PDS, 01/12/03
Kerusuhan Poso Penuh Muatan Kepentingan
JAKARTA PDS (01/12/03) – Kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso Provinsi
Sulawesi Tengah sangat kental dengan muatan kepentingan dari berbagai pihak. Jadi
yang terjadi selama ini bukanlah konflik Suku Agama Ras Antar Golongan (Sara).
Agama hanya dijadikan korban oleh pihak-pihak yang punya kepentingan politik
ekonomi di Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali.
Hal ini dikatakan pengamat masalah-masalah sosial, DR. George Yunus Aijtodro
dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
Partai Damai Sejahtera (PDS), Sabtu (29/11), yang menyikapi masalah kerusuhan
Poso yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan serta mengungkap kasus
meninggalnya Drs Oraye Tadjodja yang merupakan Ketua Dewan Pimpinan Cabang
(DPC) PDS Kabupaten Poso yang juga sebagai Bendahara Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST). Selain George, tampil sebagai pembicara, Letnan Jenderal (Letjen)
Ignatius Suprapto dan dipandu oleh ML Denny Tewu sebagai Moderator.
George yang terkenal memiliki pemikiran dan pernyataan yang kontraversional
mengatakan, kerusuhan Poso dilakukan oleh sekelompok perusuh terlatih dan
bersenjata. Hal inilah yang menimbulkan banyak pertanyaan soal siapa dibalik semua
kejadian ini. "Siapa yang melatih mereka ? yang pasti seorang profesional atau
lembaga profesional. Saya berkesimpulan, kerusuhan di poso bersumber pada
persaingan kepentingan sumber daya alam seperti sumber migas dan marmer kelas
dunia di kabupaten Morowali dan Poso," ujar George
Konflik ini pula, menurut George, diperparah oleh adanya rekayasa intelijen yang
sangat berkepentingan dalam berbagai keuntungan ekonomi politik yang bisa
didapatkan dari daerah konflik tersebut.
Ia menegaskan, kerusuhan yang terjadi di Poso selama ini bukanlah konfilk agama.
Sebagai contoh tambahannya, kematian Drs Oranye Tadjodja yang terkenal dengan
tokoh yang jujur dan bersih dikalangan GKST, mungkin terkait dengan kebijakannya
selaku bendahara GKST dalam mengatur alur keuangan dan menganggarkan dana
advokasi untuk Sekjen GKST, Pdt Reinaldy Damanik yang saat ini sedang menjadi
tahanan di Palu.
"Saya menduga ada "Yudas" yang berperan dalam kasus tersebut. Dan inilah
kenyataan yang terjadi di Poso saat ini, bahkan dampak lain dari kerusuhan ini
munculnya "industri pengungsi" yang mengeruk keuntungan dari dana bantuan yang
harusnya diterima pengungsi," ujar Dewan Penasehat Central for Democracy and
Social Justice Study.
George menambahkan, selama orde baru, komunitas etnis asli tanah Poso
mengalami pemiskinan dan marjinalisasi secara beruntun, karena berbagai faktor.
Pertama, lunturnya ketaatan pada hak ulayat mereka, menyebabkan banyak tanah
komunitas-komunitas asli setempat bergeser kepemilikannya ketangan para
pendatang.
Kedua, perubahan orientasi dari petani ke pegawai-pegawai negeri maupun pegawai
Gereja, mendorong para orang tua penduduk asli menjual tanah-tanah mereka demi
membiayai pendidikan anak-anak mereka, serta setelah anak-anak mereka lulus S1,
uang tersebut digunakan untuk menyogok para petugas penerimaan pegawai negeri
sipil (PNS), dimana tarif pengurusan untuk menjadi pegawai negeri, berkisar antara 10
sampai 25 juta rupiah.
Ketiga, pembangunan ruas jalan trans-sulawesi dari palopo ke palu, lewat Tentena
dan Poso. Hal itu memperderas arus migrasi dari sulawesi selatan ke tanah poso
yang berdampak pula dalam mempercepat pengalihan tanah penduduk asli ke para
pendatang.
Sementara itu, Ignatius Soeprapto menjelaskan, penaganan kasus-kasus seperti
yang terjadi di Poso adalah tugas dari Kepolisian dan menjadi tanggung-jawab
sepenuhnya oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri). "Ini konflik internal yang
harus ditangani serius oleh Depdagri, jangan hanya mengurus masalah pemekaran
daerah saja," umgkap Suprpto. (SHS)
|