SINAR HARAPAN, Selasa, 07 September 2004
Mahasiswa Papua Tuntut Pepera 1969 Diulang
Malang, Sinar Harapan
Belasan mahasiswa asal Papua yang tergabung dalam Komite Persiapan
Pembentukan Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua Malang (KPP AMP Malang)
berdemo di halaman luar gedung DPRD Kota Malang, Senin (6/9).
Mereka menuntut pemerintah meninjau kembali status Pepera 1969 yang
diberlakukan di bumi Cenderawasih itu.
Menurut koordinator lapangan Rudy Tjsenawatme, Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) yang dilakukan pada tahun 1969 harus diulang karena cacat hukum, cacat
demokrasi dan tidak manusiawi.
"Pemerintah harus segera mengulang Pepera dengan memenuhi nilai-nilai demokrasi
yang berlaku secara universal," tegasnya. Untuk diketahui, Pepera dilakukan sebagai
dasar bergabungnya Papua dengan Republik Indonesia. Pepera semacam opsi jajak
pendapat yang dilaksanakan di Timor Timur sekitar tahun 1997 sebelum berpisah dari
Indonesia.
Selain menuntut Pepera 1969 ditinjau ulang, para mahasiswa Papua juga menuntut
perusahaan pertambangan PT Freeport segera ditutup. "AMP juga menyerukan
seruan solidaritas kepada gerakan-gerakan buruh, tani, kaum miskin kota dan
mahasiswa di seluruh nusantara untuk bersatu dan membangun kekuatan rakyat.
Lawan neo liberalisme, hantu penyebab kemiskinan rakyat," kata Rudy.
Aksi belasan mahasiswa Papua ini tergolong unik. Dalam aksinya, mereka tidak
memakai baju, namun mengenakan pernak-pernik pakaian tradisional Papua. Yang
pria mengecat badan dan wajahnya dengan motif daerah. Lengan kanan dan kiri
tangan setiap dari mereka terikat gelang yang berasal dari daun pepohonan. Khusus
yang perempuan. menutupi badannya menggunakan Noken-tas asli Papua yang
biasa digantung pundak. Dipadu dengan rok khas daerah ujung timur negeri ini.
Tim Independen
Sementara itu pemimpin agama di Papua menyambut baik rencana pemerintah
membentuk Tim Independen untuk menyelesaikan kasus terbunuhnya Ketua
Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay.
Dalam keterangan pers yang diterima SH, para pemimpin agama di Papua
mensyaratkan bahwa Komisi Penyelidik Nasional harus berisi orang-orang yang
terpercaya, independen, berintegritas moral tinggi, serta memiliki keahlian tinggi
dalam melakukan penyelidikan.
Disebutkan, penyelidikan yang akan dilakukan oleh Komisi Penyelidik Nasional
bersifat pro justitia. Komisi Penyelidik tersebut memiliki kewenangan untuk
memanggil dan memeriksa saksi, baik dari kalangan masyarakat, instansi
pemerintah, kepolisian, TNI, maupun lembaga-lembaga lainnya.
Komisi Penyelidik juga harus memiliki kewenangan untuk memanggil saksi secara
paksa sejauh diperlukan. Komisi Penyelidik harus memiliki kewenangan untuk
mendapatkan bukti-bukti, dokumen-dokumen sesuai dengan aslinya dari kalangan
masyarakat, instansi pemerintah, kepolisian, militer, dan lembaga-lembaga lainnya.
Komisi juga tidak melibatkan unsur TNI/ Polri, tidak melibatkan unsur pemerintah,
serta memahami konteks sosial politik Papua.
Para Pemimpin Agama di Papua yang terdiri dari Pastor Jack Mote Pr, Wakil Uskup
Jayapura Drs. Jan B. Rumbrar, Wakil BPAS GKI di Tanah Papua; Drs. H. Zubeir D.
Hussein Ketua MUI Papua; Pdt. Dr. Noakh Nawipa Wakil Sinode GKII; mengusulkan
struktur Komisi terdiri dari Pemimpin Agama di Papua sebagai konsultan, Asmara
Nababan SH sebagai Komisioner bersama HS Dillon, Kamala Cadhrakirana,
Harkristuti Harkrisnowo, Ferry Kareth, John Rumbiak, Damianus Wakman, Bambang
Widjojanto, Jonnson Pandjaitan dan ahli forensik dari Kejaksaan Agung. (eka)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|