Maluku Media Centre, Selasa, 11/11/2003 15:59:12 WIB
Perdamaian Sejati Belum Dicapai
Tapak Ambon Desak Pemerintah Tuntaskan Masalah Maluku
Reporter: Azis Tunny, Fitra Iskandar
Jakarta, MMC --- Provinsi Maluku kini dinyatakan sangat kondusif, hal itu tidak
membuat Direktur Eksekutif Tim Advokasi untuk Penyelesaian Kasus (TAPAK)
Ambon, Zairin Salampessy tersenyum. Dia menilai proses damai di Maluku belum
tuntas dan masih semu, sehingga harus diusahakan terus-menerus dengan orientasi
yang lebih tegas.
Kepada MMC di Jakarta, Senin (10/11) Zairin menilai, masyarakat Maluku belum
sepenuhnya menghirup udara damai yang sejati. Alasan dia, masih banyak persoalan
sosial akibat konflik yang belum tertangani. Persoalan itu terutama pada tersedianya
ruang-ruang damai di Maluku, tempat siapa saja bisa beraktivitas tanpa merasa asing
oleh latar belakang suku dan agama, bahkan rasa takut akibat masih adanya trauma
masa lalu.
Selain itu, dia juga mendesak agar pihak-pihak yang terlibat atas berlangsungnya
tragedi kemanusiaan Maluku mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena konflik
terbuka yang berlangsung sejak Januari 1999 ini telah menelan banyak korban jiwa
dan harta benda. “Penanganan dampak konflik belum sepenuhnya tuntas. Selain itu
harus ada investigasi khusus terhadap kasus kerusuhan Maluku. Jangan
provokatornya duduk tenang saja setelah perbuatannya mengakibatkan kehancuran di
Maluku,” tegas Zairin.
Menurut dia, pulihnya situasi Maluku yang berlangsung selama ini telah berjalan
secara perlahan dan alamiah atas dasar kesadaran dan dinamika yang berkembang
di masyarakat. Tapi kekuatiran masyarakat akan konflik yang pernah berlangsung
masih menghantui warga.
Dicontohkan, masalah pengungsi hingga kini belum teratasi secara baik. Jika tidak
diselesaikan secara serius maka dapat memunculkan reaksi sosial dan akan memicu
konflik baru. Fenomena yang terjadi, para pengungsi pada umumnya menempati
rumah, gudang atau pertokoan milik orang lain yang juga berstatus pengungsi. Jika si
pemiliknya ingin memiliki kembali bangunan atau rumahnya itu, harus membayar
ganti-rugi kepada yang menempatinya. “Fenomena ini sebenarnya bumerang bagi
perdamaian di Maluku,” ujar dia.
Akibat dari konflik juga, ungkap Zairin, sampai saat ini masih jelas terjadi segresi
pemukiman penduduk yang terpisah berdasarkan kelompok komunitas. Kendati
pemulangan pengungsi sudah digalakkan pemerintah, namun itu hanya sebatas
kelompok besar. Seperti pemulangan pengungsi asal desa Waai, Kecamatan
Salahutu. Sedangkan untuk pengungsi dalam jumlah kecil seperti asal Talake,
Batumerah, Batumeja, Kudamati dan beberapa daerah di Kota Ambon dan beberapa
daerah di luar Kota Ambon seperti Passo dan Waitatiri, para pengungsi pada
umumnya lebih memilih pola relokasi atau sisipan, ketimbang kembali ke daerah
asalnya. Ini menandakan belum seratus persen rasa aman dimiliki masyarakat untuk
menetap di wilayah mana saja di Maluku.
"Perdamaian di Maluku belum tuntas. Sifatnya hanya di permukaan saja. Kalau kita
mau jujur apakah ada warga Muslim mau bermukim di Kudamati yang mayoritas
Kristen. Sebaliknyaa apakah ada warga Kristen tinggal di Batumerah yang mayoritas
Muslim? Ini kan tidak ada. Berarti masyarakat belum merasa aman untuk bermukim
di mana saja," tandas Zairin.
Untuk itu, lanjut dia, sudah menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dan pusat
untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang muncul akibat konflik. Jika
masalah Maluku didiamkan begitu saja, dia khawatir bisa menjadi bom waktu yang
sewaktu-waktu dapat meledak kembali.Zairin juga mendesak, Tim Penyelidik
Independen Nasional (TPIN) yang dibentuk pemerintah pusat berdasarkan
rekomendasi perjanjian Malino II, 6 Juni 2002, harus mengungkapkan hasilnya secara
transparan kepada publik, minimal enam bulan setelah berakhir melakukan
tugasnya.Pentingnya membuka hasil temuan TPIN, menurutnya, agar masyarakat
dapat melihat dan belajar dari masa lalu dengan jernih, sehingga kekerasan yang
pernah terjadi dapat dihindari di kemudian hari.
TPIN yang beranggotakan 14 orang ini, diketuai oleh Deputi VII Bidang informasi,
komukasi, hubungan masyarakat Kantor Menko Polkam I Wayan Karya. Saat di
Maluku TPIN telah menemui para elite politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
grassroot dan kelompok-kelompok radikal di dua komunitas. Namun hasil dari TPIN
sampai saat ini tidak pernah dipublikasikan.
"Hasil temuan TPIN ini terkesan ditutup-tutupi dari masyarakat luas. Ini
mengindikasikan ada hal besar yang sengaja disembuyikan pemerintah. Sementara
masyarakat membutuhkan kejujuran pemerintah untuk mengungkapkan fakta di balik
tragedi Maluku," ujar dia.
Salah satu tokoh pencetus berdirinya gerakan Baku Bae Maluku Piet Manopo secara
terpisah mengatakan, situasi kondusif di Maluku merupakan peluang bagi pemerintah
dan masyarakat untuk secara komprehensif membangun kembali masa depan
Maluku.
"Kita harus secara arif dan bijaksana menentukan prioritas rekonstruksi Maluku.
Karena jangan sampai ada ketidakdilan atau kesalahpahaman yang memunculkan
keresahan sosial baru," pintanya.
Untuk merekonstruksi fisik dan batin masyarakat Maluku, pendidikan kritis terhadap
masyarakat dan pendekatan psikologis yang lebih manusiawi, adalah langkah awal
yang tidak boleh diabaikan. Selama ini menurut Piet, apa yang dilakukan pemerintah
cenderung hanya memikirkan hal-hal yang bersifat fisik. Pemerintah tidak melihat
korban sebagai manusia yang mengalami trauma. Korban konflik dalam perspektif
pemerintah hanya dilihat sebagai orang-orang yang mengalami korban jiwa dan
kehilangan harta benda.
Dia mencontohkan, program pemulangan pengungsi asal Pulau Buru, akhir tahun
2002. Untuk program itu, pemerintah telah membangun rumah, menyiapkan kapal,
begitu pula jumlah keluarga yang akan kembali. Tetapi yang terjadi, target orang yang
berangkat tidak lebih dari seperempatnya. Hal ini karena pendekatannya tidak
komprehensif.
"Pemerintah hanya berkutat dengan hal-hal yang fisik saja dan hal-hal lain tidak
tersentuh. Mereka menyiapkan rumah dan kapal tapi manusianya sendiri tidak
disiapkan," jelas dosen psikologi di Universitas Indonesia ini.Dia mengkritik
pendekatan parsial yang menjadi karakter pemerintah dalam menyelesaikan konflik di
Maluku.
Padahal, dalam setiap keputusan menyangkut kehidupan masyarakat, menurut Piet
mestinya melibatkan partisipasi dari bawah. Karena dalam suasana yang masih
traumatis, aspirasi, perasaan dan pengalaman batin masyarakat korban konflik
merupakan media subtansial untuk memberikan apa yang masyarakat butuhkan.
Proses yang elitis, diyakini tidak akan pernah mampu menyentuh aspirasi
masyarakat.
Piet menambahkan, apabila karakter proses keputusan masih selalu top down ,
kondisinya sangat tidak menguntungkan bagi prospek perdamaian yang sedang
dibangun. Karena hanya akan menyuburkan pembodohan rakyat.
"Masyarakat yang aspirasinya tidak diberi ruang, akan sulit untuk dapat berfikir kritis
terhadap fenomena sosialnya. Kecenderungan seperti itu akan berdampak pada
karakter massa yang selalu emosional dalam menyelesaikan masalah perbedaan,"
tandas dia (MMC)
© 2003 Maluku Media Centre, All Rights Reserved
|