TEMPO, No. 38/XXXIII/15 - 21 November 2004
Agama
Mencari Tuhan di Lapangan Voli
Banyak warga menolak rumah disulap menjadi gereja. Terganjal warisan Orde Baru.
TAK terdengar lagi kidung rohani merambat dari pertokoan Mutiara Center, Pamulang,
Tangerang. Di pintu pagar besi ada tulisan "Stop Gereja" berwarna kesumba,
mencegat siapa pun yang berusaha masuk. Di daun pintu ada tanda silang dilampiri
kata: "Gereja No". Dari arah dalam terdengar gemerisik pekerja membancuh
pasir-semen, juga tak-tuk-tak ketukan palu.
Kemarin-kemarin bangunan itu terkenal sebagai Gereja Bukit Sion. Dulu, setiap Ahad,
ramai berkunjung jemaat Kristen. Selain Bukit Sion, di kompleks yang sama ada dua
gereja lain, berdiri berdekatan: Gereja Protestan Indonesia dan Gereja Ellem.
Jemaatnya bertumbuh cepat. Gereja Protestan Indonesia, yang secara fisik hanya
muat seratus orang, "Pada tiap kebaktian dijejali dua ratus orang," kata Endah, staf
sekretariat itu gereja.
Kisah tiga gereja itu berakhir Juni lalu. Suatu pagi, sekelompok pemuda mara ke
tempat ibadah itu. Dengan bersenjatakan balok kayu, mereka menerobos masuk,
mengobrak-abrik isi gereja. Kaca berpecahan, mimbar khotbah jungkir balik, kursi
berhamburan. Para penyerang rupanya menentang kehadiran gereja di kompleks
pertokoan itu.
Sejak itu kegiatan ibadah di pun berhenti. Ketiga bangunan itu kini masih dalam
perbaikan. Persis di depan Bukit Sion, satu ruko sudah rampung perbaikannya.
Bangunan dua lantai itu kini berwarna kuning cerah. Tapi pemilik bangunan tak berani
memakainya kembali sebagai Gereja Protestan Indonesia. "Ruko katanya tak boleh
untuk tempat ibadah," ujar Endah.
Ada juga staf gereja menggunakan tempat itu untuk pelayanan doa. Sangat terbatas,
tapi. Sebelumnya, kebaktian berlangsung pagi dan sore. Sekarang, mereka
kebat-kebit kalau mengundang jemaat ke sana. Soalnya, sangat mungkin para
penyerang muncul lagi. "Kami merasa masih terus diawasi," Endah menambahkan.
Nasib apes juga menimpa Gereja Kristen Indonesia di Jalan Galur Raya, Jakarta
Pusat. Namanya Gereja Gembrong, mengikuti nama pasar di seberangnya. Sisa
kerusakan masih berbekas di sana: cat yang tak rapi, langit-langit yang jebol, dan
kini tertutup tembok tinggi berpintu besi. Dua tahun silam warga menentang kehadiran
gereja ini.
Gereja Gembrong sebetulnya bukan bangunan baru. Berdirinya sejak 1964. Karena
sudah tua, lima tahun lalu pengurusnya melakukan perbaikan. Atap baru pun
dipasang untuk melindungi jemaat dari hujan. Tapi protes datang dari Remaja Masjid
Kecamatan Johar Baru. Mereka menolak kehadiran gereja itu di tengah permukiman
padat warga mus-lim.
Memang, gereja itu dijepit tiga masjid besar. Jaraknya selang setengah kilometer.
Dua masjid terletak di Jalan Galur Jaya, satunya lagi cuma seratus meter dari gereja
itu. Ketika Tempo melewati jalan itu, dua lelaki berbaju koko berdiri di tepi jalan.
Mereka mengacung-acungkan ember, meminta sedekah pembangunan masjid.
Bergeser ke timur-jauh, Karawang, ada Gereja Kristen Injil Nasional yang hancur
diamuk massa, Ahad pekan lalu. Sekitar 500 warga dari penjuru kampung di
Kompleks Puri Kosambi ramai-ramai menyerang rumah Pendeta Suhardi, yang
memang sudah disulap menjadi gereja. Para penyerang datang membawa linggis,
golok, gada, dan batu.
Untung Suhardi selamat. Entah bagaimana, dia lebih dulu menghilang sebelum warga
mengamuk. Sinta Sitinjak, jemaat senior di gereja itu, mengaku sangat terpukul.
Menurut dia, sebelum menjadi gereja, bangunan itu memang berstatus rumah tinggal.
Sejarahnya menjadi tempat ibadah komunitas Kristen Batak dimulai pada 1999.
Kabarnya, pihak pengelola sudah mengajukan permohonan izin perubahan status ke
pemerintahan setempat. "Tapi selalu saja ditolak," kata Sinta. Melihat reruntuhan
bangunan itu, air matanya jatuh satu-satu. Serangan pekan lalu pun bukan yang
pertama. Tiga tahun silam, warga setempat pernah terusik oleh kehadiran gereja itu.
Suhardi, sayangnya, tak segera menanggapi. Pada Februari 2001, Front Pembela
Islam (FPI) bikin aksi. Dibantu warga muslim sekitar, gereja itu dirusak massa.
Buntutnya, Suhardi dan warga meneken perjanjian. Pendeta itu setuju menghentikan
pembangunan rumah menjadi gereja di sana. Jemaatnya lalu pindah ke gereja di
Cikampek.
Soal surat perjanjian ini, Sinta ternyata punya versi lain. Menurut dia, ketika
menandatangani perjanjian itu, Suhardi di bawah tekanan. Tapi Kepala Desa Duren,
Kecamatan Klari, Homan Hutman, membantah pernyataan Sinta. Menurut Homan,
surat itu hasil musyawarah Suhardi dengan sembilan tokoh masyarakat Puri
Kosambi.
Sekretaris Kecamatan Klari, Wawan Setiawan, yang ketika itu bertindak selaku
pelaksana tugas harian Camat Klari, mendukung kesaksian Homan. Lalu, bagaimana
dengan pengajuan permohonan izin gereja itu? "Tak pernah ada," kata Homan, yang
langsung didukung Wawan.
Dua tahun lalu, tatkala situasi mulai teduh, Suhardi dan jemaatnya kembali
membangun reruntuhan gereja itu. Semula, Sinta mengusulkan bangunannya
sederhana saja. Kalau terlalu berlebihan, dia cemas warga terangsang lagi. Tapi usul
itu dimentahkan Suhardi. Akhirnya, ya begitulah: gereja itu diamuki massa lagi. "Motif
penyerangan karena warga tak senang," ujar Kepala Polres Karawang, Ajun
Komisaris Chairul Anwar.
Kalangan gereja tentu saja risau akan peristiwa ini. Menurut Antonius Benny
Susetyo, Pr., selama rezim Orde Baru sudah lebih dari 500 gereja dirusak massa. "Ini
terbesar di dunia," ujar sekretaris eksekutif Komisi Hak Hubungan Agama dan
Kepercayaan, Konferensi Waligereja Indonesia itu. Bahkan, katanya, di negara Islam
saja hampir tak ada kasus perusakan gereja.
Dia mencontohkan Malaysia, Irak, dan Mesir. Di negeri itu nyaris tak tercatat
perusakan gereja oleh massa. Di Indonesia, yang menjamin kebebasan beragama,
"Negara harus turun tangan," ujar Benny. Ketua Majelis Ulama Indonesia, Amidhan,
punya pendapat serupa. Menurut dia, akar masalahnya adalah perizinan
pembangunan rumah ibadah sebagai warisan politik Orde Baru.
Soal izin ini, kata Amidhan, bukan cuma warga Kristen yang terganjal. "Di Bali dan
dulu Timor Timur, umat Islam bernasib sama," ujarnya. Karena ketiadaan izin,
menurut dia, banyak umat Kristen beribadah di sekolah atau gedung serbaguna. Inilah
akar konflik dengan warga sekitar. Apalagi, kata Amidhan, problem antaragama tak
begitu terbuka.
Dulu semuanya takut menyentuh momok SARA (suku, ras, agama, dan
antargolongan). Akibatnya, bila mendengar isu sensitif, semisal Kristenisasi, warga
lalu bertindak anarkis. Ditakutkan, Kristenisasi kerap berkedok pemberian bantuan,
mulai dari sembako hingga pekerjaan. Di masa depan, kata Amidhan, jika umat Islam
kuat secara ekonomi, isu Kristenisasi dengan alasan materi tak akan berpengaruh
lagi.
Bagaimanapun, agama adalah bagian dari hak dasar manusia. Bagi Sinta, misalnya,
hancurnya gereja tak akan menghentikan dia kebaktian di hari Ahad. Di sebelah
gerejanya yang runtuh itu, dia menunjuk sepetak lapangan. "Saya tetap beribadat
meski harus di lapangan voli," katanya.
Nezar Patria, Edy Can, Sita Planasari, Bernarda Rurit, Nanang Sutisna (Karawang)
copyright TEMPO 2003
|