TEMPO, No. 38/XXXIII/15 - 21 November 2004
Agama
Bara di Atas Nama Tuhan
Kasus Sang Timur adalah potret konflik antar-agama yang hingga kini terus
mengancam. Jika tak ditangani, kerusuhan antar-agama bisa meledak setiap saat.
Randy Baskara merengek-rengek. Siswa kelas 6 Sekolah Luar Biasa Yayasan Karya
Sang Timur, Ciledug, Tangerang ini meminta orang tuanya mengubah arah perjalanan.
Randy tak mau berangkat ke sekolah lewat jalan di Kompleks Barata, akses jalan
menuju sekolahnya.
Selama bertahun-tahun, bocah 12 tahun itu menuju ke tempat belajar melewati Jalan
Merbabu, yang membelah Kompleks Departemen Keuangan, Ciledug. Buyung
pengidap autis ini nyaman dengan pilihan rute yang ditempuhnya sehari-hari. "Aku
enggak mau lewat jalan lain," katanya.
Bagi siswa seperti Randy, mengubah kebiasaan bukanlah perkara mudah. Selain
kerap bersikap antisosial, penyandang autis selalu sulit mengubah kebiasaan
sehari-hari. Tapi orang tua Randy tak punya pilihan. Sejak kembali ke sekolah dua
pekan lalu, ia tak lagi bisa lewat Jalan Merbabu. Warga Kompleks Departemen
Keuangan telah menutup gerbang Sang Timur yang melewati jalan itu. Akhirnya,
dengan susah payah Randy dibujuk agar mau melewati satu-satunya jalan yang
tersisa.
Kasus Sekolah Sang Timur adalah potret konflik agama yang klasik. Sekolah yang
didirikan oleh Yayasan Karya Sang Timur pada 1992 ini sebenarnya berkonsentrasi
dalam bidang pendidikan. Kini Sang Timur mempunyai sekolah luar biasa (SLB) untuk
anak tunagrahita dan penyandang autis. Selain itu ada sekitar 2.400 siswa normal
yang duduk di tingkat TK, SD, SMP, dan SMA. Tapi Sang Timur memendam bara
konflik agama. Di salah satu gedung Sang Timur, setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu
digelar misa bagi umat Katolik.
Selama 12 tahun, aktivitas peribadatan itu berlangsung. Warga sekitar, penghuni
Kompleks Departemen Keuangan, yang mayoritas muslim, tak bereaksi. Salah
satunya adalah H. Yayat Dahyat, warga yang rumahnya hanya berjarak 20 meter dari
bekas gerbang Sang Timur.
Saat yayasan itu dibangun, Yayat yang berstatus pegawai Departemen Keuangan,
tunduk pada perintah atasan. Bersama ratusan warga kompleks yang lain, Yayat
dikumpulkan di Departemen Keuangan, di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta.
Mereka mendapat pengarahan soal rencana pembangunan sekolah Katolik itu.
Setelah itu, "Ibu Menteri J.B. Sumarlin langsung meresmikan pembangunan Sang
Timur," kata Yayat, yang kini telah pensiun.
Belakangan Sekolah Sang Timur tak hanya menyelenggarakan pendidikan. Entah
mengapa, Kepala Desa Karang Tengah, Sanusi, pada Juli 1992 memberikan
rekomendasi kepada Paroki Santa Bernadet untuk memanfaatkan sekolah itu untuk
kegiatan umat Katolik di Ciledug. Berbekal rekomendasi itulah, Ludo Roekmana,
yang ketika itu menjadi pastor kepala Paroki Santa Bernadet Ciledug, sejak 15
Agustus 1992 melakukan misa di Sang Timur. Hingga bulan lalu, sekitar 9.000 umat
Katolik-dari Ciledug, Serpong, Cipondoh, dan Kota Tangerang-setiap minggu
melakukan upacara misa di Sang Timur.
Kegiatan sekolah dan misa mingguan itulah yang belakangan memicu persoalan
sosial. Soalnya, Sang Timur tak memiliki akses jalan sendiri. Jalan Merbabu selebar
empat meter yang menjadi akses utama Sang Timur sebenarnya bagian dari
Kompleks Departemen Keuangan. Setiap jam bubaran sekolah, ratusan mobil
memadati lingkungan di dalam kompleks. Bahkan, pada akhir pekan saat upacara
misa digelar, jumlah mobil yang diparkir makin membludak. "Keadaan Kompleks
Keuangan jadi semrawut," ujar Farid Sudarno, warga kompleks yang lain.
Agustus lalu lahar konflik yang terpendam itu pun muncrat. Puluhan warga, yang
mengatasnamakan Forum Komunikasi Umat Islam (FKUI) Karang Tengah, pada 15
Agustus 2004 berdemonstrasi di gerbang Sang Timur. Beberapa pamflet, antara lain
berbunyi "Menolak Pemurtadan dan Kristenisasi oleh Sang Timur", disebar di sekitar
tempat aksi. Ribuan umat Katolik yang tengah melakukan misa tak bisa berbuat
banyak. Puncaknya, warga Kompleks Departemen Keuangan mendirikan tembok
setinggi dua meter di pintu gerbang Sang Timur. Sejak itu, kegiatan misa di Sang
Timur dihentikan.
Namun penutupan Sang Timur memunculkan persoalan baru yang rawan. Umat
Katolik tak tinggal diam. Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) pada 5 Oktober
2004 lalu mengirimkan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Surat itu
juga ditembuskan ke beberapa instansi, antara lain Dewan Perwakilan Rakyat,
Kapolri, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Dalam suratnya, Ketua Umum
FMKI, A. Djoko Wiyono, menyatakan pemanfaatan Sekolah Sang Timur untuk
kegiatan misa terjadi karena sulitnya mendapat izin untuk membangun gereja.
Selama belasan tahun, Paroki Bernadet Ciledug telah mengajukan izin untuk
mendirikan gereja di kawasan Ciledug, Tangerang. Tapi lampu hijau tak kunjung
datang. Padahal, "UUD 1945 menjamin setiap orang untuk memeluk dan menjalankan
ibadah menurut agamanya," kata A. Djoko Wiyono.
Pendapat lebih lunak dilontarkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),
organisasi yang menaungi gereja Katolik di Indonesia. Ignatius Ismartono, S.J., Ketua
Komisi Hak KWI, menyebut ada dua hal yang harus dilihat secara terpisah: hak
beribadah dan hak mendirikan rumah ibadah. Ismartono mengakui bahwa hak
beribadah memang merupakan hak asasi manusia yang bersifat universal. Dalam
Deklarasi Hak Asasi Manusia ditegaskan adanya hak beribadah sesuai dengan
agama yang dianut bagi setiap manusia. Bahkan deklarasi yang dibuat pada 10
Desember 1948 itu juga mengakui adanya hak bagi setiap orang untuk berganti
agama. Tapi, "Soal pendirian rumah ibadah tetap harus melihat konteks sosial yang
ada," ujar Ismartono.
Pada 1969 pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan tentang pendirian rumah
ibadah. Maksudnya agar tak terjadi benturan sosial.
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dan Menteri Agama K.H. Ahmad Dahlan
membuat surat keputusan bersama (SKB) nomor 1/BER/MDN-MAG/1969. Dalam
surat keputusan itu ditegaskan bahwa wewenang pemberian izin pembangunan rumah
ibadah ada di tangan kepala daerah. Sebelum mengeluarkan izin, kepala daerah
harus mempertimbangkan masukan dari kepala kantor agama, planologi (tata kota),
serta pendapat organisasi dan tokoh agama setempat.
Memang, SKB tentang pendirian rumah ibadah itu berkali-kali digugat oleh kelompok
minoritas. Prof. J.E. Sahetapy, tokoh Kristen Protestan, pada 1980-an menyatakan
SKB tersebut represif dan diskriminatif terhadap minoritas. Di mata guru besar
Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu, peraturan itu mestinya dinyatakan batal
demi hukum (van rechtswege nietig). "SKB itu merupakan penjajahan terselubung
terhadap umat minoritas," ujar J.E. Sahetapy, yang kini menjadi Ketua Komisi Hukum
Nasional.
Keluhan lain pernah pula disampaikan Partai Damai Sejahtera (PDS), partai Kristen
yang mendapat 2,5 juta suara dalam pemilu lalu. Ketua PDS Pendeta Ruyandi
Hutasoit, saat akan bergabung dengan Kubu Megawati dalam pemilu presiden 2004,
meminta pasangan Mega-Hasyim agar mencabut SKB itu jika mereka menang.
Ruyandi adalah bekas pendeta Gereja Kristen Doulos, Jakarta Timur, yang pada 1999
diserbu dan dibakar massa.
Usaha yang lebih serius kini tengah digodok Komite Peduli Perjuangan Rakyat.
Organisasi yang berisi puluhan pengacara lintas agama ini tengah menyiapkan
langkah hukum untuk menganulir SKB 1/BER/MDN-MAG/1969. Selain akan
melakukan class action untuk mencabut beleid itu, Komite juga akan mendaftarkan
gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Sudah bukan waktunya ada
penindasan terhadap hak beribadah," kata sekretaris umum Komite, Shephard Supit.
Meski SKB itu mempersempit ruang bagi pendirian rumah ibadat, sesungguhnya
bukan tak ada jalan keluar. Untuk mengakali peraturan itu, umat Protestan, misalnya,
kerap "mendirikan gereja" di pelbagai tempat-rumah tinggal, ruko, lapangan, hingga
mal di tengah kota. Aula di lantai lima Mal Ambassador, Jakarta, setiap Ahad
penuh-sesak oleh umat Protestan yang melakukan kebaktian.
Kebutuhan akan bangunan gereja di kalangan umat Protestan memang relatif tinggi.
Hal ini tak semata-mata peningkatan populasi penganut Protestan yang kini sekitar
17 juta jiwa, tetapi juga terkait dengan pelbagai aliran dalam agama tersebut. Pendeta
Dr. Jan S. Aritonang, dalam Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja,
menyebut setidaknya ada sekitar 700 organisasi dan aliran agama Protestan di
Indonesia. Semuanya berkembang pesat. Beberapa aliran di antaranya diserap dari
luar, seperti Adventis, Pentakosta, Bethel, Kharismatik, dan Lutheran. Sedangkan
aliran yang dari negeri sendiri antara lain Gereja Kristen Indonesia, Huria Kristen
Batak Protestan, dan Huria Kristen Indonesia.
Perkembangan pelbagai aliran agama Protestan ini mengakibatkan membengkaknya
kebutuhan gereja baru. Tiap aliran memiliki konsep teologi dan ritual keagamaan yang
berbeda. Ada pula konsep sola scriptura (aliran yang paling berpegang teguh pada
alkitab) sehingga mereka merasa perlu mendirikan gereja yang terpisah dari gereja
lain.
Buntutnya, pelbagai konflik dengan warga masyarakat sekitar gereja acap terjadi.
"Gesekan itu tak bisa dihindarkan," ucap Pendeta Nathan Setiabudi, Ketua Umum
Persatuan Gereja-gereja Indonesia, organisasi yang menaungi 80 persen aliran dan
gereja Protestan.
Dan gesekan dengan masyarakat sekitar sering berujung pada konflik berdarah.
Konferensi Waligereja Indonesia mengungkap sejak awal kemerdekaan hingga
Januari 2004 tercatat 922 gereja di Indonesia yang dirusak massa. Tingkat kerusakan
bervariasi-mulai dari pelemparan kaca hingga pembakaran gereja yang merenggut
nyawa (lihat Mencari Tuhan di Lapangan Voli). Puncak perusakan gereja terjadi saat
bom malam Natal tahun 2000, yang meluluh-lantakkan 34 gereja di beberapa wilayah
Indonesia secara serentak. Aksi itu menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan
lainnya.
Pendirian rumah ibadah, aktivitas keagamaan, dan konflik agama di negeri mana pun
sebenarnya persoalan yang rumit. Sudah jadi hukum alam, mayoritas umat yang
menganut agama tertentu akan membatasi ruang gerak umat lain, apalagi yang lebih
sedikit pemeluknya. Tengok saja Timor Leste, negeri kecil di timur Indonesia. Di
negara yang 98 persen penduduknya memeluk agama Katolik Roma itu, ekspresi
beragama umat Islam kerap membentur tembok. Masjid Annur, yang terletak di Dili,
satu-satunya masjid di Timor Leste, sering menjadi sasaran amuk warga sekitar.
Lebih dari itu, komunitas muslim di Timor Leste beberapa kali harus menjadi "tahanan
rumah" karena tak boleh keluar dari lingkungan sekitar Masjid Annur.
Peristiwa Masjid Annur itu kurang-lebih kini terjadi di Sang Timur. Gereja dalam
kompleks sekolah itu terisolasi dalam kepungan. Perumahan dan kampung sekitar
membuat Sang Timur praktis tak memiliki akses jalan sendiri. Warga Kompleks
Departemen Keuangan dan Kompleks Barata, yang "mengepung" Sang Timur,
menyatakan tak akan memberikan jalan bagi sekolah itu. Saat datang ke kantor
Tempo, H. Oon Soeprijatna, Ketua RW di Kompleks Barata, menunjukkan ribuan
tanda tangan warga yang menolak pemberian jalan bagi Sang Timur. Satu-satunya
jalan, ujar Oon Soeprijatna, "Sang Timur pindah dari sana."
Melihat kondisi yang serba sulit, Menko Kesra Alwi Shihab membuat tim
penyelesaian. Tim yang dipimpin Menteri Agama ini diminta turun ke lapangan untuk
menyelesaikan akar masalah. Hingga kini, meski Randy Baskara, siswa SLB Sang
Timur itu, telah kembali bersekolah, belum ada penyelesaian yang bersifat mendasar.
Sang Timur tetap tak memiliki akses jalan sendiri. Sekitar 9.000 umat Katolik Paroki
Santa Bernadet Ciledug juga belum memiliki tempat misa mingguan. Alwi Shihab,
yang bertahun-tahun mengajar perbandingan agama di Universitas Harvard, Amerika,
berharap kasus Sang Timur tak memicu bentrok antarpemeluk agama. "Kaum
Muslimin dan Nasrani itu bersaudara," ujar Alwi Shihab.
Setiyardi, Y. Tomi Aryanto dan Ayu Cipta
copyright TEMPO 2003
|