Masariku Network, 28 November 2003
Masariku Update - In Memoriam Mahfud Nukuhehe
Dear All,
Tiga hari menjelang Idulfitri kami dikejutkan dengan satu berita duka, yakni
meninggalnya 'MAHFUD NUKUHEHE', mantan raja Seith pada hari Sabtu 22
Nopember 2003. Meninggal dalam usia 61 tahun. Meninggalkan sorang isteri dan 6
orang anak. Sejak lama kami memang telah mengetahui bahwa Mahfud telah
mengidap sakit serius pada lambungnya, namun kami tak menyangka bahwa secepat
itu ia meninggal mandahului kita. Rasa duka terasa menyesak mengingat Mahfud
merupakan salah seorang tokoh adat di Jazirah Lei Hitu, yang sejak tahun 2000 telah
bergabung dengan kami dalam upaya membangun penghentian konflik dan proses
menuju perdamaian. Masih lekat dalam ingatan bagi proses yang kami kemas dalam
jaringan 'Baku Bae' melibatkan Mahfud yang awalnya masih terilhat canggung untuk
memulai interaksi. Mengingat tingginya suhu konflik pada saat itu. Sekalipun berbagai
pertemuan kami lakukan secara tertutup dan sangat hati-hati, namun Mahfud selalu
berkesempatan menghadirinya melalui berbagai cara. Baik pertemuan-pertemuan
yang dilakukan di Ambon dan sekitarnya, maupun yang berlangsung di luar Maluku.
Dalam perjalanan gerakan Baku Bae kemudian, bersama kami Mahfud terlibat penuh
dalam keanggotaan panitia pengarah. Secara perlahan keberanian Mahfud mulai
bertumbuh untuk dengan tegas dan vokal menyuarakan berbagai ketidakberesan
dibalik konflik Maluku. Dengan berani ia turut menandatangani dokumen pertama
gerakan Baku Bae pada awal tahun 2000. Dokumen pertama dengan judul ' Suara
Hati Rakyat Maluku' dengan sangat jelas menegaskan posisi TNI sebagai salah satu
faktor pelanggeng konflik di Maluku. Perjalanan Mahfud bersama kami dalam gerakan
'Baku Bae' berlanjut pada sekian seri pertemuan yang melibatkan banyak segmen
masyarakat. Dengan taktis dan strategis Mahfud mendorong para raja dan tokoh
pemuda di Lai Hitu untuk bergabung dalam sekian seri pertemuan dimaksud.
Penggalangan koalisi Leihitu dan Baguala merupakan salah salah satu kontribusi
Mahfud bersama teman-teman di gerakan Baku Bae. Hal ini dimungkinkan mengingat
peran Mahfud saat itu sebagai Ketua Latupati Leihitu.
Tentunya dinamika gerakan yang dibangun dari bawah dalam situasi eskalasi konflik
yang masih cukup tinggi itu menuai banyak kecaman, fitnahan, dan bahkan ancaman
bagi semua kami yang terlibat didalamnya. Tak terkecuali yang dialami Mahfud.
Dengan jelas teringat bagaimana pertemuan sosialisasi Baku Bae yang kami lakukan
di Makasar 2001 diserang dan dihentikan oleh sebagian pemuda Muslim Maluku yang
mengungsi disana. Pada saat-saat yang kritis Mahfud mengambil peran dalam
kharismanya sebagai seorang tokoh adat untuk menghadang mereka. Keberanian
Mahfud bahkan teruji ketika dengan berani ia memutuskan untuk ikut bersama kami
pada Annual Conference High Commision of Human Right di Geneva 2001. Pada
pertemuan itu dengan gamblang Mahfud menjelaskan realitas keterpurukan
masyarakat adat Maluku akibat kesalahan pembangunan nasional Indonesia yang
dilakukan selama ini. Ia mengkritik dengan tajam berbagai pemberlakuan produk
perundang-undangan yang menurutnya mereduksi dan mengahancurkan
pranata-pranata adat Maluku selama ini. Termasuk didalamnya proyek transmigrasi
nasional. Pada akhir pertemuan di Geneva bersama kami Mahfud turut
menandatangani statement delegasi Maluku untuk meminta dukungan international
bagi penyelesaian konflik Maluku. Termasuk pilihan mengadirkan UN Police ke
Maluku, karena pemerintah Indonesia tak lagi mampu mengatasinya. Memutuskan
menandatangani statement demikian membutuhkan keberanian yang sangat besar
bagi seorang Muslim seperti Mahfud (dan Haji Yusuf Elly yang juga turut serta),
mengingat opini publik Muslim selama konflik mengidentikan PBB dengan bantuan
bagi pihak Kristen dan upaya pihak Kristen untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Namun Mahfud tak peduli. Baginya keselamatan 'Bangsa Maluku' (istilah yang
dipakai Mahfud saat itu) jauh lebih besar dari sebuah ancaman yang akan
diterimanya. Selain di London dan Geneva, bersama kami Mahfud turut hadir dalam
pertemuan yang digelar di Parlemen Eropa – Brussel. Disana ia kembali
menegaskan pentingnya pendekatan kultural dipakai untuk menyelesaikan konflik
Maluku. Konsistensi Mahfud tetap terjaga dalam perjalanan gerakan Baku Bae
selanjutnya. Sayangnya akibat kondisi kesehatannya yang memburuk maka
dinamikanya menjadi terbatas dalam proses-proses yang dilakukan. Beberapa kali
Mahfud harud di rawat di rumah sakit Ambon maupun di Jakarta dengan bantuan
beberapa pihak yang bersimpati padanya. Ia mengalami berbagai komplikasi yang
cukup serius. Kondisi fisik yang memburuk rupanya menjadi semakin kronis ketika ia
harus berhadapan dengan proses pergantian posisi raja di negeri Seith yang selama
ini dipimpinnya. Mahfud rupanya tak rela meninggalkan jabatan raja, bila jabatan itu
diteruskan oleh kandidat lain yang bukan berasal dari garis turunan raja. Suatu
kelaziman adat yang umumnya diakui di Maluku. Penolakan ini membuahkan
pertentangan serius ketika bupati Maluku Tengah memberhentikan Mahfud dangan
mengangkat seorang pejabat sementara, sambil menunggu proses pemilihan raja
baru. Masyarakat Seith terbelah antara kubu yang pro dan kontra Mahfud.
Pembelahan ini semakin dipertajam oleh berbagai fitnahan dan kecemburuan akibat
keterlibatan Mahfud dan beberapa fasilitas yang diperolehnya sebagai salah seorang
tokoh yang memperjuangkan penghentian konflik dan perdamaian (oleh salah seorang
simpatisan gerakan Baku Bae, Mahfud & Ibu Raja Passo memperoleh masing-masing
sebuah mobil untuk memperlancar dinamika mereka). Berbagai cercaan kemudian
diterimanya baik dari warga negeri Seith sendiri, tetapi juga kesenjangan yang
kemudian timbul antara dirinya dengan raja-raja Leihitu lainnya. Terutama ketika ia
tak lagi memegang jabatan sebagai Latupati leihitu dan Raja Seith. Awal 2003 oleh
salah seorang penentangnya Mahfud diserang dengan tiba-tiba ketika ia berada di
kota Ambon. Kepalanya terbelah akibat pukulan besi, yang mengakibatkan ia harus
dirawat selama beberapa hari. Sekalipun demikian Mahfud tetap berkeras untuk
mensukseskan pertemuan Latupati Maluku yang digelar Baku Bae dalam kerja sama
dengan Universitas Pattimura. Itulah pertemuan Baku Bae terakhir yang sempat
diikuti Mahfud. Tumpukan beban baik fisik maupun psikis rupanya tak tertanggungkan
oleh Mahfud. Situasi itu semakin memperburuk kondisinya, dan akhirnya
mengantarnya menuju akhir takdirnya sebagai seorang manusia. Hanya tiga hari
menjelang tibanya hari kemenangan / Idul Fitribagi umat Islam, Mahfud dipanggil
pulang menghadap penciptanya. Tak sempat kami menjabat tangannya, sekalipun
kami berencana untuk mengunjunginya di Seith.
Kematian Mahfud ternyata tak memadamkan prahara yang terlanjut mengental di
Seith. Pada malam takbiran menjelang tibanya idulfitri pada tanggal 25 Nopember
2003, kedua kubu yang bertikai meluapkan kebrutalannya. Kejadiannya berawal dari
pawai takbiran kelompok penentang Mahfud almarhum, yang dilempar batu oleh orang
misterius. Kejadian itu memicu emosi masa yang akhirnya bergerak menuju 'rumah
tua' milik keluarga Mahfud yang sudah berusia ratusan tahun. Dalam sekejap emosi
masa memicu berkembangnya nyala api yang membakar habis rumah itu. Penghuni
rumah yang belum surut dukanya segera menyelamatkan diri. Istri Mahfud kembali ke
Asilulu, negeri asalnya. Sementara beberapa anaknya mengungsi ke ujung negeri
Seith. Kebrutalan masa berhasil dijinakan aparat keamanan sampai terbitnya fajar,
dan memperjelas puing-puing membara dari rumah seorang pejuang perdamaian. Tak
ada yang berbekas, dan yang tertinggal hanyalah penggalan-penggalan kenangan dari
seorang pejuang perdamaian yang ditolak di negeri adatnya sendiri. Ironis memang.
Persoalan yang dihadapi Mahfud dengan segera mengahdirkan refleksi dan koreksi
mendalam bagi perjalanan gerakan Baku Bae. Sebagaimana yang terjadi selama ini
gerakan ini dalam perkembangannya yang terakhir kemudian pecah antara kelompok
teman-teman Jakarta yang dimotori oleh Ikshan Malik dan kelompok komite
koordinasi bersama sebagian besar teman-teman di Ambon. Pangkal perpecahan
bersumber dari kecenderungan teman-teman di Jakarta untuk men-drive gerakan ini
dari Jakarta, dan menempatkan teman-teman di Maluku sebagai pelaksana lapangan
semata. Hal ini menimbulkan perselisihan sengit, mengingat kecenderungan itu
mengikari komitmen gerakan yang dibangun sejak semula. Sejak awal disepakati
bahwa gerakan teman-teman di Jakarta hanyalah perpanjangan tangan dari
teman-teman di Maluku, akibat jauhnya jarak secara geografis. Namun dalam
perkembangan kemudian persepakatan tersebut diingkari. Komite koordinasi dan
komite pengarah yang hampir seluruhnya berada di Maluku kemudian dibubarkan
secara sepihak oleh teman-teman di Jakarta. Saling tuduh kemudian berkembang
menjadi konflik yang meruncing. Ujung-ujungnya gerakan Baku Bae kemudian
dijalankan dalam dua versi. Versi Jakarta dan versi Maluku. Jakarta mendesign dan
menjalankan programnya sendiri. Sebaliknya hal yang sama juga dilakukan di
Maluku. Tim inti Baku Bae terbelah dua, dan Mahfud dianggap terseret untuk
mendukung tim Jakarta. Akibat hilangnya tim penggerak Baku Bae di Ambon, Mahfud
kemudian menjadi salah seorang yang ditokohkan untuk mendrive arah gerakan di
Maluku melalui pendekatan kultural. Penokohan yang cenderung berlebihan ini
kemudian memancing reaksi kecemburuan dari raja-raja lain di jazirah Leihitu. Hal
yang sejak awal telah kami ingatkan dalam design gerakan, mengingat independensi
tokoh-tokoh adat di Maluku. Mahfud kemudian cenderung dikucilkan oleh komunitas
raja adat di Leihitu. Hal mana nampak misalnya dari penolakan beberapa raja maupun
tokoh pemuda, ketika Mahfud meminta pertolongan mereka untuk turut
menyelesaikan persoalan yang terjadi di Seith. Salah satu tokoh pemuda negeri
Wakal, yang selama ini misalnya terlihat sangat dekat dengan Mahfud dalam
perjalanan gerakan Baku Bae, dengan sangat tegas menolak permohonan dukungan
terhadap Mahfud. Semakin sendiri Mahfud berjalan, sementara teman-teman gerakan
yang berada di Ambon cenderung menjauhkan diri darinya akibat terbelahnya gerakan
secara kronis. Proses penokohan yang berlebihan ternyata menjadi beban berat bagi
Mahfud, yang secara tanpa sadar terseret didalamnya. Pemaknaan timwork sebagai
sebagai prinsip dasar gerakan ternyata gagal dikondisikan oleh gerakan Baku Bae,
justru disaat teman-teman Baku Bae harus menikmati realitas perdamaian yang mulai
berwujud di Maluku. Hal ini merupakan salah satu sudut kegagalan gerakan Baku
Bae yang terasa cukup pahit, diantara berbagai klaim keberhasilannya. Dan seorang
Mahfud berada disitu. Memberikan kontribusinya yang maksimal dan tanpa pamrih.
Pun juga tak terhindarkan untuk menebusnya dengan sangat mahal. Menjadi relawan
perdamaian memang tak mudah, bahkan kerap harus menyediakan diri untuk
berkorban. Dan engkau adalah salah seorang yang telah menempuh jalan itu.
Selamat jalan Mahfud Nukuhehe, didalam damai yang engkau perjuangkan. Damai
abadi bersama Sang Khalik.
MASARIKU NETWORK AMBON
|