SINAR HARAPAN, Jum'at, 19 November 2004
Presiden Diminta Segera Tanda Tangani Pembentukan MRP
Jakarta, Sinar Harapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan menandatangani pembentukan
Majelis Rakyat Papua (MRP) akhir bulan ini. Sampai sekarang, rancangan
pembentukan MRP sudah selesai dan dibahas bersama dengan Departemen Dalam
Negeri dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Hal itu dikatakan tokoh Papua, Karl Erari, ketika dihubungi SH, Jumat (19/11) pagi. Ia
mengungkapkan akhir bulan ini diperkirakan MRP sudah selesai dan ditandatangani
Presiden untuk disahkan.
"Kalau menurut jadwal semula diperkirakan MRP akan ditandatangani presiden pada
tanggal 29 November 2004 ini atau paling lambat awal Desember ini," kata Karl Erari.
Meski ada beragam tanggapan terhadap pembentukan MRP ini, terutama bagi
masyarakat di Provinsi Irjabar setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 45
Tahun 1999, namun menurut Karl, anggota MRP yang berasal dari 24 kabupaten
se-Papua (Irjabar dan Papua) akan ditanggap positif oleh masyarakat. "Pembentukan
MRP ini yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat," katanya.
Hal serupa juga dibenarkan Wakil Presidium Dewan Papua Herman Awom. Awom
mengatakan sejak Kamis (18/11) tim dari Jakarta yang dibentuk Presiden sudah
berada di Jayapura untuk bertemu dengan tiga komponen utama MRP, yaitu tokoh
adat, tokoh agama dan tokoh perempuan. Hasilnya direncanakan akan dibawa ke
Jakarta pada hari Sabtu (20/11) untuk dibahas lebih dahulu oleh pemerintah pusat.
Awom juga menegaskan bahwa dari pertemuan yang sudah dilakukan dengan tim dari
Jakarta, semua tokoh dari tiga eleman MRP sepakat agar pembentukan MRP harus
berdasarkan kesepakatan tanggal 13 Agustus 2002.
"Kami sepakat agar pembentukan MRP sesuai dengan kesepakatan tanggal 13
Agustus 2002, bukan berdasarkan rancangan yang dibuat di Jakarta. Jakarta itu
punya kepentingan masing-masing dan apriori seolah-olah MRP sebagai superbodi
yang mempersiapkan Papua untuk merdeka," kata Awom.
Molor
Sementara itu, Direktur Elsam Papua Alo Renwurin mengatakan MRP belum
terbentuk karena undang-undang yang mengatur pembentukannya belum dikeluarkan
oleh pemerintah pusat. Belum keluarnya UU tersebut membuat pemerintah daerah
Papua belum bisa mengeluarkan peraturan daerah khusus (perdasus) dan juga
peraturan daerah biasa (perdasi). "Pemda Papua belum bisa mengambil kebijakan
apa-apa karena hal itu," kata Renwurin.
Pembentukan MRP sudah molor waktunya selama 2 tahun sejak ada perkembangan
baru berupa keluarnya Inpres No.1 Tahun 2003 tertanggal 7 Januari 2003. Inpres
tersebut mengaktifkan Provinsi Irjabar sehingga Depdagri mengeluarkan rancangan
pembentukan MRP yang baru. Adanya perubahan tersebut dengan tidak adanya
langkah yang jelas dan tepat dari pemerintah pusat membuat rencana pembentukan
MRP di Papua sebagai wilayah dengan otonomi khusus terbengkalai.
Tanggal 11 November 2004, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assiddhiqie,
membatalkan UU No. 45 Tahun 1999 yang menjadi dasar hukum pembentukan
Provinsi Irjabar yang sudah setahun terakhir aktif dengan Pejabat Gubernur Abraham
Oktavianus Ataruri.
Dengan dibatalkannya UU tersebut, dasar hukum pembentukan Provinsi Irjabar tidak
ada dan kembali ke UU No. 21 Tahun 2001 dan rancangan MRP yang dipakai adalah
berdasarkan kesepakatan tanggal 13 Agustus 2002.
Menurut Karl Erari, dengan kembali ke UU No. 21 Tahun 2001 tersebut, MRP yang
disusun berdasarkan rancangan awal (berdasarkan kesepakatan 13 Agustus 2002)
inilah yang nantinya akan mengkaji kembali pembentukan Provinsi Irjabar sesuai
dengan prosedur yang benar berdasarkan bunyi Pasal 76 UU No. 21 Tahun 2001
tersebut.
Alo Renwurin berpendapat sebetulnya dari masyarakat Papua sendiri tidak ada
hambatan dalam pembentukan MRP, tapi mungkin dalam draf yang disusun oleh
rakyat Papua terlalu keras dan terkesan ada pertimbangan dan penafsiran tertentu
dari Depdagri.
"Tidak ada hambatan dari Papua, tapi mungkin dalam draf yang dibuat rakyat Papua
terlalu keras," kata Renwurin. (ino)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|