SINAR HARAPAN, Selasa, 21 Oktober 2003
Operasi Harus Dilaksanakan Intelijen Sipil Kapolres Poso
Dimutasi
Jakarta, Sinar Harapan
Operasi intelijen yang akan digelar di Poso disambut baik oleh beberapa pihak.
Namun diingatkan, operasi intelijen itu harus dilaksanakan oleh intelijen sipil (civilian
inteligen), yakni Badan Intelijen Negara (BIN). Pasalnya, Poso bukan daerah dalam
situasi keamanan normal.
Demikian rangkuman pendapat dari pengamat militer Rizal Sukma, Robert Rombot
dari Yayasan Panorama Alam Lestari (YPAL) Tentena, Poso, serta anggota DPRD
Sulawesi Tengah, Haelani Umar. Sementara itu Hajalia dari Serikat Tani Nasional
(STN) Sulawesi Tengah, berpendapat operasi intelijen jangan hanya mengarah pada
sipil, karena sudah jelas aparat terlibat dengan menggunakan senjata organik dan
berseragam militer.
Seperti diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko
Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, pelaksanaan operasi intelijen
untuk mengejar kelompok pengacau yang sedang melakukan persiapan di hutan dan
gunung. Meski demikian, situasi Poso beberapa hari belakangan ini cenderung
membaik. Operasi tersebut akan ditinjau setelah enam bulan.
Rizal Sukma yang dihubungi SH, Senin (20/10) mengingatkan, kinerja intelijen harus
diarahkan untuk mengumpulkan informasi yang akan mengganggu proses perdamaian
di Poso. Ia mengatakan, operasi intelijen di Poso juga harus dibarengi dengan
pengumpulan data dari pusat sebagai langkah untuk menyelesaikan tragedi di Poso.
"Tujuan operasi intelijen di Poso harus spesifik. Operasi intelijen di daerah hanya
untuk mengumpulkan informasi yang mengganggu peace buliding. Sedangkan yang di
pusat pengumpulan data lebih pada program penyelesaian ke depan," ujarnya.
Dia tidak sependapat digunakannya intelijen militer untuk operasi intelijen di Poso.
Pasalnya, konflik Poso merupakan tanggung jawab polisi sebagai penanggung jawab
keamanan dalam negeri.
Sedangkan, militer bertugas untuk melakukan pertahanan. Menurutnya,
penembakan-penembakan gelap yang terjadi di Poso dikarenakan pemerintah tidak
pernah tuntas dalam menyelesaikan kasus Poso.
"Penyelesaian yang dilakukan cenderung parsial. Masalah tersebut dianggap selesai
ketika kekerasan berhenti," ujarnya. Padahal, pemerintah juga harus melakukan
penyelesaian secara komprehensif. Setelah konflik horizontal mereda, seharusnya
pemerintah melakukan rekonstruksi bangunan, menghapus trauma dan rekonsiliasi.
Dalam masalah Poso, pemerintah juga dianggap perlu untuk mendirikan
pemerintahan transisi.
Anggota DPRD Sulawesi Tengah, Haelani Umar, yang juga salah satu tokoh asal
Kabupaten Poso, mengatakan sangat mendukung kebijakan pemerintah pusat untuk
menjadikan Poso sebagai daerah operasi intelijen. Menurutnya, setelah Deklarasi
Malino, Poso berangsur-angsur aman tetapi kenyataannya masih menyimpan "bara
api" yang ditandai dengan penyerangan di Beteleme dan empat desa di Kabupaten
Poso.
Hal itu sangat mengagetkan sehingga operasi intelijen dan penambahan pasukan
harus dilakukan untuk menumpas kelompok-kelompok yang tidak menginginkan
Poso aman.
"Saya sangat setuju pembentukan batalyon baru TNI dan penambahan satuan Brimob
di Poso dipercepat dari jadwalnya. Meski harus membutuhkan biaya besar, tetapi hal
itu sangat mendesak dilakukan demi keamanan masyarakat Poso," kata Haelani
Umar.
Sertijab Kapolres Poso
Sementara itu, Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen M. Taufik Ridha, Selasa (21/10) pagi
memimpin upacara serah terima jabatan (sertijab) Kapolres Poso dari AKBP Budi
Astono kepada pejabat sementara Kasat Brimob Polda Sulawesi Tengah, AKBP Abdi
Dharma. Budi Astono ditarik ke Mabes Polri.
Menurut Kapolda, serah terima jabatan itu merupakan hal biasa dan tidak ada
kaitannya dengan penyerangan di Poso. Namun sebuah sumber di Poso mengatakan
Budi Astono dimutasikan karena penyerangan yang menewaskan delapan orang
warga Poso.
Sedangkan Direktur Reserse dan Kriminal Polda Sulawesi Tengah, Kombes Tatang
Sumantri yang memimpin pengejaran kelompok bersenjata di Beteleme Kabupaten
Morowali mengatakan, sampai sekarang sudah 13 orang yang tertangkap di Morowali
dan lima orang lainnya tewas ditembak. Polisi masih mengejar seorang lagi yaitu
Madong, otak perencana dan menyuplai senjata api dan amunisi untuk menyerang
Beteleme. Bila ia tertangkap akan semakin diketahui dari mana kelompok itu
mendapatkan senjata dan amunisi serta motif penyerangan tersebut.
Sementara itu, Robert Rombot dari Yayasan Panorama Alam Lestari (YPAL) Tentena,
Poso, mengemukakan operasi intelijen bisa dilakukan sepanjang untuk mencari para
pelaku teror di Poso. Sepanjang itu jelas, tidak seperti yang lalu pemerintah tidak
serius menangai kasus Poso, bisa dilakukan.
Sekarang baru Morowali yang terungkap sedangkan di Poso belum ada yang
dinyatakan sebagai tersangka. Ternyata didapat atribut aparat dalam pelaku
kerusuhan. Dengan terungkapnya kasus di Morowali kami berharap di Poso juga bisa
terungkap. Rombot menuturkan, di Poso sejak tahun 2000 beberapa aksi
penyerangan sudah menggunakan senjata organik. Sweeping dan penyerahan senjata
oleh masyarakat sudah dilakukan. Bahkan kalau hendak masuk pos dari arah selatan
atau dari barat, harus melewati pos pemeriksaan.
Tapi mengapa barang-barang itu masih beredar dan muncul lagi dalam kasus terakhir.
"Harapan kami, dalam kasus terakhir bisa mengungkap motif dan asal usul senjata di
kasus Poso. Militer pernah mengungkap di Poso pernah ada tempat pelatihan sipil
bersenjata. Tapi kenapa tidak ada tindak lanjutnya? Kenapa keseriusan setelah ada
kasus lagi?" Rombot bertanya.
Keterlibatan Aparat
Hajalia dari Serikat Tani Nasional (STN) Sulawesi Tengah, menegaskan operasi
intelijen sudah berlangsung bukan hanya di Poso. Operasi itu tidak perlu karena
sudah jelas-jelas aparat terlibat, karena menggunakan senjata organik dan
berseragam militer.
Ia juga menilai, sampai sekarang tidak jelas pernyataan Menko Polkam soal
kelompok lama apakah jihad Islam atau kelompok Kristen. Namun masyarakat tidak
akan terprovokasi lagi dalam persoalan SARA. Maka Hajala mengatakan bahwa
operasi intelijen bisa dilakukan tapi jangan mengarah pada sipil.
Sudah ada enam orang sipil yang ditangkap, yang katanya menggunakan pakaian
aparat keamanan. Namun masyarakat tahu ini ada keterlibatan militer, karena pada
waktu ada kerusuhan di Morowali, semua pos Koramil dan Polsek kosong.
(man/ina/web)
Copyright © Sinar Harapan 2002
|