TEMPO, No. 40/XXXIII/29 November - 05 Desember 2004
Nasional
Azahari Masih Sejengkal Lagi
Empat tersangka bom Kuningan ditangkap polisi, mereka mengaku dari Darul Islam.
Kapan Azahari tertangkap?
RUMAH kontrakan di Gang Kaum itu kembali menjadi obrolan warga Kampung
Leuwiliang Kaum, Bogor, Jawa Barat, sejak Rabu pekan lalu. Berdinding kayu campur
bambu, rumah semipermanen itu terpacak di satu gang kecil. Dua penghuninya
mengaku pedagang sandal keliling dari Sukabumi. Menurut pemilik rumah,
Kamaludin, penghuni itu menyewa biliknya persis mulai pekan pertama Ramadan
lalu.
Seharusnya, kata Kamaludin, rumah itu dikontrak selama setahun. Tapi dua anak
muda itu hanya menyewanya tiga bulan. "Katanya mereka mau berjualan sandal
sampai habis Lebaran," ujar Kamaludin. Para tetangga pun mengenang warga baru itu
santun dan ramah. Meski suka pergi seharian, kadang-kadang dari dalam rumah
terdengar suara palu dan gergaji kayu. Penghuninya juga kadang bertambah dua
orang. "Mereka mengaku masih saudara," ujarnya menambahkan.
Dua pekan kemudian, gang kecil itu pun geger. Selepas beduk magrib, 5 November
lalu, rumah itu dikepung polisi. Seorang penghuni dibekuk di dalam rumah, sementara
satu orang disergap di ujung gang, persis dekat sebuah wartel. Menurut saksi mata,
kepanikan sempat menyebar karena si lelaki melempar bungkusan plastik hitam.
Petugas pun sempat berteriak agar wartel dan salon dikosongkan. Untunglah, tak
terjadi musibah apa pun dari bungkusan plastik itu.
Seorang ibu menyaksikan penangkapan itu mengatakan, "Salah seorang sempat
dilakban mata dan mukanya. Ta-ngannya diikat ke belakang," ujar ibu yang menolak
disebutkan identitasnya itu. Seorang dari mereka sempat juga melawan saat dijepit
dua polisi. Tapi, dia kontan bungkam begitu perutnya disodok tinju petugas. Di telinga
warga, terdengar kabar polisi sedang meringkus bandar narkotik.
Betulkah pedagang sandal itu menyambi sebagai bandar dadah? Polisi baru
membuka kedok pencidukan itu setelah tiga pekan kemudian. Dalam satu jumpa pers
Rabu pekan lalu, Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar mengatakan, yang tertangkap di
Bogor itu adalah Rois alias Iwan Darmawan, salah satu tokoh penting kasus
peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, 9 September lalu. Selain Rois,
tiga rekannya turut tertangkap. Mereka adalah Hasan alias Agung alias Purnomo,
Sogir alias Anshori dan Syaiful Bahri alias Apuy. Sayang, polisi tak menjelaskan
apakah semua tertangkap di tempat yang sama.
Polisi, kata Da'i, sengaja memendam kabar itu karena masih mengejar dua buron
lainnya: Dr. Azahari dan sekondannya, Noordin M. Top. Menurut polisi, Rois adalah
jangkar yang paling kuat untuk menciduk duet buron kakap itu. Soalnya, peran Rois
cukup penting. Dialah yang merekrut Heri Golun, pelaku bom bunuh diri di depan
Kedutaan Besar Australia. Selain itu, Rois juga merekrut Syaiful Bahri plus memberi
pelatihan militer di Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
Dia juga menyiapkan tempat persembunyian Azahari dan Noordin. Sedangkan Hasan,
bertugas menyembunyikan otak bom itu di Blitar, Jawa Timur, sejak enam bulan lalu.
Di Blitar, perakitan bom dibantu oleh Anshori, termasuk merakit mobil boks di
Cikande, Serang. Sedangkan Apuy membantu mencari kontrakan bersama-sama
Rois di Cikande, Serang, dan Cicurug, Leuwiliang, Bogor.
Hubungan Rois dan Azahari diungkap lebih dalam oleh Kepala Detasemen Khusus
Antiteror 88 Brigjen Pranowo. Berdasarkan pengakuan Rois, sejak 1997 sampai 2000,
dia rupanya pernah berlatih militer di Filipina. "Dia berlatih di Kamp Jabal Quba," ujar
Pranowo.
Jabal Quba adalah satu tempat latihan militer pengganti kamp Hudaibiyah milik
Jamaah Islamiyah (JI). Sebelum diserang militer Filipina, kamp Hudaibiyah terletak di
kamp militer Abu Bakar milik Moro Islamic Liberation Front (MILF), Filipina Selatan.
Tapi, setelah penyerangan militer Filipina ke kamp Abu Bakar pada Juli 2000, kamp
milik JI terpaksa pindah ke Jabal Quba, suatu tempat sekitar Gunung Kararao. Di
kamp itulah Rois belajar militer dan perakitan bom. "Dia ternyata satu angkatan
dengan Fathurrahman al-Ghozi," Pranowo menambahkan. Rois kembali ke Jakarta
sekitar tahun 2000.
Setelah aksi bom Bali, tak sulit bagi Rois menemui Dr. Azahari. Mereka melakukan
kontak dengan sandi khusus lewat telepon seluler. Pertemuan pun terjadi beberapa
kali di sejumlah tempat. Dari situlah, Rois dipercaya merekrut anggota baru yang siap
berjihad. Bagi Rois, seperti yang dituturkan Pranowo, itu bukan pekerjaan sulit. Dia
pandai bergaul. Dalam beberapa hari, enam kawan dekatnya pun merapat. Mereka
adalah Hasan alias Purnomo, Syaiful alias Bahri, Anshori alias Sogir, Agus Ahmad
Hidayat dan Mustakin.
Di bawah arahan Rois, para kader baru itu pun mencari rumah persembunyian bagi
Azahari dan Noordin M. Top. Berkat kelincahan Rois, Azahari pun mudah bergerak
dari satu tempat ke tempat lain. Tercatat oleh polisi, jejak sang Doktor Bom
ditemukan di Serang, Banten, Blitar, dan Cicurug, Sukabumi. Sialnya, di rumah
kontrakan Cicurug itu, bom milik mereka sempat meledak. Tapi, mereka berhasil
kabur.
Semua peran Rois itu mulai tersibak tatkala Agus Ahmad Hidayat dan Mustakin
tertangkap polisi tiga pekan setelah bom meledak di depan Kedutaan Australia. Dari
mulut Agus terungkap bagaimana Rois mencari tempat menginap bagi Azahari dan
Noordin tiga hari sebelum aksi bom Kuningan. Keduanya sempat dibawa Rois
menginap di rumah Agus. Rois dan Agus adalah teman satu SMA di Sukabumi.
Di rumah Agus di Cengkareng, Azahari dan Noordin sempat menginap semalam.
Rumah itu terletak di tepi jalan raya dan sering dilintasi patroli polisi. Merasa kurang
aman, Azahari meminta dicarikan tempat lain. Agus pun membawa mereka ke rumah
mertuanya di Kampung Cisuren, Cianjur. Tak lupa, mereka tetap menenteng peralatan
perakitan bom. Di Cisuren, sambil mengajarkan Rois dan Agus, Azahari meracik bom
untuk Kedutaan Besar Australia. Untuk operasi itu, Rois sudah menyiapkan satu
mobil boks Daihatsu. Esoknya, subuh 9 September, mereka meluncur ke Jakarta.
"Menurut pengakuan mereka, Azahari menyetir mobil boks itu," ujar Pranowo. Rois
duduk di samping Azahari. Begitu sampai di kawasan Cibubur, Jakarta Ti-mur, mobil
diberikan kepada Heri Golun. Heri adalah "pengantin" yang siap melakukan bom jihad
itu. Setelah kemudi diambil alih Heri, Azahari lalu melompat ke atas motor yang
ditunggangi Hasan. Mereka meluncur kembali ke Cianjur.
Dua pekan setelah bom yang menghilangkan sembilan nyawa serta ratusan orang
luka-luka itu, Agus tertangkap polisi. Petualangan Rois pun berakhir ketika polisi
melabrak kontrakannya di Leuwiliang Kaum, Bogor.
Seorang perwira Mabes Polri yakin mereka tinggal sejengkal lagi dari Azahari.
Sekarang polisi adu cepat dengan Azahari dan Noordin. Soalnya, dengan
tertangkapnya Rois, polisi menemukan hal baru. Rois, misalnya, bukan dari jaringan
JI, yang selama ini diduga keras memimpin orkes bom di berbagai tempat. "Dia
mengaku dari Darul Islam, Sukabumi," ujar perwira itu.
Soal munculnya nama Darul Islam ini memang mengejutkan. Sejumlah tersangka
bom Kuningan mengaku berasal dari Darul Islam dan bukan JI. Sekadar catatan, JI
disebut-sebut didirikan oleh Abdullah Sungkar di Malaysia pada 1982 adalah pecahan
Darul Islam pasca-Kartosoewiryo. Dua bulan lalu, Kapolri Da'i Bachtiar mengaku
masih menelusuri hubungan mereka dengan Negara Islam Indonesia (NII), bendera
politik Darul Islam. "Itu baru pengakuan mereka. Belum ada dokumentasi dan
informasinya," kata Kapolri waktu itu.
Anehnya, tak semua kelompok Darul Islam mengenal Rois. Al-Chaidar, yang
mengaku sebagai juru bicara Darul Islam, juga tak tahu soal pemuda asal Sukabumi
dan rekan-rekannya itu. "Mungkin mereka generasi baru," ujar Al-Chaidar, peneliti
gerakan Darul Islam, yang mengaku mendapat mandat dari tujuh faksi gerakan itu
yang bergaris antikekerasan.
Di Solo, seorang pengikut setia Ab-dullah Sungkar menilai gerakan DI sudah lama
mati. "Basis DI memang di Jawa Barat," kata alumni Pondok Pesantren Ngruki yang
menolak disebut namanya itu. Menurut dia, JI adalah jaringan karya Abdullah Sungkar
saat dia pecah dengan tokoh Darul Islam, Ajengan Masduki. Faksi Sungkar kemudian
dikenal sebagai JI, berbasis di Jawa Tengah. Mungkin, kata sumber itu, karena Rois
berasal dari Jawa Barat, lalu dikaitkan dengan Darul Islam. Yang pasti, Rois adalah
pemain baru besutan Noordin M. Top yang memang jago melakukan indoktrinasi.
Kalau benar mereka dari DI, mungkin itu temuan baru bagi polisi. Tapi, yang
terpenting adalah bagaimana segera menghentikan langkah teror Azahari dan
Noordin. Kalau tidak, kata seorang perwira di Mabes Polri, "Tiga bulan mendatang
bisa jadi ada bom lagi."
Nezar Patria, Eni Saeni, Deffan Purnama (Bogor), Imron Rosyid (Solo)
copyright TEMPO 2003
|