Masariku Network, 21 November 2003
Masariku Update seputar Kab. Buru, Maluku
Dear All,
Selama dua minggu yang lalu kami berkesempatan mengunjungi kota Leksula di Buru
Selatan, serta beberapa desa disekitarnya. Impresi awal yang segera muncul
berkaitan dengan kondisi Leksula pasca konflik adalah bahwa Leksula telah menjadi
salah satu pusat interaksi komunitas Muslim dan Kristen kembali. Warga desa
Nalbesi yang beragama Islam dan berjarak 5 kilo perjalanan darat dari Leksula, saat
ini telah dengan bebas datang dan beraktifitas di Leksula. Nalbesi merupakan desa
Islam yang seluruh penduduknya berasal dari Sulawesi Tenggara / Buton. Mereka
telah menetap secara turun temurun di wilayah adat Leksula sejak puluhan tahun lalu,
dan kemudian berkembang menjadi desa sendiri. Selama konflik Nalbesi pernah
dijadikan salah satu basis bagi penyerangan desa Kristen Kase, yang terletak lebih
kurang 3 kilo dari Nalbesi.
Menurut penduduk Nalbesi yang sempat kami wawancarai dalam kunjungan kesana,
para penyerang desa Kase sebagian besar datang dari luar Nalbesi dan
memprovokasi masyarakat untuk menyerang ke Kase maupun Leksula. Saat ini
penduduk Nalbesi telah dengan bebas memasuki Leksula dan berjualan disana.
Sebagaimana yang terjadi sebelum konflik, pencaharian sebagian besar penduduk
Nalbesi adalah melaut. Hasil tangkapannya kemudian dijual di pasar Leksula.
Terutama pada hari pasar besar yang diselenggarakan setriap hari Rabu dan Sabtu.
Selain penduduk Nalbesi, saat ini pada pedagang Muslim asal Buton telah juga hadir
dan menetap di Leksula. Awalnya mereka datang bersama kapal penumpang yang
menjalani trayek Ambon-Leksula. Di dermaga Leksula mereka menggelar
dagangannya kemudian kembali dengan kapal dimaksud. Secara perlahan mereka
mulai tinggal selama beberapa hari di Leksula, sampai akhirnya oleh penduduk
setempat diberikan lahan bagi tempat usaha mereka. Umumnya mereka menyewa
sebidang kecil tanah di pesisir pantai Leksula dan membangun kioss-kios dagangan
kecil disana. Saat ini lebih kurang ada 30 buah kios yang berjejer sepanjang jalan
raya di tepi pantai kota Leksula. Pasokan air bagi kios-kios ini biasanya didapatkan
dari warga sekitar.
Selain Leksula dan Nalbesi kami sempat mengunjungi desa Kase dan desa Labuhan.
Dengan menggunakan long boat kami menuju Kase, dan menemukan situasi
desanya telah kembali dihuni oleh penduduk yang sebelumnya mengungsi.
Pembangunan rumah penduduk yang dilakukan oleh dinas transmigrasi melalui
proyek tahun 2001, ternyata belum terselesaikan sampai saat ini. Selain konstruksi
bangunan papan yang sangat tak layak untuk didiami, maka ditemukan pula 10 buah
bangunan rumah yang masih berupa rangka saja. Menurut penduduk setempat
kontraktor yang menangnani telah melarikan diri, dan meninggalkan sisa bangunan
yang terbengkalai begitu saja. Fasilitas penerangan di Kase sendiri sampai saat ini
belum ditangani. Karenanya penduduk setempat hanya menggunakan pelita di malam
hari. Pendeta jemaat Kase dalam percakapannya dengan kami sangat mengharapkan
uluran tangan yang dapat membantu pengadaan mesin listrik, sekalipun dengan daya
1 Kv.
Kondisi yang sama juga terlihat di desa Labuhan, kurang lebih 1,5 jam perjalanan
dengan menggunakan long boat dari leksula. Disana kami malah menemukan
sebagian besar rumah yang sama sekali belum dibangun. Beberapa rumah bahkan
dibangun melalui swadaya masyarakat sendiri. Beberapa rumah lainnya hanyalah
berbentuk sandaran triplek seadanya. Sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan,
mengingat Labuhan merupakan salah satu basis pengolahan kayu gelondongan oleh
perusahan HPH. Di sekitar dermaga labuhan misalnya kami melihat ratusan kayu
gelondongan dalam berbagai ukuran teronggok di tepi pantai dan siap diangkut.
Sebenarnya selain Kase dan Labuhan kami masih ingin mengunjungi beberapa desa
pesisir bekas kerusuhan lainnya. Sayangnya tak banyak waktu yang tersedia,
mengingat padatnya kegiatan di Leksula. Kami kembali ke Ambon pada tanggal 16
Nopember lalu dan meninggalkan bumi "Fuko Bupolo" (pulau yang mengingat), begitu
sebutan setempat bagi Pulau Buru.
MASARIKU NETWORK AMBON
|