Liputan6.com, 22/10/04 13:44 WIB
Akhir Petualangan "Pendekar" Pulau Haruku
22/10/2004 06:27 - Kematian Basri Jala Sangaji masih diselubungi kabut misteri.
Benarkah pembunuhan terhadap anggota tim sukses Wiranto-Wahid itu tindak
kriminal biasa atau bermotif politik?
Liputan6.com, Jakarta: Subuh hampir menjelang di Hotel Kebayoran Inn di Jalan
Senayan nomor 87, Jakarta Selatan, pada Selasa pekan silam. Bersamaan dengan
semilir angin malam yang masih terasa, belasan pemuda merangsek ke hotel bertarif
Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta sehari itu. Tanpa bisa dicegah, mereka yang bermuka
bengis itu langsung menuju kamar 301. Basri Sangaji yang dicari. Kejadian
berlangsung cepat, tak lebih dari 15 menit. Gaduh sebentar, sekelompok pemuda itu
yang berwajah bengis dan dingin itu kemudian keluar. Tak ada yang berani mendekat.
Sampai di parkiran, mereka sempat merusak kendaraan Basri. Setelah puas, mereka
pun raib bak ditelan kabut subuh.
Petugas hotel baru berani memastikan keadaan setelah gerombolan orang itu pergi.
Mereka bergegas menuju kamar 301. Benar saja, sang tamu hotel sudah bersimbah
darah. Basri mati di sofa dengan lubang di dada. Adiknya, Ali Sangaji yang berusia 30
tahun merintih. Tangannya nyaris putus, selangkangannya pun terus mengucurkan
darah. Kondisi seorang kerabat Basri tak jauh beda. Anyir darah begitu terasa. Jamal
Sangaji, 33 tahun, mengerang sambil memegangi tangan kanannya yang sudah tak
berjari.
Setelah diotopsi di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), Jaksel, Basri
disemayamkan di rumah keluarganya di bilangan Pulomas, Jakarta Timur. Ribuan
pelayat pun membanjiri rumah duka. Esok petangnya, Jenazah orang yang dekat
dengan calon presiden Wiranto itu kemudian diterbangkan ke Ambon, Maluku.
Jasad Basri kemudian dibawa ke kampung halamannya, Desa Rohomoni, Pulau
Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Keheningan malam pun pecah ketika jenazah
Basri datang dan disambut dengan teriakan histeris masyarakat Rohomoni. Malam
itu, ratusan warga tumpah-ruah di pinggir pantai Pulau Haruku. Mereka menyambut
jenazah Basri dengan kesedihan mendalam. Kematian putra pertama dari pahlawan
nasional A.M. Sangaji yang disegani di daerah itu memang membuat warga Maluku
berduka.
Tak pelak, kedatangan jasad Basri sempat membuat Negeri Seribu Pulau menjadi
panas. Kabar burung pun merebak. Entah siapa yang mengembuskan, anak buah
Basri yang sebagian besar "pensiunan" konflik Maluku dikabarkan bakal membalas
dendam. Untungnya, polisi cepat tanggap membaca gelagat itu. Kepala Kepolisian
Resor Ambon Komisaris Besar Polisi Leonidas Braskan langsung memimpin
pengawalan bersama aparat dari TNI dan Polri mulai dari Bandar Udara Pattimura
hingga ke kampung halamannya [baca: Jenazah Basri Sangaji Tiba di Ambon].
Pengawalan ketat itu memang wajar. Maklumlah, polisi berupaya keras
mengantisipasi terulangnya rentetan peristiwa berdarah yang menelan 1.842 jiwa
akibat konflik antaragama di Maluku. Apalagi kerusuhan yang terjadi pada 1998-1999
itu juga diawali bentrokan antarpemuda [baca: Mimpi Buruk Bernama Darurat Sipil].
Tak heran jika aparat yang diturunkan tak sekadar mengawal jenazah. Mereka
dibekali dengan senapan. Bahkan jasad Basri pun dibawa dengan mobil militer. Untuk
mendinginkan suasana, sejumlah tokoh Maluku juga ikut mengantarkan Basri ke
peristirahatan terakhirnya. Di antara pelayat, tampak mantan Gubernur Maluku Saleh
Latuconsina. "Kita berharap ini adalah cobaan bagi kita semua, dan almarhum dapat
diterima di sisi-Nya," kata Latuconsina [baca: Basri Sangaji Dimakamkan].
Untuk mengantisipasi kerusuhan, polisi juga cepat tanggap dengan kondisi yang kian
panas. Meski sejumlah spekulasi seputar kematian Basri masih menimbulkan
banyak pertanyaan, polisi bertindak cepat. Direktur Reserse Kriminal Umum
Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mathius Salempang yang
memimpin penyidikan telah menangkap delapan tersangka [baca: Delapan Tersangka
Pembunuh Basri Sangaji Ditangkap]. Mathius juga menetapkan bahwa kasus
pembunuhan Basri, murni kriminal [baca: Pembunuh Basri Sangaji Bermotifkan
Dendam]. Tersiar kabar, jika pembunuhan Basri berlatar belakang perebutan daerah
kekuasaan di Mangga Besar, Jakarta Barat.
Pria bernama lengkap Basri Jala Sangaji adalah pribadi yang penuh warna. Pria
berumur 35 tahun itu tak hanya terkenal dalam dunia preman yang keras. Basri juga
dikenal dekat dengan sejumlah tokoh, mulai dari pejabat, ulama, hingga dunia hiburan
malam. Di mata Ketua Front Pembela Islam Habib Rizieq, almarhum adalah anak
nakal yang manis. Sebutan itu tak lepas dari niat Basri yang ingin mendalami ajaran
Islam kepada Rizieq.
Basri Sangaji memang dikenal dekat dengan berbagai kalangan. Tak hanya bermain
di dunia keras dan hiburan malam, warga Jalan Pangkal Raya Nomor 3, Pela
Mampang, Jaksel itu juga terjun ke dalam kancah politik. Sepak terjangnya di dunia
politik dimulai sejak terlibat dalam terbentuknya pengamanan swakarsa (Pam
Swakarsa) pada 1998. Terakhir, dia juga aktif menjadi anggota tim sukses calon
presiden dari Partai Golongan Karya, Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilihan
presiden putaran pertama, Juli silam.
Nama Basri Sangaji juga pernah menghiasi media massa nasional pada pertengahan
2002 ketika terlibat konflik dengan kelompok John Key. Selain itu, Basri juga diduga
terlibat dalam kerusuhan di Ketapang, Jakarta Pusat, akhir November 1998. Tetapi
keterlibatan Basri di Sampit dibantah oleh Habib Rizieq.
Menelisik masa silam Basri Sangaji ibarat membuka lembaran album foto kerasnya
dunia preman. Dia diduga kuat banyak bersinggungan dengan dunia hitam. Tak heran
jika Basri ditengarai memiliki banyak musuh. Salah satunya adalah John Key, salah
seorang pimpinan geng yang pernah berseteru dengannya [baca: Kepolisian Tak
Terpengaruh Desakan Kelompok Hercules dan Basri]. John Key mengakui delapan
tersangka pembunuh Basri adalah anak buahnya. Dia juga mengaku dendam pada
Basri yang dituduhnya telah membunuh saudaranya, lima tahun silam. Namun Basri
lolos dari jeratan hukum karena saat itu diduga berhubungan dekat dengan Kepala
Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal Polisi Noegroho Djajoesman.
Selain dengan John Key, Basri juga pernah bentrok dengan kelompok penguasa
Tanahabang, Jakpus, pimpinan Hercules. Hercules juga menyatakan, Basri Sangaji
mempunyai banyak musuh, dan ia adalah salah satunya. Dia mengaku pernah
berteman baik dengan korban, namun masalah bisnis penagihan utang telah
memisahkan persahabatan mereka.
Entah karena hati-hati atau karena sebab lain, yang pasti hingga kini polisi tidak
menangkap John Key. Padahal, keluarga Basri berkeras meminta polisi membekuk
John Key. Salah satu keluarga yang menuding John Key sebagai otak pembunuh
Basri adalah Basri Moni, paman korban. Apalagi keponakannya itu pernah terlibat
konflik dengan John Key di Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta Utara dan Diskotek
Stadium di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat pada 2002 [baca: Diskotek Stadium
Diserang, Dua Orang Tewas].
Anton Medan yang telah lama pensiun dari dunia preman pun angkat bicara. Menurut
dia, pembunuhan Basri memang berlatar dendam. Pelaku diperkirakan putus asa
karena pengaduannya ke polisi tidak pernah digubris. Tak heran jika kemudian si
pelaku "membereskan" sendiri masalah tersebut. "Dilaporkan ke polisi beberapa kali,
hingga masa pembunuhan [karena] tidak ditanggapi," kata Anton di Studio Liputan 6
SCTV, Jakarta, malam tadi.
Lebih lanjut Anton menjelaskan, buntunya pengungkapan pelaku pembunuhan Basri
karena kasus ini melibatkan konspirasi tingkat tinggi. Menurut Anton, pelaku
diperkirakan mempunyai backing yang cukup kuat sehingga polisi tidak berkutik.
Pelindung si pelaku diperkirakan berasal dari kalangan pejabat. "Sebenarnya yang
dipakai itu orang-orang yang punya nama," ungkap Anton.
Di sinilah terungkap bahwa antara preman dan sejumlah pejabat mempunyai
hubungan saling menguntungkan. Menurut Anton, pejabat membutuhkan preman
untuk mempermudah pekerjaannya. Contohnya, penggusuran tanah. Dengan bantuan
"pendekar", bisa dipastikan penggusuran tanah bisa dilakukan. Mereka juga
membutuhkan preman ketika kekuasaannya terancam oleh aksi massa. Saat itulah
sosok preman dimajukan. Sementara preman membutuhkan pejabat untuk
melindunginya dari cengkeraman polisi. Tak mengherankan, bila kasus pembunuhan
Basri belum menemui titik terang.
Dalang di balik pembunuhan Basri seharusnya tak sulit untuk dibongkar. Karena
peristiwa itu menyimpan dua saksi mata yang turut menjadi korban. Mereka adalah
Ali Sangaji dan Jamal Sangaji. Kedua adik korban juga mengaku mengenal kelompok
yang menyerbu mereka. Selain itu, sejumlah barang bukti juga ditemukan di lokasi
kejadian. Kuat dugaan saat kejadian, paling tidak ada dua senjata api yang
menyalak. Salah satunya pistol berizin dengan peluru karet milik korban. Sedangkan
satunya berasal dari bukti selongsong dan satu butir peluru kaliber sembilan
milimeter.
Nah, untuk mengurai benang kusut itu, Anton menyarankan kepada polisi untuk lebih
berani. Menurut Anton, premanisme memang tidak bisa dihapuskan. Namun bukan
berarti tidak bisa dikurangi. "Sekarang tinggal bagaimana aparat, mencari hukum
yang tepat untuk menjerat mereka (pelaku)," kata Anton.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala membenarkan pernyataan
Anton. Menurut dia, hubungan simbiosis antara preman dan pejabat telah terjadi
sejak lama. Preman membutuhkan orang "kuat" yang bisa melindunginya dari
ancaman preman lain.
Biasanya dengan dukungan orang kuat itu timbul sifat arogan preman. Maka dia tak
segan-segan melibas kelompok lain yang dianggap bermasalah dengannya. Salah
satunya seperti yang terjadi pada kasus Basri. "Jangan-jangan ada transaksi," kata
Adrianus.
Adrianus boleh menduga seperti itu. Yang jelas, mata sejumlah pihak kini menoleh ke
polisi. Apalagi keterlibatan kelompok preman tampak nyata di balik pembunuhan
Basri. Boleh jadi, timbul pula pertanyaan. Maukah dan mampukah polisi menguak
kasus itu sampai ke akarnya?(YAN/Tim Sigi SCTV)
© 2001 Surya Citra Televisi.
|