SINAR HARAPAN, Selasa, 14 September 2004
Buramnya Pendidikan di Pulau Buru
Oleh: ADRIANUS SUYADI, SJ dan MELANI W.W.
MENYUSURI jalanan di Pulau Buru yang terletak di bagian barat Kepulauan Maluku
bagaikan menapak negeri yang hilang. Terik matahari yang menyengat, hutan kayu
putih yang kini mengering dan gersang, menambah buram potret Pulau Buru. Nun
jauh di pelosok Buru, di sebuah ruangan sempit berdindingkan anyaman bambu dan
kayu, tergantung sebuah papan tulis kecil. Di situ berkumpul belasan anak usia
Sekolah Dasar yang sedang belajar membaca dan berhitung bersama seorang tutor
lulusan Sekolah Dasar, Petrus Wael.
Ruangan itu, yang berdampingan dengan dapur, terasa sempit dan pengap. Namun
keadaan yang apa adanya itu tidak membuat anak-anak patah semangat untuk bisa
belajar menulis dan membaca, barang sepatah dua patah kata. Masing-masing anak
memegang pensil sambil memperhatikan gerakan tangan "gurunya" yang sedang
menulis di papan tulis.
Setiap kali guru menyelesaikan satu huruf di papan tulis, anak-anak langsung
menirukan di atas kertas buku mereka masing-masing. Tampak beberapa anak
berjuang keras untuk bisa menuliskan huruf mirip dengan yang ditulis di papan. Tetapi
mereka selalu merasa belum puas, sehingga harus menghapus berulangkali,
sampai-sampai kertas buku mereka berlobang.
Huruf demi huruf, kata demi kata dan jadilah kalimat sederhana, "ani adik ali". Dengan
sabar dan tekun, "guru" Petrus menuntun anak-anak menulis kemudian membacanya
mulai dari huruf per huruf, suku kata per suku kata, kata per kata hingga satu kalimat
dibaca seluruhnya sambil ditirukan anak-anak. Setelah itu satu persatu anak diminta
maju untuk membaca seperti yang dicontohkan.
"A-n-i…ani, a-d-i-k…adik, a-l-i…ali. Coba sekarang yako (saya) ketuk dan kae (kamu)
baca!" Petrus Wael menyuruh seorang anak belasan tahun maju ke depan untuk
membaca di hadapan teman-temannya.
"A-n-i…aaaa…ni; a-d-i-k…aaaa…dik; a-l-i…aaa…aaadi", dengan tersendat-sendat anak
mengeja dan kemudian membaca huruf-huruf yang diketuk oleh Petrus.
"Mana yang bunyi adi!? Coba perhatikan! Kae (kamu) belajar di sini tapi pikiran sudah
sampai di hutan," kata Petrus Wael, dengan nada tinggi.
Anak yang ditegur tersipu sambil menggigit ibu jari tangan kanannya.
Petrus mengajak mengeja kalimat itu sekali lagi "A-n-i…ani; a-d-i-k…adik; a-l-i…ali.
Coba ulangi," pinta Petrus sekali lagi.
"Aaaani aaadiiii aaatiiiik", anak itu berjuang keras untuk bisa membaca kata-kata itu
sambil sesekali memandang gurunya.
"Ini anak punya kepala apa! Coba lihat papan tulis. Ini huruf apa?" tanya Petrus
sambil menuliskan huruf "k" dan "l".
Anak tersebut menjawab dengan ragu-ragu "k" "l".
"Kenapa "k" tidak kae baca? Kenapa "l" kae baca "t"? Coba yang lain perhatikan
juga, jangan bermain sendiri!", Petrus menegur anak-anak lain yang berebut pensil
dan penghapus.
Demikian seterusnya dengan sabarnya "guru" Petrus menuntun anak-anak sampai
bisa membaca dengan benar. Bagaikan menuntun orang buta di malam gelap,
begitulah ibaratnya ia melatih anak-anak terlantar di dusunnya sampai bisa membaca
dan menulis.
Adegan kegiatan belajar-mengajar di atas adalah situasi di sebuah kelompok belajar
yang ada di Dusun Waegernangan, Desa Grandeng, Kecamatan Buru Utara Selatan,
Kabupaten Buru. Kelompok belajar itu menampung sekitar 20 anak usia sekolah
dasar yang belum bisa mengenyam pendidikan dasar secara formal di
sekolah-sekolah dasar. Anak-anak ini kebanyakan adalah mereka yang baru saja
kembali dari pengungsian. Mereka adalah orang-orang Buru asli yang sekarang ini
sudah bisa kembali ke desa-desa mereka semula.
Di desa-desa tempat kembalinya pengungsi di wilayah dataran Waeapo bagian timur
(Desa Grandeng, Parbulu, Wailo, dan Lele) pendidikan merupakan hal langka.
Memang di pusat desa ada SD Inpres maupun madrasah yang masih terus berdiri
hingga sekarang, namun trauma konflik dan lokasi yang jauh dari dusun (rata-rata
berjarak sekitar 10-15 km) membuat anak-anak enggan masuk sekolah formal.
Orang Tua Tak Dukung
Kondisi ini diperparah dengan sikap para orang tua yang kurang mendukung anak
untuk belajar. Para orang tua lebih memilih mengajak anak mereka ke gunung untuk
mengambil daun kayu putih. Pekerjaan mengambil daun kayu putih dan
menyulingnya di ketel-ketel merupakan pekerjaan pokok penduduk asli Buru. Setiap
kali naik gunung mereka akan tinggal di sana hingga satu bulan dengan membawa
serta anak dan istri. Anak-anak terpaksa dibawa ke hutan karena tidak ada yang
mengurus, tak heran jika banyak anak tidak disekolahkan.
Menurut Norberta Dawan, salah satu tutor di kelompok belajar Dusun Widit, Desa
Parbulu, Kecamatan Waeapo, untuk meyakinkan para orangtua, ia senantiasa
berkeliling dari rumah ke rumah. Bahkan jika perlu tiap pagi ia mengetuk pintu setiap
rumah agar anak-anak berangkat sekolah.
Kelompok belajar Dusun Widit yang didirikan atas inisiatif warga dusun sendiri, kini
menampung sekitar 45 murid dari kelas 1 hingga kelas 5. Untuk kelas 6 mereka
melanjutkan ke SD Inpres yang terletak di unit 17, berjarak sekitar 10 km dari Widit.
Tenaga pengajar di Widit hanya dua orang, masing-masing hanya berpendidikan
SMA. Satu tutor mengajar kelas 1-3 sedangkan tutor yang lain mengajar kelas 4-5.
Kondisi tempat belajar pun jauh dari layak. Bangunan yang terletak di tengah dusun
ini hanya memiliki dua ruangan dengan tembok ukuran setengah badan, sedangkan
bagian atas hanya menggunakan kasa, sementara atap dari bahan seng. Antara
ruangan satu dengan lain hanya disekat kayu ala kadarnya, berlantaikan tanah.
Karena hanya memiliki dua ruangan sementara murid yang belajar mulai dari kelas 1
hingga 5, maka mau tak mau satu kelas dipakai bersama. Satu kelas untuk belajar
murid kelas 1-3 dengan satu tutor dan satu kelas lagi untuk murid kelas 4-5 dengan
satu tutor juga. Norberta, yang biasa dipanggil Nova, menjelaskan selama mengajar
kurang lebih satu tahun ia hanya memakai buku pegangan seadanya. Jika ada
pinjaman dari teman maka pekerjaannya agak terbantu tapi jika tidak ada harus ia
beli sendiri. Anak-anak didiknya juga tidak ada yang memiliki buku pelajaran. Mereka
hanya mencatat pelajaran itu pun hanya menggunakan satu buku tulis saja. Selain
karena harga buku yang mahal, minimnya jumlah buku yang tersedia di Buru juga
menjadi kendala.
Dalam hal proses belajar mengajar ia memprihatinkan kondisi anak-anak yang masih
tertinggal dalam membaca, masih banyak murid yang membaca dengan mengeja.
"Setiap mulai kelas, baik kelas 4 atau 5, saya selalu mulai dengan pelajaran
membaca," tuturnya. Sementara untuk berhitung anak-anak relatif tidak mengalami
kesulitan karena sudah terbiasa berhitung dengan menjual minyak kayu putih.
Menurut Nova, minat belajar anak-anak didiknya sangat tinggi namun karena
kurangnya buku pelajaran dan bacaan menjadikan anak-anak tidak bisa berkembang.
"Jika ada buku, anak-anak senang membacanya, tapi sayang buku itu sangat langka"
tegasnya lagi. Fasilitas belajar yang lain seperti alat-alat olahraga, perpustakaan, alat
peraga tidak dimiliki oleh kelompok belajar Widit maupun kelompok belajar lain di
Dusun Metar, Dusun Waibcalit, dan Dusun Waegernangan.
Melihat kondisi yang memprihatinkan ini mereka bukannya tanpa usaha untuk
menghubungi Dinas Pendidikan setempat. Mereka telah berusaha untuk bertemu
dengan Dinas Pendidikan setempat, namun hingga kini belum ada realisasi. Jika
kondisi ini berlangsung terus menerus maka 10 atau 20 tahun mendatang mereka
merupakan generasi yang hilang. Jauh dari fasilitas pendidikan yang layak dan
tertinggal dalam semua bidang dengan saudara-saudara mereka yang ada di
pusat-pusat kota.
Jika kemudian direfleksikan kembali, pendidikan merupakan hak asasi setiap
manusia. Tanpa membedakan suku, agama, kelompok ataupun ras setiap anak
berhak atas pendidikan. Pendidikan yang layak agar mereka pun memperoleh
kehidupan yang layak. Dalam situasi pascakonflik seperti Maluku, pendidikan adalah
kunci untuk perlindungan masyarakat yang berkelanjutan (sustainable protection) dan
harapan akan masa depan yang lebih baik.
ěKatong seng dapat keuntungan apapun dari kerusuhan itu. Yang katong dapat hanya
tetesan darah dan air mata kesedihan", kata seorang pengungsi. Kata-kata itu
mengandung pesan yang sangat kuat yang bersumber dari pengalaman mereka.
Konflik akan selalu mendatangkan penderitaan. Anak-anak kecil yang tidak berdosa
harus menanggung akibatnya. ***
* Adrianus Suyadi, SJ dan Melani W.W. adalah pemerhati pendidikan
Copyright © Sinar Harapan 2003
|