Majalah TEMPONo. 35/XXXII/27 Oktober - 02 November 2003
Opini
Jamaah Islamiyah Membakar Poso?
TIDAK ada yang bisa mengatakan bahwa serangan bersenjata api dan pembakaran di
Kabupaten Morowali dan Poso, Sulawesi Tengah, cuma keributan setempat yang
berdampak terbatas. Rumah-rumah terbakar, penyerang bertopeng menembaki
dengan senjata otomatis, 13 orang tewas dalam dua serangan lewat tengah malam
pada pertengahan Oktober ini. Serangan itu terorganisasi, korbannya terteror, ngeri
ketakutan. Mungkin bukan cuma serangannya yang terorganisasi, tapi
pengorganisasiannya sengaja ditujukan untuk menghasilkan efek teror. Inilah yang
serius.
Bukan karena gemar membesar-besarkan persoalan, atau senang bisa mengatakan
akhirnya perdamaian pasca-Deklarasi Malino yang dicetuskan Desember 2001 itu
gagal. Bukan juga karena melihat terorisme sebagai satu-satunya judul bagi setiap
kerusuhan yang terjadi. Terlebih lagi bukan karena latah membuat analisis dari jauh,
tanpa tahu keadaan sebenarnya di tempat kejadian. Namun peristiwanya memang
tidak cukup sederhana, untuk begitu saja bisa percaya bahwa serangan itu hanya
perkara kriminal biasa yang berdiri sendiri.
Bisa dimengerti kalau ada tokoh daerah itu yang berpendapat sebaiknya peristiwa ini
tidak dikaitkan dengan ingatan tentang konflik lama yang terjadi di Poso. Maksudnya
mungkin agar perseteruan antara dua komunitas agama, Islam dan Kristen, tak
bangkit kembali. Pernyataan polisi bahwa latar belakang peristiwa ini adalah sisa
dendam dari luka lama yang belum tertutup sama sekali, dianggap tidak bijaksana.
Dikhawatirkan bahwa justru dengan mengatakan itu secara terbuka, konflik dan krisis
yang berkepanjangan akan dilahirkan lagi. Akibatnya, masing-masing pihak bisa
tersundut sentimennya untuk bersiap mempertahankan diri dengan saling
menghancurkan seperti dulu. Soalnya, apakah dengan menyangkal adanya masalah,
persoalan bisa lebih mudah dipecahkan. Umumnya, cara menyelesaikan masalah
ialah dengan menerima seperti adanya dan menghadapinya, bukan dengan mengelak
dan menutupinya.
Polisi telah bertindak, mengejar dan menangkap 13 tersangka. Enam di antaranya
tewas tertembak dalam operasi, berbagai senjata otomatis dari jenis standar militer
dirampas. Dari identitas yang tertangkap, sedikit banyak terbaca adanya asosiasi
dengan kelompok pasukan sipil bersenjata yang pernah bergerak di sana.
Nama-nama itu bisa dihubungkan antara lain dengan Laskar Mujahidin dan Jamaah
Islamiyah, misalnya. Polisi sendiri belum menyimpulkan atau mau mengumumkan
kelompok mana yang terlibat, karena pemeriksaan belum selesai. Yang terang,
menurut polisi, ada pihak tertentu yang menggerakkan, mengatur, dan membagikan
senjata kepada para tersangka sebelum penyerangan.
Jadi, ada pengorganisasian. Yang masih harus ditemukan dan diungkap ialah motif
teror itu. Polisi mengatakan bahwa senjata yang digunakan adalah selundupan dari
Filipina Selatan, sehingga spekulasi yang mencurigai keterlibatan anggota TNI
sebagai agen provokator bisa disingkirkan. Yang tidak terbantah ialah kenyataan
bahwa tersangka penyerang dan sasaran korban dalam peristiwa ini terbagi atas dua
kelompok agama di wilayah itu yang dulu balas-membalas menggunakan kekerasan.
Kenyataan bahwa yang digerakkan dan diberi senjata api adalah orang-orang yang
terlatih menggunakannya juga sudah berbicara sendiri.
Sebab itu polisi tidak keliru ketika menyatakan adanya hubungan peristiwa teror
sekarang dengan luka lama yang belum pulih benar. Mengatakan merah adalah erah,
hitam sebagai hitam, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses penegakan
hukum. Para tersangka serangan di Morowali dan Poso akan diproses berdasarkan
Undang-Undang tentang Antiterorisme. Pemeriksaan pengadilan nanti harus sanggup
membuka motif sebenarnya dari tindakan teror yang dilakukan. Yang terang, apabila
peradilan diselenggarakan dengan tegas, jujur, dan tidak memihak, akan jelas
pemisahan antara ajaran agama dan tindak pidana para pelaku teror. Yang akan
diadili adalah kesalahan perbuatan pelakunya, bukan agamanya, yang memang tidak
bisa dikatakan diwakili olehnya atau oleh organisasinya melalui pandangan yang
sesat.
Sebelum Deklarasi Malino, selama dua tahun telah jatuh korban tewas yang
diperkirakan 240 orang, sebuah jumlah yang bukan sedikit. Belum dihitung
kehancuran sendi-sendi kehidupan masyarakat dan ekonomi yang porak-poranda.
Luka dendam timbal balik tertoreh amat tajam dan mendalam, yang dipersulit dengan
solidaritas kaum seagama yang salah tempat. Seperti pernah disinyalir Kepala Badan
Intelijen Negara pada tahun 2001, di Poso terdapat kamp pelatihan bagi pasukan
yang terkait dengan Laskar Mujahidin dan Jamaah Islamiyah. Konflik antarkomunitas
agama di Poso, ditambah saling bantu yang tidak meredakan sengketa, mudah
meluas menjadi konflik antaragama yang lebih jelek ke seluruh negeri. Itulah bahaya
dari peristiwa yang seakan-akan cuma kerusuhan lokal tersebut.
Apa pun kemungkinan motif dan faktor pencetus peristiwa yang terakhir di Morowali
dan Poso—apakah direncanakan atau tidak, insiden lokal atau provokasi dari
luar—unsur yang selalu ada di tiap kemungkinan ialah pengorganisasian kekerasan,
pasukan yang terlatih, persenjataan, hubungan dengan jaringan yang dikenal
menggunakan metode teror, merumuskan musuh dari beda agama. Semuanya
tergolong ilegal, sehingga harus segera ditanggulangi secara tuntas. Sambil
memberantas potensi teror, tindak lanjut Deklarasi Malino hendaknya dikerjakan
dengan sungguh-sungguh untuk menumbuhkan kehidupan majemuk yang lebih amai.
Copyright @ tempointeraktif
|