Radio Nederland Wereldomroep, 12 November 2004
Birokrasi Arsenikum racun bagi prospek kasus Munir
Aboeprijadi Santoso, 12 November 2004
Aktivis HAM almarhum Munir, yang tutup usia 7 September yang lalu, dipastikan
meninggal dunia karena diracuni senyawa arsenikum. Hasil otopsi dari lembaga
forensik Belanda, Nederlandsch Forensisch Instituut itu, dibocorkan oleh seorang
pejabat tinggi Departemen Luar Negeri RI kepada koresponden suratkabar Belanda
NRC Handelsblad di Jakarta. Dua kalimat ini mengandung fakta dan makna yang
aneh, memalukan dan menyedihkan.
Menyedihkan dan memalukan
Pertama, menyedihkan, karena seorang pejuang HAM tewas karena kejahatan
peracunan. Dan, keluarganya yang berhak mengetahui paling awal, tidak diberitahu
lebih dulu, melainkan harus mengetahuinya dari luar, bukan dari otoritas ybs, Belanda
maupun RI. Kedua, hal itu juga memalukan. Lembaga Belanda maupun pejabat Deplu
RI yang membocorkan, seharusnya mengetahui bahwa keluarga Munir-lah yang
pertama berhak mengetahui hasil otopsi.
Urusan antar pemerintah
Pada sisi Belanda, pihak Belanda menganggap tidak terikat perkara hukum kasus
Munir. Pihak Kehakiman Belanda menyatakan tidak akan mengadakan pengusutan
hukum atas kasus Munir karena almarhum Munir bukan seorang warga Belanda,
karena locus delicti, tempat kejadian perkara, bukan di wilayah atau pesawat Belanda
dan karena kasus tsb bukan kasus internasional. Dengan alasan-alasan tsb, aparat
resmi Belanda melepas tanggung jawab. Dan, dengan demikian, hasil otopsi dialihkan
dari tanggung jawab Kementerian Kehakiman ke Kementerian Luar Negeri di Den
Haag, lalu berubah menjadi urusan G to G, antar pemerintah. Maka Kementerian Luar
Negeri Belanda mengirimnya kepada Deplu RI. Sejauh itu, pada sisi Belanda tampak
masuk akal.
Menyimpang dari janji sebelumnya
Tapi sumber keluarga Munir maupun walinya di Belanda menunjuk, ketika jasad Munir
tiba 7 September, sebenarnya ada sepakat antara keluarga Munir dan aparat
kehakiman lokal (Parket Haarlem, yang membawahi wilayah bandar udara Schiphol),
bahwa hasil otopsi tsb akan disampaikan kepada keluarga melalui Kedutaan Besar
Belanda di Jakarta. Mengapa ini tak terjadi, tak jelas. Menurut wali tsb, sepakat tsb
bersifat lisan dengan instansi lokal, yang hanya mengatakan akan mengusahakan hal
itu", jadi, dianggap lemah sifatnya.
Sekalipun demikian otoritas yang lebih tinggi seyogyanya mengetahui bahwa sepakat
tsb sifatnya wajar dan dapat dipenuhi. Kecuali, tentu, kalau terjadi ketegangan antara
Kementerian Kehakiman dan Kementerian Luar Negeri di Belanda itu. Ada kesan,
itulah memang yang sempat terjadi. Tapi, mungkin juga, ketegangan itulah yang
dikambinghitamkan ketika soal penyerahan hasil otopsi tsb menjadi masalah di
Indonesia. Kalangan Deplu di Pejambon sempat memberi kesan seperti itu.
Yang aneh terjadi di Deplu Jakarta
Tapi, hal paling aneh terjadi di Deplu di Jakarta. Juru bicara Deplu Marty Natalegawa
Jumat lalu mengaku memahami kekecewaan keluarga Munir, tapi toh tidak
mengupayakan meneruskan hasil otopsi tsb kepada mereka. Deplu tidak memiliki
pemahaman forensis, dalih Marty, dan karenanya dialihkan kepada Kantor Menko
Polhukam. Hasil otopsi yang diterima Deplu RI Kamis pk 1030 WIB, tapi saat itu
Kantor Menko tsb tidak bisa dihubungi lagi, karena, katanya, sibuk menyiapkan
keberangkatan presiden ke Cairo untuk melayat Yasser Arafat.
Namun, sehari sebelumnya, Kamis 11 Nopember, ada pejabat tinggi Deplu yang lain,
yaitu Dirjen Amerika dan Eropa, Arizal Effendi, yang mau membocorkan kepada pers
asing, yaitu harian Belanda NRC Handelsblad. Celakanya, menurut keterangan
Direktur Eksekutif Imparsial, Arizal ketika dihubungi Imparsial tidak mau
menyampaikan isi hasil otopsi tsb, meskipun publik mengetahui Imparsial mewakili
keluarga Munir.
Esoknya, Jumat, istri alm. Munir, Suciwati, mengalami hal serupa. Suci, pihak yang
paling sah mengetahui hasil otopsi paling awal ini, menjadi bola ping-pong antara
Deplu, Marty, dan Kantor Menko Polhukam dan akhirnya tak mendapat hasil apa apa.
Menko Widodo yang mengaku merasa aneh mengapa harus menjadi rumit begitu,
juga menyesalkannya, tapi toh juga tidak menyampaikan hasil tsb kepada Suci.
Walhasil terjadi banyak ihwal yang aneh yang mempersulit pengungkapan hasil
otopsi Munir, yang sebenarnya tak perlu terjadi. Sebuah sumber di Belanda yang tak
mau disebut namanya, apa yang disebut hasil otopsi tadi sebenarnya hanya berupa
e-mail berisi ringkasan hasil otopsi yang telah diterjemahkan dari bahasa Belanda ke
bahasa Inggris, yang dikirim ke Deplu RI melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.
Jadi hasil lengkap otopsi alm. Munir masih berada di Belanda.
Arsenikum juga meracuni prospek kasus Munir
Presiden SBY dari Kairo dikabarkan berjanji memerintahkan mengusut kasus Munir
dengan transparan sampai tuntas. Pihak Polri membentuk tiga tim, termasuk satu
yang akan ke Belanda untuk memeriksa hasil otopsi yang lengkap. Polisi Indonesia
yang selama ini tidak menaruh curiga mau pun minat pada kasus Munir tiba tiba siap,
tetapi salah kaprah. Ini terlihat dari pernyataannya yang ingin membongkar kuburan
Munir.
Tidakkah disadari bahwa otopsi di Belanda dilakukan atas bahan bahan jasmani
almarhum yang sudah ada di Belanda, dan bukankah pembongkaran kuburan berarti
akan melakukan otopsi ulang ketika otopsi telah dilakukan pihak yang independen?
Semua ini memberi pratanda yang tidak cerah jika pengusutan hukum kasus Munir
akan dibuka di Jakarta.
Jadi, soal racun arsenikum yang menghabisi nyawa alm. Munir tsb akhirnya juga
dapat meracuni prospek kasus Munir.
© Hak cipta 2004 Radio Nederland Wereldomroep
|