KOMPAS, Senin, 01 Desember 2003
Maluku Pulih, Indonesia Timur Bangkit
JUDUL di atas mengutip slogan Pemerintah Provinsi Maluku dan Pulau-pulau Lease
yang bertekad untuk memulihkan Maluku, dan dicanangkan pada 21 Oktober 2003
dalam program Sosialisasi Penanaman Modal di Maluku bertempat di Gedung Baileo
Siwalima, Kota Ambon. Pertemuan waktu itu dihadiri kalangan pengusaha, pejabat
instansi/dinas perikanan terkait dari lima kabupaten di Maluku serta praktisi
perbankan.
DEPUTI Pengendalian Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) Hidayatullah Suralaga menyatakan, sejak kondisi Provinsi Maluku dan
Provinsi Maluku Utara kondusif, maka tidak kurang dari tujuh investor menyatakan
siap kembali ke Maluku.
Para investor itu sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah
Provinsi Maluku melalui BKPM Daerah Maluku. Hampir 60 persen para investor itu
melirik usaha sektor pengolahan dan penangkapan ikan di perairan provinsi yang
dikenal dengan sebutan Seribu Pulau ini.
Menurut Ketua BKPMD Maluku Jopiie Patty investor lebih banyak tertarik menggarap
sektor kelautan dan perikanan, bukan semata karena iklim yang sudah kondusif.
Tetapi, yang terpenting karena Keppres Nomor 96 Tahun 2000 menunjuk sektor
kelautan dan perikanan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk dikelola secara
maksimal. Sektor itu meliputi pembudidayaan ikan di air tawar, seperti budidaya jenis
labi-labi, nila gift, sidat, kodok lembu, udang galah, bandeng, dan Thillapya sp.
"Juga penangkapan ikan kakap, kerapu, dan lainnya. Penangkapan bisa dilakukan,
selain di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Selat Malaka dan ZEE Laut
Arafura. Penekanan kerja sama dengan perikanan rakyat setempat dianjurkan sekali,"
kata Jopiie Patty.
Dalam sidang DPRD Maluku 13 November 2003, Gubernur Maluku Karel Albert
Ralahalu menegaskan kembali komitmennya untuk mengembangkan sektor kelautan
dan perikanan di Maluku.
Pada pengubahan anggaran induk APBD 2003 ini ditetapkan rancangan pendapatan
sebesar Rp 332,42 miliar atau meningkat 7,86 persen. Perubahan anggaran
pendapatan ini dipengaruhi lima faktor kondisi dan iklim usaha, di antaranya
disebutnya penambahan armada tangkap yang berlokasi di perairan ZEE sekitar Laut
Aru dan sekitarnya.
KALAU disebutkan bahwa sektor perikanan dan kelautan menarik untuk digarap, baik
oleh pemda maupun kalangan swasta, itu bukan tanpa alasan. Provinsi Maluku yang
memiliki luas wilayah 581.376 kilometer persegi, sekitar 527.191 kilometer persegi
adalah wilayah lautan. Wilayahnya yang terdiri dari ribuan pulau menciptakan pula
daerah pesisir yang berhadapan langsung dengan perairan luas.
Konflik kemanusiaan yang berlangsung selama empat tahun di Maluku telah
memperburuk sendi-sendi perekonomian masyarakat. Merosotnya sektor perniagaan,
belum pulihnya perniagaan antarpulau, anjloknya komoditas unggulan antarpulau
diikuti membengkaknya angka pengangguran, menambah keterpurukan Maluku.
Persoalan makin rumit akibat penyelesaian pengungsi sebanyak 38.000 keluarga
sampai kini masih terkatung-katung. Kondisi ini diperparah dengan merosotnya
kinerja aparat pemerintah, dan anjloknya sektor pariwisata.
Koordinator Penyusunan Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Maluku 2003-2008
Dr Gunung Rajiman dari Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional (PSPPR)
Universitas Gadjah Mada pada saat presentasi di Pemprov Maluku, November 2003,
memaparkan bahwa luas sebagian besar pulau-pula di Maluku tergolong kecil. Hanya
Pulau Halmahera dan Pulau Seram yang cukup besar, yakni Halmahera 20.000 km
persegi dan Seram 17.429 km persegi. Pulau-pulau lainnya dikelompokkan dalam
enam gugusan berikut potensi kelautannya, yakni gugusan Pulau Buru dan Pulau
Seram, gugusan Pulau Wetar dan sekitarnya, gugusan Kepulauan Babar, Kepulauan
Aru dan Kepulauan Kai.
"Melihat kenyataan geografi yang dominan laut itu, maka sumber daya laut dan
perlunya penataan ruang yang tepat akan menghubungkan gugusan pulau-pulau dan
sentra produksi menjadi kekuatan Provinsi Maluku untuk bangkit kembali," ujar
Gunung Rajiman.
Dari lima kabupaten di Maluku, tampaknya baru Kabupaten Maluku Tenggara dan
Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang paling getol maju dalam pengembangkan
sektor perikanan dan kelautan. Tiga daerah lain, yaitu Kabupaten Buru, Kota Ambon,
dan Kabupaten Maluku Tengah belum maksimal memacu penangkapan serta
budidaya sektor perikanan.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Ir E Manizar Sangaji menjelaskan,
sektor kelautan terdiri tiga komponen usaha, yakni budidaya, penangkapan dan
pengolahan ikan serta eksplorasi. Dari besaran potensi perairan Maluku, baru 20,6
persen saja potensi yang digarap. Selain itu, pengembangan budidaya ikan seperti
budidaya teripang, ikan bandeng, dan ikan kerapu masih sedikit hanya 0,02 persen
dari potensi yang ada.
Akibat kecilnya pengusahaan sektor ini, maka sumbangan ke pendapatan asli daerah
(PAD) pun berkembang lamban. Pada tahun 2002, pendapatan dari sektor perikanan
dan kelautan sebesar Rp 1,2 miliar dari ekspor dan pungutan hasil perizinan. Tahun
ini jumlah tersebut ditargetkan meningkat Rp 1,7 miliar. "Kondisi keamanan di Maluku
yang kondusif dan disambut baik oleh investor, tentunya akan memacu pembangunan
sektor ini," ujar Manizar Sangaji.
Menurut dia, konflik kemanusiaan yang lalu tidak hanya membuat investor di sektor
ini hengkang, tetapi juga membuat para nelayan kehilangan kapal-kapal ikan mereka.
Dicontohkan, sebelum konflik kemanusiaan, terdapat 38 perusahaan yang membuka
usaha budidaya mutiara di sejumlah kawasan perairan di Maluku. Begitu konflik
berlangsung, kini tinggal delapan perusahaan yang bertahan dalam usaha budidaya
mutiara.
SEKALIPUN semua pihak sepakat bahwa kekayaan laut Maluku dan sekitarnya
berpotensi besar untuk mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat Maluku, dalam
pelaksanaan di lapangan tetap saja belum sinkron. Dalam soal pengelolaan kekayaan
laut ini, misalnya, sekalipun ada otonomi daerah, dalam pelaksanaan terjadi
tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Bupati Buru M Husnie Hentihu mengeluhkan, kekayaan alam wilayahnya belum dapat
dikelola secara maksimal. Luas laut yang begitu besar-diukur dari pantai sekitar 12
mil-ternyata pengaturannya masih belum jelas. Kewenangan otonomi tampaknya
masih berlaku di darat, dan pusat masih belum rela memberikan kewenangan kepada
daerah untuk sepenuhnya mengelola potensi lautnya.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) Ir
Piet Nurimarno MS mengungkapkan, dipandang dari segi perikanan, maka otonomi
daerah telah menghidupkan perekonomian bagi masyarakat yang tinggal di kepulauan
yang terpencil. Masyarakat perikanan di Kabupaten MTB baru saja menikmati apa
yang disebut menjadi tuan di negeri sendiri.
"Menjadi tuan di negeri sendiri itulah yang tengah kita tingkatkan dalam
pemberdayaan masyarakat, setelah belasan tahun silam masyarakat di kepulauan
terpencil dimarjinalkan," ujarnya.
Persoalannya kini, ketentuan dalam UU Perikanan yang mengatur kewenangan
pemerintah daerah di laut, ternyata tumpang tindih dengan hak ulayat masyarakat
adat yang juga dijamin oleh peraturan daerah setempat. Tumpang tindih itu terjadi
karena cara pandang pembuat aturan lebih menggunakan pendekatan kontinental
dalam pengambilan keputusan nasional.
"Padahal, banyak daerah di Indonesia ini yang wilayahnya perairan, karena daerah itu
merupakan kepulauan seperti di Maluku, Riau, Nusa Tenggara Timur, Papua dan
daerah lainnya," papar Piet Nurimarno.
Dia menambahkan, kalau saja ada upaya revisi terhadap UU yang mengatur otonomi
daerah maupun kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan kelautan, maka
barulah sektor perikanan dan kelautan benar-benar mantap dikelola daerah.
"Ini bukan soal pengaplingan laut," katanya. "Memberi kepercayaan kepada daerah
sepenuhnya untuk mengelola kekayaan sumber alam di lautan, tak bisa dilakukan
setengah-setengah. Kalau di Jawa dan Sumatera eksploitasi sumber daya lebih
banyak di darat, tetapi di daerah kepulauan sumber dayanya di laut," katanya.
Dia mencontohkan, lemahnya kewenangan yang menyebabkan daerah tidak berdaya
mengelola laut sepenuhnya. Beberapa waktu lalu, pembeli dan pedagang ikan dari
Timor Timur menyurati Camat Wetar di MTB mengenai keberadaan mereka dalam
kegiatan jual beli ikan dengan para nelayan di Pulau Wetar.
Camat Wetar ternyata tidak merespons, malahan cenderung melarang. Sebagai
penguasa setempat camat merasa dalam posisi sulit, apabila ia menyetujui kegiatan
para pedagang asal Timor Timur. Ini mengingat para pedagang Timor Timur itu berasal
dari "luar negeri".
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Pemprov Maluku 2003-2008-masih dalam proses
penyusunan oleh tim Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi
Maluku bersama PSPPR UGM Yogyakarta-komitmen untuk mengembangkan sektor
perikanan dan kelautan pun ternyata juga lemah.
Walaupun di sana diakui bahwa sumber daya kelautan merupakan kekuatan
perekonomian Maluku, dalam Renstra Pemprov Maluku itu tidak ada detail
pengembangannya sama sekali.
Fokusnya malahan dominan pada eksplorasi dan pengusahaan sektor kehutanan,
pengembangan infrastruktur pemerintahan, masalah pengungsi, penegakan institusi
hukum, dan rekonsiliasi masyarakat.
"Renstra itu belum final karena masih dalam presentasi laporan pendahuluan.
Diharapkan, dari pemaparan awal ini akan mendapatkan masukan dari berbagai
kalangan di masyarakat, legislatif maupun pemerintahan kabupaten dan kota,"
ungkap anggota Tim PSPPR, Dr Budiono Sri Handoko.
Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku Dr MKJ Norimana Msc menanggapi
Renstra tersebut dengan menyatakan, sektor kelautan yang disebut sebagai salah
satu kekuatan Maluku dalam Renstra itu baru sekadar "wacana".
Menurut Norimana, Renstra seharusnya juga perlu mengedepankan kerja sama
kelautan lebih konkret antara Maluku dan negara tetangga, misalnya Timor Timur dan
Australi,a yang harus diakui wilayahnya berbatasan.
"Masalah kesenjangan antarpulau juga tak bisa diabaikan begitu saja untuk
memajukan ekonomi dan sumber daya manusia," ujar MKJ Norimana. (winarto
herusansono)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|