SINAR HARAPAN, Senin, 22 November 2004
Pembentukan MRP, dari Janji ke Janji
Pengantar:
Pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua hingga saat ini belum dapat
berjalan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Salah
satu yang menjadi dasar pelaksanaan Otsus Papua adalah tertundanya penyusunan
Majelis Rakyat Papua (MRP).
Belum lagi lembaga ini terbentuk, pada masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
dilakukan pemekaran sehingga Papua dibagi menjadi tiga provinsi. Untuk mengetahui
lebih lanjut, problematika pembentukan MRP di Papua, wartawan SH Tutut Herlina
menuliskannya dalam liputan khusus berikut ini.
JAKARTA—Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa UU No. 45/1999
tentang pemekaran beberapa daerah di Papua batal dan tidak berlaku lagi. Di masa
depan, langkah yang akan diambil untuk wilayah paling timur Indonesia itu harus
mengacu pada UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Salah satu point penting yang didesak untuk segera direalisasikan adalah
pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Lembaga ini diharapkan dapat mewakili
aspirasi masyarakat Papua, sekaligus membendung keinginan dari rakyat Papua
untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagaimana diketahui, draf mengenai pembentukan MRP sendiri sudah diajukan ke
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada 13 Agustus 2002. Namun, Peraturan
Pemerintah (PP) yang menjadi dasar pembentukan MRP tak kunjung ada.
Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri bahkan memilih mempercepat pemekaran
Irian Jaya Barat lewat Inpres No. 1/2003 tanpa membentuk MRP terlebih dahulu.
Sesuai dengan UU Otsus, pemekaran di wilayah Papua padahal harus mendapatkan
pertimbangan MRP.
Entah untuk mengimplementasikan janji kampanye atau merebut simpati rakyat
Papua, Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini menjadi presiden menggantikan
Megawati berjanji akan segera merealisasikan MRP. Untuk itu, dia membentuk
lembaga pemberdayaan otonomi khusus. Tugasnya adalah menyosialisasikan
beberapa point yang ada dalam PP MRP sekaligus meminta masukan dari
masyarakat atas PP tersebut.
Namun, belum lagi PP MRP tersebut disahkan, "bau" penolakan terhadap PP
tersebut sudah tercium. Hal ini dikemukakan Wakil Presidium Dewan Papua (PDP)
Herman Awom. Dia mengatakan pemerintah pusat sudah memperlihatkan gejala
untuk menangani masalah MRP tersebut secara tidak serius.
Katanya, pemerintah pusat bahkan sudah mulai tampak akan memaksakan
kehendaknya dan tidak menyetujui MRP sebagaimana yang diajukan oleh DPRD
Papua pada tahun 2002.
"Dari informasi yang saya peroleh anggota MRP nantinya bisa dari pusat, padahal
MRP sesuai otsus, komponennya ada tiga, yakni wakil agama, perempuan, dan
adat," katanya.
Untuk itu, dia mengatakan jika PP tersebut nantinya tetap dipaksakan, rakyat Papua
akan menolaknya. Rakyat Papua hanya bersedia mengakui MRP sesuai dengan draf
yang diajukan DPRD Papua.
Dalam draf yang diajukan itu, DPRD Papua mengusulkan 45 anggota MRP itu dipilih
dari anggota Presidium Dewan Papua dan pejuang-pejuang kemerdekaan Papua.
Dengan adanya usulan ini, MRP dinilai oleh pemerintah sebagai pintu masuk menuju
kemerdekaan Papua.
"Kalau MRP sesuai dengan keinginan pemerintah pusat, Otsus tidak ada, yang ada
adalah intervensi. Jadi Jakarta tolong dengarlah kami Papua. Kalau dipaksa terus,
lama-lama keinginan merdeka itu tidak bisa ditawar lagi," katanya.
Selesaikan Masalah
Menurut Purwo Santoso, pengelola pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah
dari Universitas Gadjah Mada menyatakan keberadaan MRP tersebut memang sangat
diperlukan demi keberhasilan otonomi.
"Kekecewaan dan ketidaksabaran masyarakat di Papua akan semakin menonjol dan
kontraproduktif. Kalau pemerintah sanggup merumuskan strategi yang jelas dan
instrumen di lapangan, risiko bisa diminimalkan," kata Purwo.
Masalah yang menonjol sejak ide otsus dilontarkan untuk Papua adalah tidak adanya
instrumen di lapangan, tidak adanya disiplin dari aparat pemerintah, dan tidak ada
leading agency yang jelas dari pemerintah. Meskipun sudah di bentuk desk Papua
yang berada di bawah Menko Polkam, tetapi desk ini tidak akan banyak berarti bila
fungsinya hanya koordinatif saja tanpa mempunyai kekuatan penekan di lapangan.
Pembentukan desk Papua atau task force ini seharusnya berada di Departemen
Dalam Negeri sehingga bisa lebih implementatif.
"Kita memang merekomendasikan task force ini, tapi Pak Hari Sabarno waktu itu
karena merangkap sebagai Menko Polkam ad interim merasa tidak enak kalau harus
menunjuk dirinya sendiri, sekarang desk Papua itu berada di bawah Menko Polkam,"
papar Purwo.
Menurut Purwo, strategi yang ditempuh oleh pemerintah dengan mengonsolidasikan
dasar-dasar hukum Undang-Undang Nomor 45 tahun dan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 hanya merupakan jalan tengah yang dilakukan pemerintah. Jalan tengah
itu hanya untuk mengamankan pemerintah Jakarta saja.
Purwo menilai pemerintah menerapkan strategi ganda untuk otsus Papua. "Ada
hidden agenda dari pemerintah yang tidak dijelaskan pada masyarakat Papua. Satu
MRP untuk satu Papua, tetapi pemerintah barangkali tidak beranggapan demikian
karena pemerintah lebih diuntungkan bila satu provinsi satu MRP," papar Purwo.
Menurut Purwo, dengan satu MRP untuk seluruh Papua, sebetulnya sudah bisa
mewadahi identitas Papua secara kolektif. Dengan adanya MRP ini nanti harus
segera dirumuskan hubungan MRP dengan policy maker.
Terkait dengan perekrutan anggota MPR selain harus melibatkan kelompok adat,
agama, dan gender, menurut Purwo perlu pula dipertimbangkan konfigurasi
kewilayahan adat.
Penyelesaian masalah secara bertahap ini harus dilakukan pemerintah secara
transparan pada masyarakat Papua, bila tidak, pemerintah hanya menyimpan bom
waktu akumulasi ketidakpercayaan dan kemarahan rakyat Papua. (***)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|