Indopos, Minggu, 29 Jan 2006
Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat sering
memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat Tionghoa di
Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. Khususnya,
dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan
Republik Indonesia (SBKRI).
Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi yang
bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss Place,
Jakarta, kemarin.
Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi tersebut
menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi dalam
mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, tapi tanpa
kewarganegaraan," ungkapnya.
Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali
mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu
kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia.
"Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa
saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan
menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah
berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat
kewarganegaraan.
Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang.
"Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus
warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya
lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya.
Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan
hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain seperti
Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya.
Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak
ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu satu
peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional
kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan juknis."
Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai
SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa
yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan
kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR
tersebut.
Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari Beijing
Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan SBKRI
masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah realitas
bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa
mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena merembet dalam
banyak hal, terutama status hukum," jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap etnis
Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor eksternal. Artinya,
bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah,
simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. Yang mengondisikan adalah
faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor eksternal adalah faktor politis.
Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan sangat
sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. "Sulit. Sebab,
orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau salah dan nggak bicara juga salah,
mau mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu," tegasnya.
Di sisi lain, Eddy yakin diskriminasi itu lambat laun berkurang. Sebab, mulai terjadi
gerakan-gerakan generasi muda keturunan Tionghoa untuk melakukan dialog
multikultural. "Generasi sudah mulai mendobrak kebekuan yang ada," katanya.
Mereka mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta
Departemen Hukum dan HAM. Bukan hanya itu. Menurut Eddy, perlu dikembangkan
rekonsiliasi sosial yang mengedepankan keterbukaan serta kesepahaman. "Tidak ada
gunanya saling mencela dan kemudian kecenderungan eksklusivitas. Yang penting
kesepahaman antara elemen," tegasnya. (yog)
|