The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SINAR HARAPAN


SINAR HARAPAN, Senin, 08 Desember 2003

Sudah Tidak Ada Konflik Antaragama Di Poso

Di bawah ini wawancara Sinar Harapan beberapa waktu yang lalu dengan DR. George Junus Aditjondro yang mengadakan penelitian tentang konflik di Poso

Bagaimana struktur ekonomi politik masyarakat Poso?

Selama Orde Baru, komunitas pribumi tanah Poso mengalami proses pemiskinan dan marjinalisasi secara beruntun, karena berbagai faktor. Pertama karena lunturnya ketaatan pada hak ulayat mereka, menyebabkan tanah komunitas pribumi bergeser kepemilikannya ke tangan pendatang.

Kedua, perubahan orientasi dari tani ke pegawai negeri maupun pegawai gereja, mendorong penjualan tanah demi membiayai pendidikan, setelah lulus, dibutuhkan dana untuk menyogok untuk menjadi pegawai negeri antara 10-25 juta rupiah.

Ketiga adalah pembangunan ruas jalan dari Palopo ke Palu, lewat Tentena dan Poso yang memperderas arus migrasi dari Sulawesi Selatan ke Poso, yang mempercepat pengalihan tanah dari penduduk setempat ke pendatang dari Sulawesi Selatan.

Pelepasan tanah juga dipacu oleh pejabat-pejabat teras Poso, baik muslim maupun nasrani. Secara garis besar, masyarakat Poso dibagi dalam empat kelompok sosial ekonomi, kelas bawah; kelas menengah lama, kelas menengah baru, kelas atas lama. Kelas bawah adalah keturunan migran dari Gorontalo yang berdiam di Lawanga, Kayama dan Bonesompe yang pada masa Orde Baru dicap PKI sehingga hanya bisa menjadi nelayan. Jalan trans Sulawesi pelabuhan Poso praktis mati.

Kelas menengah lama adalah orang pamona dan mori yang kebanyakan jadi pegawai negeri dan berkebun cengkeh, tinggal di desa yang beragama Kristen dan daerah campuran. Di dalamnya adalah pejabat Kristen yang menyalahgunakan jabatan. Termasuk di dalamnya adalah orang Minahasa keturunan penginjil dan pegawai pemerintah Belanda yang berbaur dengan penduduk asli tanah Poso yang beragama Kristen.

Mereka adalah mayoritas penduduk kelurahan Kasintuwu di kota Poso, yang hancur total akibat kerusuhan lalu. Mereka juga 30% penduduk kelurahan Sayo yang permukimannya bernasib sama.

Bagaimana awal lahirnya kerusuhan Poso ?

Salah seorang tokoh Poso asal Minahasa yang menjadi korban pembunuhan dalam gelombang awal kerusuhan adalah Gerard Polii, Anggota DPRD Kabupaten Poso dari F-PDIP yang vokal mengecam korupsi dana KUT serbaguna Poso oleh tokoh-tokoh masyarakat yang mengatasnamakan penduduk dari kampung asal Gorontalo.

Pembunuhannya seperti sinyal agar tidak ada yang mengusut penyelewengan dana KUT oleh kelompok-kelompok tani gadungan tersebut. Salah seorang tokoh kelas menengah yang terkenal di masa lalu adalah Herman Parimo, yang pernah menjadi komandan Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) yang melawan dominasi DI/TII, Permesta maupun pasukan Brawijaya di Tanah Poso ditahun 1950-an. Ia meninggal di StellaMaris, Makasar April 2000 setelah divonis 14 tahun penjara dengan tuduhan mencetus kerusuhan pertama.

Kelas atas lama dulunya diduduki oleh para pedagang Tionghoa dan Arab kelahiran Poso, yang saling berlomba melayani korupsi pejabat. Mereka ikut mendongkrak kemunculan segelintir pengusaha pribumi Poso serta pengusaha kapitalis birokrat lewat apa yang disebut sebagai perusahaan "Labur Langit' oleh orang Poso.

Artinya pemilik sebenarnya adalah sang pejabat atau pemodal orang Tionghoa atau Arab, sementara direkturnya adalah orang pribumi yang ditampilkan ke depan. Tiga bulan sebelum meletusnya gelombang kerusuhan di kota Poso, akhir Desember 1998, ketegangan laten antara kelas atas lama dan kelas menengah lama mulai muncul.

Pengadilan di Poso saat itu sedang mengadili perkara tabrak lari antara anak Herman Parimo dengan pengelola apotik Phonix milik Zecha Umar, seorang anak Tuan Umar almarhum, pengusaha keturunan Arab terkemuka di Poso.

Dalam kasus itu, Parimo junior meninggal ketika dalam keadaan mabuk Dia mengendari sepeda motor dan ditabrak oleh sarjana apotik yang akhirnya didakwa atas kematian itu. Sidang mengalami politisasi dikedua belah pihak yang bertikai.

Keluarga Parimo didukung dengan pemuda dari kelurahan Sayo yang berbaju hitam-hitam datang dengan bis kepengadilan Poso dengan perilaku demonstrative. Keluarga Umar dan simpatisan dari kalangan muslim dari pasar Poso datang perorangan tanpa seragam dan duduk menyebar secara tenang diruang sidang.

Keluarga Parimo memprotes hukuman karena terlalu ringan dan meminta ganti rugi puluhan juta rupiah, karena anak Parimo sedang dalam perjalanan untuk membeli sebuah mesin giling padi untuk bisnis baru. Meraka ingin mengkomersilkan kematian tersebut. Jaksa menolak dan kemudian muncul politisasi dikedua belah pihak yang mengakibatkan politisasi antar kedua agama di kota Poso.

Apakah perubahan kekuasaan ekonomi ikut mempengaruhi ?

Hilangnya Parimo dari pentas ekonomi Kota Poso disusul oleh pengusaha asli Pamona, Lore dan Mori serta yang hijrah ke Palu dan pedalaman Tanah Poso sejak gelombang kerusuhan pertama akhir Desember 1998, diikuti pengusaha Tionghoa. Kelas menengah baru di kota Poso yang umumnya pedagang dari Bugis dan Makasar semakin meningkat.

Korupsi yang sudah membudaya dalam pemerintahan daerah Kabupaten Poso dari masa Orde Baru dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Bupati Arif Patangan (1989-99). Ini disebabkan besarnya dana yang mengalir dari Jakarta dan mancanegara, konon sebagai bantuan pengungsi. Patangan semakin menerapkan nepotisme dalam birokrasi pemerintahannya dengan mengangkat keluarga dan orang dekat masuk dalam struktur pemerintahannya.

Apa benar aparat terlibat?

Secara hukum temuan bukti lapangan seperti peluru milik TNI, saksi mata yang melihat para perusuh menggunakan senjata organik dan aba-aba komando menggunakan tembakan pistol dari komandan lapangan perusuh. Masyarakat tidak mungkin terkecoh dengan hanya bantahan di pers, tapi butuh bukti hukum secara pasti.

Selama kerusuhan di Poso, penembak misterius selalu menghilang di pos-pos keamanan dan tidak tertangkap. Untuk itu pihak pemerintah dan kepolisian juga harus memeriksa semua kasus penembakan misterius dan pengeboman selama tahun 2003. Karena peristiwa semacam itu masih terus berulang, secara bergilir berada dalam satu pola mendeskreditkan pihak Islam kemudian pihak Nasrani secara bergantian. Ini menunjukkan masalah keamanan tidak pernah diselesaikan secara tuntas di Poso.

Menurut sumber di kepolisian, peristiwa Poso yang terakhir ini ada kaitannya dengan status Poso tahun depan yang tidak lagi di jaga TNI tapi cukup polisi saja. Kerusuhan ini seolah-olah ingin menunjukkan bahwa polisi tidak mampu menjaga stabilitas keamanan dan hanya TNI yang sanggup.

Ini jelas bersangkutan dengan anggaran keamanan dan bisnis militer di Poso seputar kayu hitam dan proteksi terhadap dua investor besar yang akan beroperasi di Poso dan Morowali.

Juga menentukan nasib 50 pos keamanan dari utara sampai selatan yang selama ini memberikan masukan dari pungutan kendaraan umum dan pribadi yang lewat.

Apa bentuk konflik yang muncul sekarang ?

Setelah Malino tidak ada konflik agama di Poso, tapi konflik antara rakyat dan perusuh. Poso pesisir dijadikan sasaran pengeboman karena selama ini rekonsiliasi antaragama di tempat ini merupakan yang tertinggi. Umat antaragama yang pernah hidup sebagai pengungsi sekarang dapat hidup berdampingan dengan damai di Poso pesisir.

Ini terlihat bahwa sasarannya adalah untuk memecah kembali rakyat dengan isu SARA. Tapi orang Poso tidak terusik walaupun di beberapa sudut kota terlihat "laskar jihad" bersenjata otomatis.

Tujuannya adalah untuk memberikan kesan bahwa umat agama tertentulah yang menjadi perusuh. Peristiwa ini juga berhubungan dengan bisnis pengungsi.

Di Poso dikenal istilah pengungsi makan Indomie sedangkan pejabat makan (mobil) kijang. Sudah rahasia umum, bagaimana bantuan pengungsi banyak diselewengkan pejawab setempat. (*)

Copyright © Sinar Harapan 2002
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/latoehalat
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044