SINAR HARAPAN, Rabu, 19 November 2003
Michael Vatikiotis, Penulis Novel "The Spice Garden"
Konflik Keagamaan Melempar Kita ke Abad Pertengahan
JAKARTA – Bagi Michael Vatikiotis, The Spice Garden merupakan novel fiksi
pertama yang ditulisnya setelah berkecimpung selama 16 tahun sebagai wartawan
dan penulis yang memfokuskan diri pada isu-isu sosial dan politik di Asia.
Namun, The Spice Garden bukan sepenuhnya fiktif. Dalam novel setebal 256 halaman
tersebut, Vatikiotis mengajak pembaca menelusuri tingkah laku dan perasaan yang
mendalam dari suatu masyarakat yang terjebak dalam suatu konflik religius di suatu
pulau kecil bernama Noli, yang dikisahkan terletak di Provinsi Maluku.
Di pulau yang terpencil dan kaya akan rempah-tempah tersebut masyarakat Kristen
dan Muslim yang sejak lama hidup berdampingan dengan damai jatuh ke dalam
suasana kebencian dan saling membunuh.
Tradisi bertoleransi satu sama lain menjadi pudar. Sentimen-sentimen keagamaan
digunakan menjadi tempat bersembunyi dan senjata. Desakan untuk balas dendam
menjadi suatu kewajiban. Sikap menolak kelompok yang lain menjadi kebiasaan.
Perhatian akhirnya tertuju kepada dua tokoh terpandang di pulau tersebut, yaitu
seorang Romo bernama Xavier Lunas, dan seorang pengusaha Muslim bernama
Abdulghani Hadrami. Dua tokoh yang berlainan latar belakang dan agama tersebut
memiliki misi yang sama, yaitu bagaimana mengeluarkan lingkungan mereka dari
lingkaran kekerasan sambil tetap mempertahankan keyakinan yang mereka anut.
Misi yang tidak mudah, karena di hadapan mereka terdapat dua kelompok ekstrim
Muslim dan Kristen yang saling bermusuhan. Selain itu upaya luhur Romo Xavier dan
Abdulghani juga dihalangi ambisi dari seorang kolonel yang korup dan sadis.
Novel berbahasa Inggris yang diterbitkan Equinox Publishing tersebut diilhami oleh
kisah nyata atas kekerasan yang telah merenggut ribuan nyawa di Maluku sejak
tahun 1999.
Bukan Dokumenter
Vatikiotis tidak ingin membuat novel tersebut sebagai tulisan dokumenter. "Novel ini
hanyalah kisah fiksi," kata dia. "Seperti melukis gambar abstrak di atas kanvas. Bagi
saya yang lebih penting adalah keinginan untuk memahami dinamika konflik relijius,
baik di Indonesia maupun di tempat-tempat lain di dunia.
Editor Majalah Mingguan Far Eastern Economic Review tersebut ingin membawa
pembaca untuk menyelami dampak dari konflik religius yang memecah-belah suatu
masyarakat sekaligus mengungkapkan kelemahan insitusi-institusi yang selama ini
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moralitas. "Sepertinya kisah tersebut
membawa kita kembali kepada abad pertengahan di saat moralitas dan kebudayaan
dicemari oleh sentimen-sentimen spiritual. Di saat itu banyak pemimpin yang merasa
memiliki tugas mulia untuk mengalahkan dan membunuh para kafir," kata Vatikiotis.
Dalam percakapan singkat dengan SH di Jakarta Minggu lalu (16/11), penulis
sejumlah buku di antaranya Indonesian Politics Under Soeharto (1993) dan Debatable
Land (2001) tersebut mengungkapkan alasannya menulis The Spice Garden dan
merefleksikan kisah tersebut dalam gejolak politik yang berlangsung di Indonesia.
Mengapa Anda mengambil tema konflik di Maluku dalam novel Anda?
Menurut saya, konflik di Maluku tidak mendapat perhatian yang besar di kalangan
internasional. Sebanyak dua atau tiga ribu orang tewas dan puluhan ribu lainnya
kehilangan tempat tinggal, namun tidak mendapat banyak perhatian. Termasuk di
Indonesia, meskipun banyak mendapat liputan namun akses liputan di lapangan tidak
banyak.
Selain itu saya sengaja mengisahkan konflik tersebut dalam suatu pulau. Latar
tersebut memungkinkan saya untuk menggambarkan suatu konflik yang dipicu dari
pihak luar.
Anda menciptakan Pulau Noli sebagai latar kisah tersebut. Apakah Anda merujuk
Noli kepada salah satu pulau di Maluku?
Ada banyak realita dalam kisah tersebut, namun saya ingin menciptakan pulau
sendiri sebagai latar karena saya tidak ingin membuat kisah itu menjadi tulisan
dokumenter mengenai apa yang sebenarnya berlangsung. Saya tidak bermaksud
membawa pembaca menjadi bertanya-tanya atas kenyataan pulau tersebut.
Saya mengisahkan pulau fiktif yang kaya akan rempah-rempah tersebut hanya
sebagai pelengkap untuk membawa pembaca lebih fokus kepada inti cerita
ketimbang latarnya. Bagi saya hal yang lebih penting dalam kisah ini adalah
menyelami dinamika konflik religius yang membawa dampak besar bagi sektor-sektor
kehidupan lainnya.
Sampai berapa jauh konflik di Maluku, seperti yang Anda kisahkan tersebut dapat
membawa dampak yang berpengaruh bagi stabilitas di Indonesia?
Well, seperti kita tahu konflik di Maluku saat ini telah teratasi, sudah ada
kesepakatan damai meski masih ditemukan beberapa masalah yang merupakan
sisa-sisa peninggalan konflik yang lalu. Namun secara umum dua komunitas di sana
telah berekonsiliasi. Namun saya mencatat ada beberapa pelajaran yang dapat
dipetik dari konflik di Maluku.
Pertama, konflik tersebut muncul dari pengaruh-pengaruh asing yang menciptakan
instabilitas di suatu masyarakat dari berbagai latar belakang dan agama yang telah
ratusan tahun hidup berdampingan.
Selain itu kita juga melihat egoisme dari elite di Jakarta yang memanfaatkan dan
mengekspolitasi suasana tersebut untuk kepentingan mereka sendiri, yang juga saya
angkat dalam novel ini.
Menurut Anda apakah konflik tersebut disebabkan pihak luar ketimbang gesekan
secara kebetulan di dalam masyarakat itu sendiri?
Memang ada sejumlah kondisi tertentu di Maluku yang menyulut konflik seperti
kompetisi ekonomi, imigrasi, dan ketegangan. Namun seperti yang kita tahu,
sebagian besar dipengaruhi oleh kelompok luar dan juga penanganan militer atas
konflik tersebut mencerminkan kepentingan politik dari pusat yang lebih besar
daripada menangani konflik dengan cara seperlunya.
Jadi dalam novel tersebut Anda juga mengisahkan peran militer dalam memecahkan
konflik?
Ya, di bagian akhir buku tersebut (mulai halaman 171) saat militer datang untuk
menangani konflik yang berlangsung di Noli.
(Saat ditanya apakah pihak militer di kisah tersebut membuat konflik menjadi reda
atau justru membuatnya makin buruk, Vatikiotis dengan tangkas menjawab,
"Membuatnya lebih buruk ketimbang lebih baik ha..ha..ha..)
Apakah kisah dalam novel tersebut juga merefleksikan konflik-konflik horisontal
lainnya di Indonesia?
Saya pikir demikian. Bila kita gabung, konflik-konflik yang terjadi pada era pasca
rezim Soeharto tersebut menewaskan lebih dari sepuluh ribu jiwa. Belum lagi jumlah
korban yang luka-luka maupun mereka yang kehilangan tempat tinggal.
Saya pikir-pikir konflik-konflik berbau relijius tersebut mencerminkan dua hal, yaitu
keegoisan para elit politik di Jakarta yang lebih mementingkan kepentingan pribadi
atau kelompok dan kegagalan militer dalam menjalankan salah satu fungsinya, yaitu
melindungi stabilitas dan integritas republik.
Selain itu yang patut dirisaukan adalah perbedaan keyakinan dan agama yang
digunakan untuk menyulut konflik dimana hal tersebut tidak terjadi pada dua atau tiga
dasawarsa yang lalu saat dunia masih disibukkan konflik ideologi antara liberalisme
dan komunisme, yang runtuh pada dekade 1990-an.
Sejauh mana isu religius mendapat perhatian yang besar bagi para elite politik di
Indonesia, terutama menjelang pemilihan umum?
Saya pikir dalam pemilihan umum yang akan datang, akan banyak isu-isu relijius
yang akan diangkat. Saya pikir hal tersebut akan merubah cara berpikir masyarakat
mengenai peran Islam dalam politik yang selalu mengemuka di Indonesia dalam
sepuluh tahun terakhir. Tentu agak merisaukan bila hal tersebut dimanfaatkan dan
dieksploitasi sebagian pihak menjadi isu yang emosional. Namun tampaknya hal
tersebut belum mendapat tempat yang populer di tingkat mainstream umat Muslim
Indonesia. (SH/renee a. kawilarang)
Copyright © Sinar Harapan 2002
|