RN: Apa gunanya? Apa maksudnya untuk sepertinya menjaga, menciptakan situasi
yang kondusif terus-menerus ini Pak?
AS: S! ejak tahun 1998, sebetulnya kekuatan yang secara politis diuntungkan, itu kan
militer? Apakah polisi atau pun TNI ya. Karena selama kekerasan begitu banyak
pasukan dikirim ke sana. Selama kekerasan kemudian terjadi penempatan pasukan
organik. Selama kekerasan kemudian terjadi pemekaran komando teritorial.
Secara institusional polisi dan TNI diuntungkan dengan adanya kekerasan di situ.
Kekerasan ini juga menguntungkan pihak di birokrasi pemerintahan. Dengan
berlarut-larutnya kekerasan begitu banyak 'proyek kekerasan' itu dimobilisasi di Poso.
Dan semua proyek-proyek itu kan penuh dengan korupsi.
RN: Jadi kalau misalnya sekarang konflik Poso ini tetap dibikin marak untuk menjaga
agar TNI dan polisi tidak 'ditarik mundur' dari Poso, sekarang bagaimana cara
penyelesaiannya Pak?
AS: Nah, kalau menurut saya harus ada dua pendekatan yang harus dilakukan. Yang
pertama-tama berkaitan dengan aparat keamanan sendiri. Memang harus ada
semacam pembentukan k! omisi kebenaran. Kewenangannya itu adalah untuk
menginvestigasi. Sebetulnya sejarah kekerasan Poso ini, termasuk pihak pemerintah
sendiri harus diinvestigasi untuk mengaudit seberapa jauh tindakan-tindakan yang
dilakukan di Poso, itu memberikan rasa aman kepada masyarakat. Atau pun justru
sebaliknya. Jadi kalau begitu, salahnya di mana? Jadi bukan hanya sekedar perang
antara kelompok masyarakat, dengan kelompok masyarakat yang lain. Tapi juga
menginvestigasi konteks politik, konteks ekonomi dari kekerasan itu sendiri.
Dan yang kedua, yang menurut saya juga penting adalah sudah saatnya pemerintah
harus menyatakan satu deklarasi bahwa konflik yang berlarut-larut seperti yang terjadi
di Poso ini, ini adalah bukti kegagalan pemerintah. Ini penting agar di kemudian hari,
pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memulihkan hak-hak penduduk di
Poso.
Demikian Anto Sangadji kepada Radio Nederland.
© Hak cipta 2004 Radio Nederland Wereldomroep
|