SINAR HARAPAN, Rabu, 19 November 2003
Kejahatan Serius di Aceh, Hukum Internasional, dan Hukum
Domestik
Oleh Ihsan Basir
Pemerintah akhirnya memperpanjang lagi penerapan darurat militer di Aceh, suatu
langkah yang sudah diduga oleh beberapa pengamat politik dan militer. Banyak
kalangan dari aktivis HAM mulai bersuara, setidaknya mempertanyakan tentang
pelanggaran-pelanggaran serius yang terjadi selama penerapan darurat militer dalam
konflik internal di Aceh.
Tak dapat dipungkiri, telah banyak korban kemanusiaan yang terjadi selama
penerapan darurat militer di Serambi Mekah itu. Abdul Manan1, misalnya, harus
kehilangan anaknya dalam tragedi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok tak
dikenal. Dalam benak Abdul Manan, kejahatan yang dilakukan pada anaknya adalah
suatu pelanggaran serius (grave breaches) terhadap kemanusiaan. Sama seriusnya,
misalnya, dengan pembunuhan balita Irak oleh anggota marinir Amerika Serikat. Yang
menjadi pertanyaan: samakah kedua hal tersebut di mata hukum internasional?
Lantas, bagaimana hukum domestik kita merespons kejahatan serius terhadap
kemanusiaan ini?
Pelanggaran serius
Dalam Konvensi Geneva (IV) tahun 1949, grave breaches dipakai untuk membedakan
antara kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata internasional --dalam
hubungannya dengan istilah "orang-orang yang dilindungi" (the protected persons)--
dengan kejahatan yang dilakukan dallam konflik internal atau domestik (Psl 4 Jo. Psl
147 Konvensi Geneva IV). Sementara yang dimaksud sebagai "the protected persons"
adalah "… mereka yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apa pun,
mendapatkan dirinya, dalam sebuah konflik atau pendudukan, berada pada
kekuasaan salah satu pihak dalam konflik, di mana nasionalitas mereka tidak sama
dengan pihak yang menguasainya".
Penggunaan terminologi "the protected person" di atas, memang mengarah pada
proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam konflik internal,
tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Geneva.
Maksudnya --meskipun pasal 3 serta Protokol tambahan No. 2 Konvensi Geneva
dengan jelas melindungi kaum sipil serta tawanan perang dalamm konflik internal--
tekstual legalnya mereka memang tak masuk dalam apa yang disebutkan sebagai
"the protected persons".
Dalam perkembangannya hal tersebut di atas ternyata tidak bersifat absolut.
Beberapa praktik hukum pidana internasional nyatanya memasukkan para korban
sipil dalam konflik internal sebagai "the protected persons". Pengadilan Kejahatan
Internasional untuk bekas Yugoslavia (The International Tribunal for Former
Yugoslavia), dalam beberapa keputusannya memutuskan bahwa muslim Bosnia
termasuk "orang orang yang dilindungi" dari kejahatan Serbia Bosnia dan begitu pula
sebaliknya (Karine Lescure, 1996). Hal ini mengindikasikan bahwa yang terpenting
dalam pengklasifikasian "orang-orang yang dilindungi" bukanlah legal nationality dari
seseorang, tetapi juga kenyataan bahwa ada kondisi yang secara de facto
memperlihatkan tidak adanya perlindungan diplomatik atau hukum terhadap
korban-korban tersebut.
"Kelemahan" Konvensi Geneva, tampaknya menjadi perhatian khusus para pelaku
hukum internasional. Usaha perluasan penafsiran atas konflik internal terus
meningkat. Konflik internal Yugoslavia serta Genoside di Rwanda barangkali dapat
disebutkan sebagai titik utama kriminalisasi atas kejahatan perang dalam konflik
internal. Ketentuan yang dikeluarkan oleh peradilan Rwanda, misalnya, dengan jelas
menegaskan mengenai otoritas jurisdiksinya terhadap pelanggaran atas pasal 3
Konvensi Geneva, serta protokol tambahannya (Protokol tambahan No. 2). Ini
merupakan kali pertama di mana pelanggaran atas kejahatan-kejahatan perang yang
dilakukan selama konflik internal, dikriminalisasikan dalam sebuah instrumen hukum
internasional.
Hal yang sama juga terjadi pada peradilan bekas Yugoslavia, di mana dalam
persidangan kasus Tadic, pengadilan secara jelas menegaskan bahwa kasus
tersebut merupakan sebuah pelanggaran yang diklasifikasikan sebagai kejahatan
perang. Seakan tak puas dengan pola-pola precedent dalam bentuk keputusan
peradilan, kriminalisasi kejahatan perang dalam sebuah konflik internal akhirnya
dikukuhkan dunia internasional dalam sebuah statuta yang kita kenal sebagai Statuta
Roma (Pasal 8(2)(c)). Untuk itu Statuta Roma boleh disebut sebagai upaya
penyempurnaan Konvensi Geneva.
Posisi hukum kita
Bergesernya komunitas internasional tampaknya sejalan dengan pemikiran bahwa
sebuah pelanggaran berat terhadap kemanusiaan, merupakan permasalahan dunia
secara global. Cherif Bassiouni, seorang kampiun hukum internasional, bahkan
mengatakan bahwa Grave Breaches "have to be considered as an obligatory universal
jurisdiction" (Cherif Bassiouni, 1992). Maksudnya, pelanggaran khusus ini membuat
tidak saja semua negara mempunyai hak untuk menuntut dan menghukum pelaku
kejahatan ini, tetapi sekaligus diwajibkan untuk menuntut dan menghukum
mereka-mereka yang telah melakukan kejahatan serius tadi. Lantas, bagaimana
posisi Indonesia dalam menanggapi trend internasionalisasi konflik internal ini?
Indonesia, pada dasarnya, meletakkan pelanggaran serius dalam konflik internal ini,
pada kebijaksanaan serta aturan yang terdapat dalam hukum domestik. Niat
Indonesia untuk "mengatur" sendiri permasalahan konflik bersenjata internal ini, dapat
dilihat dari tidak dimasukkannya "war crimes" dalam Undang-Undang No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Padahal UU ini --dilihat dari bentuk
tekstual legalnya-- dapat dikatakan sebagai bentuk "ratifikasi" dari Statuta Roma.
Bedanya UU domestik kkita ini hanya mengadopsi 2 dari 4 kejahatan internasional
yang diatur dalam Statuta Roma. Kedua kejahatan tersebut adalah Kejahatan
terhadap Kemanusiaan dan Genosida serta minus war crimes dan aggression.
Meskipun UU ini secara eksplisit menghormati kaidah hukum internasional dalam
pengklasifikasian tindak pidananya atas kemerdekaan atau kebebasan fisik
seseorang (Pasal 9 (e)), peniadaan klausul war crimes menjadi problem tersendiri
bagi UU ini. Terutama, dalam hubungannya dengan kejahatan serius yang mungkin
ditemukan dalam sebuah konflik internal bersenjata. Padahal "roh" internasionalisasi
kejahatan serius terhadap kemanusiaan dalam bentuk kriminalisasi konflik internal
bersenjata --melalui Statuta Roma-- hanya bisa diwujudkan dengan instrumen klausul
yang terdapat dalam provisi war crimesnya. Untuk itu, penerapan operasi militer di
Aceh yang sedikit banyak bersinggungan dengan korban-korban sipil ataupun
combatant yang telah menyerah, jelas tidak masuk dalam kategori pelanggaran
serius menurut undang-undang domestik kita.
Kekhawatiran aktivis pro HAM dalam negeri tentang tidak diadopsinya war crimes
dalam UU domestik kita--sebelum penerapan operasi militer di Aceh tempo hari--
tampaknya mulai terjawab kini. Mayoritas, untuk tidak mengatakan semuua,
kejahatan dalam konflik di Aceh pasca-operasi militer tidak dikatagorikan sebagai
pelanggaran berat terhadap kemanusiaan. Yang konsekuensinya "bebas" dari jerat
UU No. 26 tahun 2000.
Sebenarnya, berbicara dalam tataran semangat terhadap penanganan kejahatan
terhadap kemanusiaan, UU terhadap kejahatan kemanusiaan yang dimiliki republik ini
boleh dikatakan maju selangkah, minimal bila dibandingkan dengan beberapa negara
tetangga. Australia, misalnya, sampai saat ini masih belum memiliki special Bill of
Right. Bahkan Uni Eropa, sebagai negara yang dikenal cukup gigih dalam
memperjuangkan HAM, membutuhkan waktu 38 tahun sebelum akhirnya berhasil
membentuk pengadilan HAM secara kolektif pada tahun 19981. Bahkan, atas nama
penghormatan terhadap kemanusiaan, Undang-undang domestik kita secara tegas
mengabaikan asas Nullum Delictum dalam konsep penuntutan tindak pidananya.
Artinya, UU No. 26/2000 dapat dipakai dalam penuntutan kejahatan-kejahatan
terhadap kemanusiaan yang terjadi sebelum UU tersebut dikeluarkan.
Sayangnya, semangat pro HAM dalam UU No. 26/2000 kurang mewarisi spirit asal
penghormatan terhadap kaum sipil noncombatant, sebagaimana yang tercantum
dalam Statuta Roma. Untuk itu, pemberlakuan asas retroaktif atas UU No. 26/2000
tampak lebih pada euphoria politis akan hak asasi manusia daripada aplikasi
legalnya.
Akhirnya, beranjak dari trend global serta kondisi disefisiensi hukum domestik kita
terhadap kejahatan serius pada kemanusiaan --khususnya pada konflik bersenjata
internal-- ada baiknya keinginan mengamandemen instrumen hukum domestik dapat
menjadi euphhoria yang lain bagi para legislator di Senayan. Adapun mengenai trend
internasionalisasi serta kriminalisasi konflik internal bersenjata, sebenarnya dapat kita
sikapi dengan tetap menjaga kedaulatan negara. Untuk itu, pengusungan ide
meratifikasi Konvensi Geneva dan Statuta Roma disertai reservasi pada beberapa
ketentuannya, bisa menjadi salah satu alternatif untuk dilakukan.
* Penulis adalah (Mahasiswa Pasca-Sarjana Hukum International The University of
Melbourne), Pengamat Masalah Aceh, tinggal di Melbourne, Australia.
Copyright © Sinar Harapan 2002
|