The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SINAR HARAPAN


SINAR HARAPAN, Kamis, 9 Desember 2004

Makan Patita, Tradisi Bernuansa Kekeluargaan di Maluku

AMBON-Makan patita. Kedua suku kata ini pasti tidak asing bagi semua orang Maluku, sebab dalam berbagai kesempatan misalnya peringatan hari bersejarah, telah lazim orang menggelar makan patita.

Orang Maluku selalu antusias mengikuti acara makan patita karena suasananya penuh kekeluargaan. Di sini semua orang berkumpul dan makan bersama-sama. Biasanya acara makan patita menyuguhkan aneka masakan khas daerah, siapa pun yang hadir boleh mencicipi masakan yang diminatinya sesuka hati.

Tradisi makan patita hingga saat ini masih terus dipelihara di kota dan di desa-desa di Provinsi Maluku. Desa Oma yang terletak di Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku juga masih kuat memegang tradisi budaya patita. Bahkan tradisi di desa yang merupakan desa asal mantan anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Laksma TNI Franklin Kaihatu dan produser kawakan Chris Pattikawa itu, ternyata memiliki tradisi yang lebih spesifik dibandingkan desa lain di Provinsi Maluku.

Di Desa Oma ada tiga jenis acara makan patita. Ada makan patita negeri yang dilakukan setiap tanggal 2 Januari, ada makan patita yang dilaksanakan setiap bulan Desember, dan ada juga makan patita adat yang hanya terjadi di Desa Oma.

Makan patita adat biasanya dilaksanakan pada waktu-waktu yang tidak tentu. Biasanya setahun sekali, lima tahun sekali, bahkan bisa juga sampai 12 tahun sekali. Makan patita adat itu dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh empat aliran keturunan yang dalam bahasa adat Maluku disebut soa, yaitu Soa Pari, Soa Latuei, Soa Tuni dan Soa Raja. Masing-masing soa menentukan sendiri waktu pelaksanaan makan patita adat, dan penentuan waktu biasanya terjadi saat acara berbalas pantun di meja patita adat.

Setiap soa yang ada di Desa Oma merupakan kumpulan marga. Soa Pari merupakan kumpulan marga Kaihatu, Sekewael dan Ririasa. Soa Latuei merupakan kumpulan marga Uneputty, Patiata, Tohatta, Lesirollo dan Manusiwa. Soa Tuni merupakan kumpulan marga Haumahu, Hukom dan Wattimena, sedangkan Soa Raja terdiri dari marga Pattinama, Suripatty dan Patty. Ada juga dua marga dari Desa Oma yaitu Pattikawa dan Hetharia yang tidak mengikatkan diri ke dalam empat soa tersebut, namun mereka juga melakukan kebiasaan seperti empat soa yang lain.

Terbesar

Pada pertengahan November lalu, tepatnya Jumat (19/11), Soa Latuei kembali menggelar acara makan patita adat setelah terakhir kali mereka melaksanakannnya 12 tahun yang lalu. Dalam acara ini Soa Latuei dikenal istilah setempat, yaitu om-om memberi makan anak-anak dalam Soa Latuei yang dikenal dengan nama Marei. Om-om yang dimaksudkan adalah orang tua.

Jadi, pada makan patita adat ini seluruh makanan hingga pelaksanaan acaranya ditanggung oleh para orang tua. Nanti suatu saat anak-anak juga boleh menggelar makan patita adat serupa untuk menjamu orang tua mereka.

Tidak tanggung-tanggung, mereka menggelar makan patita adat di atas meja yang panjangnya mencapai 200 meter dan dipenuhi ribuan anak adat Soa Latuei. Makan patita adat ini merupakan yang terbesar dalam sejarah adat di Desa Oma.

"Jamuan makan ini merupakan tanda bahwa antara orang tua dan anak-anak dalam Soa Latuei mempunyai hubungan kekeluargaan yang tidak boleh putus," ungkap Kepala Adat Soa Latuei, Mezack Manusiwa.

Sebelum sampai ke puncak pelaksanaan makan patita adat, ada prosesi adat yang dilakukan oleh warga Soa Latuei di Baileo Kotayasa. Malam sebelumnya telah dilakukan serangkaian acara persiapan yang merupakan kewajiban dari lima orang yang ditunjuk sebagai Kepala Soa yang dinamakan Bapak Lima-Lima.

Dalam prosesi itu, mereka membuat pergumulan dan doa yang menjadi sebuah persiapan. Semuanya berlangsung di dalam Baileo Kotayasa. Dalam prosesi persiapan tersebut ada simbol-simbol yang disertakan seperti tempat sirih sebagai simbol pengikat hubungan kekeluargaan dan sebotol minuman keras sopi sebagai simbol pembangkit semangat.

Setelah prosesi malam itu, keesokan harinya seluruh anak adat Soa Latuei sejak pagi sudah mulai melakukan persiapan. Di tiap rumah warga Soa Latuei terlihat kesibukan memasak. Di pusat desa pun telah digelar meja sepanjang 200 meter dan ditutupi kain putih yang melambangkan kesucian. Kendati sempat diguyur hujan namun hal itu tidak menyurutkan semangat anak-anak Soa Latuei untuk menyiapkan makan patita adat.

Tepat pukul 15.00 WIT para orang tua dari Soa Latuei yang mengenakan busana khas kebaya merah berkumpul di dalam Baileo. Sejumlah anak muda berpakaian hitam-hitam dan ikat kepala merah menyuguhkan tarian cakalele. Sambil menghunus parang dan salawaku mereka berteriak penuh semangat seperti akan ke medan perang.

Usai menari, para orang tua kemudian pergi menuju ke mata rumah tua anak-anak Marei yakni mata rumah Huapea dengan iringan tifa untuk meminta anak-anak Marei datang ke lokasi makan patita adat. Iring-iringan warga Soa Latuei yang diiiringi tifa serta teriakan para penari cakalele juga menarik perhatian warga Desa Oma yang bukan berasal dari Soa Latuei.

Di mata rumah Huapea, setelah menjemput anak-anak Marei maka para orang tua pun kembali bersama-sama ke Baileo Kotayasa guna melakukan doa bersama, lalu berjalan secara teratur menuju meja makan yang terletak di pusat Desa Oma.

Semua anak adat Soa Latuei mulai dari orang tua hingga balita pun mengenakan busana adat soa Latuei. Di atas meja Makan telah tersedia berbagai macam makanan yang disesuaikan dengan kebiasaan turunan Soa Latuei yang rata-rata berprofesi sebagai pemburu.

Di kepala meja terdapat lima kepala babi yang kemudian dibagikan kepada lima marga anggota Soa Latuei. Makanan yang dihidangkan di antaranya nasi kuning dan nasi kelapa yang diatur rapih pada setiap piring. Ada lauk pauknya seperti daging, ikan dan sayur. Terdapat pula kue-kue khas Desa Oma. Akhirnya melakukan doa bersama, para Marei pun mulai mencicipi makanan yang diberikan om-om mereka.

Kendati sarat dengan prosesi adat setempat, namun pihak gereja setempat ikut mendukung acara makan tersebut. Ketua Majelis Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Oma, Pendeta Nn. D Parera STh, menyatakan bila dikaji dari segi teologis maka makan patita adat mempunyai kaitan dengan firman Tuhan yang terdapat dalam Kitab Efesus 6, bahwa Rasul Paulus mengingatkan orang tua dan anak-anak harus saling menghargai. Seperti inilah yang diwujudkan dalam acara makan yang digelar oleh Soa Latuei.

Senada dengan Pendeta Parera, Kepala Desa Oma, Y Pattinama bertekad menjadikan budaya makan patita adat ini sebagai kalender tahunan di Desa Oma. Ia optimistis acara itu mempunyai daya tarik tersendiri yang kelak bisa menjadi aset pariwisata yang layak dijual kepada para wisatawan.

Acara memang telah selesai digelar, namun yang terpenting semua anak-anak adat dapat hidup saling menghormati dan tolong menolong sebagai makna yang terkandung dalam makan patita adat tersebut. (SH/izaac tulalessy)

Copyright © Sinar Harapan 2003
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/koedamati
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044