SINAR HARAPAN, Sabtu, 06 Desember 2003
Konser Natal Pdt Dr Stephen Tong
Ingin Mengembalikan Pengertian Musik Gereja yang Bermutu
Jakarta, Sinar Harapan
Pada bulan Desember ini, di Jakarta, banyak pagelaran musik bertema Natal
diselenggarakan oleh berbagai gereja dan kelompok masyarakat. Salah satu gereja
yang rutin setiap tahun menyelenggarakan konser musik klasik Natal adalah Jakarta
Oratorio Society, yang dipelopori oleh Pendeta Dr Stephen Tong, pendiri Gerakan
Reformed dan Jakarta Oratorio Society (JOS). Pendeta yang multi bakat ini
menggelar berbagai event tersebut dengan visi dan tujuan yang jelas, bukan sekadar
membuat keramaian.
Pada Desember 2003 ini dia akan menjadi konduktor dua konser besar, yakni
Christmas Concert ’03 St. Paul, dengan menyajikan oratorio karya Mendelssohn
pada 12 Desember di Gedung Gapembri, di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan
Konser Akbar Natal ’03 yang melibatkan paduan suara 1.000 orang di Balai Sidang
Jakarta pada 21 Desember.
Dalam percakapan di kantornya, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat
(5/12), Stephen Tong, menjelaskan dia aktif melakukan pagelaran-pagelaran seperti
ini karena ada kerinduan dan keterpanggilan untuk mengembalikan pengertian musik
gereja yang bermutu. Antara lain dengan menampilkan lagu-lagu gerejawi karya Bach,
Mozart, Hendel, Hayden, Mendelssohn dll.
"Saya terbeban untuk mengembalikan musik gereja ke akar tradisinya, karena musik
gereja sebenarnya merupakan bentuk pujian yang terbaik untuk memuliakan nama
Tuhan. Gereja sebenarnya harus memelihara tradisi musiknya, karena tanpa sejarah
dan tradisi musik gereja yang ketat, maka nilai-nilai itu akan luntur," katanya.
Dia mengingatkan sebenarnya pada abad pertengahan sudah ada patokan musik apa
yang bisa dipakai untuk gereja dan apa yang tidak. "Kalau tidak demikian maka akan
banyak sekali musik-musik yang tidak bermutu untuk memuji Tuhan. Gereja
sekarang banyak yang tidak lagi mempunyai standar lagu-lagu bermutu," katanya.
Yang dimaksudkannya adalah banyak orang yang memakai lagu-lagu dengan irama
pop lalu begitu saja dijadikan lagu gereja, atau mengklaim sebagai lagu gereja tanpa
pernah mengerti mengenai doktrin musik gereja. "Sehingga yang terjadi akhirnya
adalah suatu pelayanan musik yang bersifat market oriented, asal laku, asal orang
senang," ujar pendeta, yang dalam berbagai kebaktian kebangunan rohani yang
dipimpinnya selalu dihadiri ribuan orang.
Dia membuktikan musik klasik gereja juga sulit dicerna dengan mencontohkan
(sambil menyiulkan lagu Natal Joy to the World, ciptaan Handel). "Di situ jelas ada
filsafat yang mencirikan bahwa Tuhan turun ke bumi dari nada tertinggi turun ke nada
terendah hanya dalam satu oktaf. Oktaf tertinggi mewakili surga, surga turun ke bumi,
bumi naik ke surga. Jelas lagu itu diciptakan untuk mencerminkan kebenaran dalam
inkarnasi Kristus," jelasnya.
Karena itulah dia menyayangkan kalau lagu-lagu Kristen saat ini cenderung
berorientasi pasar, untuk lebih cepat dan mudah menarik orang. "Asal bisa menyanyi,
bisa sedikit goyang, membuat orang bergerak senang itu namanya musik. Itu sangat
berbeda dengan konsep musik gereja. Maka perlu revolusi untuk mengembalikan
keagungan musik gereja, dan perlu kekuatan. Namun saya sangat percaya itu bisa
kita lakukan," ujarnya penuh keyakinan iman.
Oratorio St Paul
Pada pementasan 12 Desember mendatang yang ditampilkan adalah Oratorio St Paul
karya Mendelssohn. Karya ini pertama kali dipentaskan di Dusserldorf pada 23 Mei
1836 oleh Mendelssohn ketika dia berusia 27 tahun. Ini mungkin pertama kalinya
karya ini dipentaskan di Jakarta.
Karya Mendelssohn yang satu ini memang menimbulkan perdebatan estetik di
kalangan para ahli musik karena dia menghidupkan karya-karya besar dari para
komponis pendahulunya dengan menciptakan karya-karya klasik kontemporer pada
masanya.
Bahkan komponis Richard Wagner, salah seorang penentang gigih gaya musik
Mendelssohn, dengan tulus memuji karya ini dan penciptanya setelah menyaksikan
pementasan St Paul di Dresden, dan oleh komponis Robert Schumann karya ini
disebut sebagai permata pada zaman ini.
"Kami mempersiapkannya selama setahun," ujar Stephen Tong, yang menampilkan
karya ini bersama Jakarta Oratorio Society. Sebagai concert master adalah Grace
Schreiber, dan para soloist adalah Renata Liem, Billy Kristanto dan Ndaru Darsono.
Juga akan terlibat adalah Eliata Singers dan Capale Amadeus Orchestra.
Kenapa dia mementaskan oratorium, itu karena tidak banyak komponis dunia yang
membuat karya oratorium. Dan dia ingin menampilkannya itu musiknya sangat indah
dan bermutu dan tidak akan pernah layu.
Menggaet Awam
Mengenai Konser Akbar Natal’ 03, Stephen Tong mengatakan pagelaran paduan
suara akbar sudah diselenggarakan setiap tahun sejak didirikannya Jakarta Chorus
Society pada tahun 1986. Juga dengan tujuan mengembalikan pengertian pada musik
gerejani yang bermutu, terutama karya-karya klasik dari Bach, Mozart, Handel,
Haydn dan lain-lain.
Konser Akbar Natal 2003, yang melibatkan lebih 1.000 penyanyi, bermula dari
Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) pada September lalu di Stadion Utama yang
menggelar paduan suara 1.000 orang. Ketika itu pihaknya mengajak anggota gereja
mana saja yang mau ikut berlatih. Sehingga anggota-anggota paduan suara itu
berasal dari jemaat puluhan gereja.
Dia menilai ini adalah kesempatan bagi orang Kristen dari gereja mana saja untuk
bisa belajar lagu-lagu yang agung, seperti sekolah musik umum tanpa harus
membayar uang sekolah sambil melayani dan memuji Tuhan.
"Ternyata setelah mereka ikut latihan, merasa senang dan ingin meneruskannya, jadi
lagu-lagu yang ditampilkan sebagian adalah dari yang digelar beberapa waktu lalu itu.
Itulah, dari latihan-latihan musik gereja seperti ini, nanti ada kelompok yang terdiri dari
awam yang suka musik bermutu, di samping awam yang suka musik tidak bermutu,"
katanya.
Dia membantah musik gereja sulit dicerna. Dia menunjukkan lagu yang bermutu baik
tapi gampang diterima seperti Silent Night "Itu sangat gampang diterima, dan saya
percaya 500 tahun lagi lagu itu akan tetap eksis dan sulit disaingi komponis yang
mampu mencipta lagu lebih mudah dari padanya," ucapnya.
Ikan Melawan Arus
Ditanya mengenai musik di Indonesia, dia mengatakan dirinya juga menciptakan
musik untuk gereja. "Jadi bukan didominasi orang Barat," ujar pendeta yang telah
mengerti dan belajar musik selama berpuluh-puluh tahun. "Selain mengajar teologi,
melakukan penggembalaan, saya mengembangkan musik. Jadi musik itu saya
masukkan teologi bukan dalam syairnya. Musik yang bermutu ada di dalam lagunya,"
ujarnya. Karena kerinduannya akan musik gereja yang bermutu dia juga mendirikan
sekolah musik.
"Kalau saya menggelar konser, saya berusaha melawan arus, melawan arus bukan
berarti sekadar melawan. Karena ikan yang hidup adalah yang berenang melawan
arus, sedangkan ikan yang mengikut arus adalah ikan mati," ujarnya.
Untuk berbagai konser musik gereja inilah, Stephen Tong ikut merancang tata akustik
sejumlah gedung pertemuan dan gereja di Jakarta. Meski demikian, dia tidak
sembarangan memilih tempat untuk menggelar pertunjukan. Misalnya saja, meski
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) diakui punya tata akustik terbaik di Jakarta, dia tidak
pernah menggunakan gedung itu karena kapasitasnya terbatas.
"Akhirnya saya juga terlibat dalam mendesain gedung-gedung dan memperbaiki
akustiknya, karena desain akustik yang baik itu untuk Tuhan," katanya. Faktanya,
Gedung Gapembri di Kelapa Gading yang dipakai untuk konser di Jakarta adalah
karya desain yang dibuatnya.
Jadi, kalau dia mengadakan dua konser musik klasik Natal itu karena ingin
memperkenalkan arus utama musik gereja yang terbaik untuk Tuhan. Dia telah
membuktikan selama 14 tahun memimpin Gereja Reformed Indonesia selalu mutu
yang diutamakan, dan ternyata tidak terjadi penurunan minat jemaat terhadap musik
gereja yang bermutu. Pada kesempatan inilah Pendeta Stephen Tong mengundang
kita untuk bersama-sama menyaksikan pagelaran Natal ini. (nic/xha)
Copyright © Sinar Harapan 2002
|