JAWA POS, Jumat, 14 Apr 2006
Dua WNI Selundupkan Rudal dari AS
HONOLULU - Wajah Indonesia lagi-lagi tercoreng di luar negeri. Dua pengusaha
Indonesia ditangkap pihak yang berwenang di AS karena berupaya menyelundupkan
ribuan senjata ke Indonesia lewat Bandara Internasional Honolulu, Hawaii.
Kedua pengusaha Indonesia itu ditangkap bersama dua orang lain pada Minggu (9/4)
lalu. Keempatnya dilaporkan berencana membeli ribuan senapan mesin maupun
senapan sniper dan pistol, rudal Sidewinder, serta perangkat radar penerbangan untuk
dikirim ke Indonesia.
Dua pengusaha Indonesia tersebut diidentifikasi sebagai Hadianto Djoko Djuliarso, 41;
dan Ignatius Ferdinandus Soeharli. Dua anggota "komplotan" yang lain adalah Ibrahim
Bin Amran, 46, warga Singapura; dan David Beecroft, warga Inggris. Saat ini, mereka
ditahan di Hawaii dan akan dipindah untuk diadili di Detroit.
Sebelumnya, para petugas dari Imigrasi dan Pabean AS (US Immigration and
Customs Enforcement) di Detroit menguntit mereka. Penyelidikan itu juga dibantu
para agen dari Dinas Investigasi Kriminal Pertahanan (Defense Criminal Investigation
Service) dari Ohio.
"Kami menganggap tindakan mereka sangat serius dan bisa mengancam keamanan
nasional (AS)," ungkap Jaksa Federal Stephen Murphy III kepada koran Detroit Free
Press. "Lembaga-lembaga itu telah bekerja keras untuk menangkap orang-orang yang
hendak dan mampu membeli senjata-senjata Amerika guna dikirimkan ke luar
negeri," lanjut jaksa asal Detroit itu.
Dari dokumen pengadilan (surat dakwaan) di Detroit dan Honolulu, keempat pria itu
ditangkap setelah berada di Hawaii dan bertemu dengan orang-orang yang dianggap
sebagai wakil sebuah perusahaan dari Detroit. Perusahaan terakhir ini diyakini akan
memasok perangkat keras militer bagi keempat orang itu. Selanjutnya, semua
senjata tersebut akan dikapalkan ke Indonesia melalui Singapura.
Tetapi, dokumen pengadilan tidak menyinggung apakah empat orang itu membeli
senjata untuk pemerintah Indonesia atau untuk operasi khusus (sting operation).
Sejauh ini, Indonesia masih kena larangan mengimpor senjata dari AS.
Senjata-senjata itu tidak boleh dibawa ke luar dari AS. "(Orang) bukan hanya dilarang
membawa senjata ke AS. Yang juga lebih penting adalah melindungi apa yang akan
dibawa keluar," tutur Brian Moskowitz, agen khusus yang bertanggung jawab
terhadap US Immigration and Customs Enforcement di Detroit. "Menjaga ekspor ilegal
senjata AS amat vital untuk melindungi kepentingan keamanan negara ini," lanjutnya.
Keempatnya didakwa berkonspirasi dan melanggar UU Kontrol Ekspor Senjata AS
(U.S. Arms Export Control Act). Pelanggaran itu diancam pidana maksimum 5 tahun
penjara dan denda USD 250 ribu (sekitar Rp 2,25 miliar).
Mereka dijerat dakwaan berlapis. Djoko Djuliarso dan Ibrahim bin Amran juga didakwa
melanggar UU Ekspor dan Pencucian Uang. Untuk pelanggaran pertama, mereka
diancam penjara maksimum 10 tahun dan denda USD 1 juta (sekitar Rp 9 miliar).
Ancaman hukuman untuk kasus pencucian uang maksimum 20 tahun penjara dan
denda USD 250 ribu (Rp 2,25 miliar).
Dalam surat dakwaan pengadilan di Detroit, terungkap bahwa Djoko Djuliarso dan
Ibrahim bin Amran adalah pemilik empat perusahaan, yaitu Indodial Pte. Ltd., PBJV
Global, Eaststar Logistics, dan Etaru Indonesia. Seluruh perusahaan itu berlokasi
atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia dan Singapura.
Sementara itu, Soeharli diidentifikasi sebagai penyandang dana pembelian senjata.
Beecroft menghadiri pertemuan di Hawaii serta bertugas mengatur pengapalan
senjata-senjata ke Singapura dan Indonesia. "Dia (Beecroft, Red) berada di Hawaii
untuk mengamankan Amran," ungkap dokumen pengadilan.
Djoko Djuliarso dan Ibrahim bin Amran, kata dokumen itu, berupaya membeli radar
pesawat militer, 245 rudal Sidewinder, 882 pucuk senapan mesin Heckler & Koch
MP5, 800 pucuk pistol Heckler & Koch 9mm, 16 pucuk senapan penembak jitu
(sniper rifle) Heckler & Koc, dan 5 ribu butir amunisi.
Sayang, dokumen pengadilan itu tidak menjelaskan bagaimana investigasi bermula.
Pihak berwenang di AS tak mau membeberkan soal itu. Begitu pula soal
kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam jaringan sindikat senjata yang lebih besar.
Tetapi, dijelaskan kronologi penyelidikan sekaligus pengungkapan kasus itu. Pada
April 2005, seorang staf Indodial mengontak sebuah perusahaan AS dan menyatakan
ingin membeli senjata militer untuk diekspor ke Indonesia. Lalu, pada Juni 2005,
Ibrahim bin Amran berangkat ke London untuk bertemu dengan perwakilan sebuah
perusahaan AS guna mendiskusikan jual beli senjata tersebut.
Pada Desember 2005, Ibrahim bin Amran dan Djuliarso bertemu dengan para pejabat
perusahaan tersebut di Detroit guna membahas lebih rinci rencana pembelian senjata.
Selama pertemuan, kedua orang itu mengaku ingin membeli senjata tanpa izin
ekspor. Djuliarso setuju menangani transaksi secara rahasia.
Beberapa bulan berikutnya, mereka mentransfer uang USD 447 ribu (lebih dari Rp 4
miliar) ke sebuah rekening bank di Detroit untuk pembelian suku cadang pesawat.
Mereka juga mendiskusikan pembelian senjata senilai USD 3,3 juta (sekitar Rp 29,7
miliar)
Lantas, pada Jumat pekan lalu (7/7), sejumlah agen yang menyamar mengintai kedua
orang itu setelah tiba di Bandara Honolulu. Saat itu, mereka ke Hawaii bersama istri
mereka. Dua hari kemudian, mereka bersama Soehari dan Beecroft bertemu dengan
"para pejabat perusahaan AS" untuk memfinalkan rencana pembelian senjata.
Mereka berangkat untuk melihat senjata-senjata di gudang di sebuah lokasi. Saat
itulah, pihak berwenang dan petugas keamanan AS menangkap mereka.
(afp/detroitfreepress/ktvu.com/hep)
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
|