The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Sabtu, 01 April 2006

Martabat Kebangsaan Terluka

Tamrin Amal Tomagola

Bulan Maret 2006 merupakan bulan paling kelabu bagi martabat kebangsaan Indonesia. Luka perih martabat kebangsaan itu ditorehkan beruntun, mulai dari jarum kecil seperti pelecehan atas aparat keamanan Indonesia oleh tingkah adigang-adigung secara mencolok oleh perangkat keamanan AS dalam kunjungan menlunya baru-baru ini sampai penjualan kekayaan bumi Nusantara kepada pemodal asing dan akibat-ikutannya berupa demo Abepura, yang berujung tewasnya empat aparat secara mengenaskan.

Tikaman belati tetangga kanguru-pongah yang memberi jaminan menetap selama tiga tahun kepada 42 pelarian Papua Barat membuat luka kian menganga.

Rentetan peristiwa Maret kelabu ini tak pelak secara kumulatif melontarkan ke permukaan pertanyaan mendasar atas pernyataan pokok yang termaktub dalam konstitusi tentang tujuan pendirian negara, "apakah negara, khususnya pemerintah saat ini, telah berusaha sekuat tenaga untuk 'melindungi segenap rakyat dan tanah tumpah-darah Indonesia' dan mengawal serta memastikan agar 'bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'?"

Jawabannya, hampir seluruh kabinet yang pernah terbentuk sejak 1968 gagal menunaikan amanat pokok konstitusi itu. Lebih celaka lagi, sebagian besar dari mereka malah menjadi agen penjual kekayaan bumi Nusantara atau paling kurang menjadi penjarah kemakmuran rakyat.

Baron dan laron Istana Negara

Salah satu baron Istana Negara belum lama ini (Kompas, 27/3/2006) menegaskan bangunan warisan kolonial itu sudah waktunya direnovasi karena banyak pilarnya keropos dilahap rayap. Sebenarnya di sana bukan hanya ada banyak rayap wira-wiri, tetapi juga banyak tikus bergentayangan. Karena itu, peringatan ini sebaiknya dipahami tidak terbatas arti sesungguhnya secara fisik, tetapi yang lebih penting, dalam makna simbolik dan substantif.

Secara simbolik dan substantif, Presiden didukung Kantor Sekretariat Negara memimpin penyelenggaraan negara berlandaskan konstitusi. Bermodal kekuasaan dan wewenang politik yang begitu besar, para baron Istana Negara dan Sekretariat Negara memegang banyak kunci ke sejumlah ruang, baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Ruang di atas tanah adalah ruang gengsi dan legitimasi politik. Ia lebih merupakan ruang seremoni di mana para laron politik-ekonomi-sosial berselancar di atas karpet merah, atau terpaksa lewat detektor-elektronik, berupaya menyambangi baron. Penyambangan ini biasanya diakhiri potret bersama Presiden atau dengan salah satu baron kabinet.

Bila semua berjalan mulus, laron-laron tertentu bisa menyelam ruang bawah tanah. Di sinilah bisnis sebenarnya dirundingkan secara rinci-tuntas. Sebagian besar bisnis itu begitu menggiurkan sehingga ruang bawah tanah juga dikenal dengan nama "tambang emas". Jika akhirnya kesepakatan bawah tanah tercium pers dan terungkap ke publik, dengan mudah dibereskan lewat pernyataan peti-es: "dokumen asli hilang, tidak bisa ditemukan".

Alkisah di tahun 1991, seorang baron kabinet Orde Baru alumni Kantor Sekretariat Negara, tanpa pengetahuan penuh Presiden, membuat kesepakatan "tambang tembaga, perak, dan emas" di salah satu ruang bawah tanah itu. Baron Orde Baru ini jelas melukai martabat kebangsaan Indonesia karena menjual murah—jauh di bawah harga pasar—kekayaan Ibu Pertiwi. Bukan hanya rakyat Papua Barat yang terluka—lahir dan batin—karena dikerasi dan kesejahteraan rakyatnya tidak terangkat bila dibandingkan dengan Timor Timur yang belakangan datang. Apalagi bila ada warga Papua Barat mutung, bahkan mencari suaka di negara tetangga. Itu sungguh memilukan martabat seluruh bangsa. Seluruh bangsa Indonesia terluka martabatnya oleh ulah baron ini.

Kontrak Kerja Kedua tahun 1991—Kontrak Kerja Pertama dibuhul tahun 1967— aneh karena mengandung beberapa cacat hukum dan kejanggalan finansial.

Pertama, seperti telah disebutkan, ada informasi yang tidak disampaikan kepada Presiden.

Kedua, pembaruan kontrak itu dilakukan secara melawan hukum karena belum jatuh tempo, seharusnya tahun 2003, 12 tahun lebih awal.

Ketiga, rumusan isi kontrak kedua pada dasarnya sama dengan kontrak pertama kecuali dalam hal kepemilikan saham dan perpajakan. Selebihnya, pembaruan kontrak itu tidak memberi keuntungan finansial berarti bagi negara dan bangsa Indonesia. Kenyataan ini sungguh ajaib karena pada saat itu kekuatan posisi tawar Indonesia jauh lebih kuat ketimbang posisi tawar tahun 1967 saat kita amat membutuhkan investor asing. Apalagi, kandungan tembaga di tempat itu adalah ketiga terbesar di dunia, sedangkan kandungan emasnya terbesar seantero dunia.

Keempat, ada pihak swasta Indonesia yang diikutkan dalam kepemilikan tambang tujuh-turunan itu yang tidak jelas asal-muasal modalnya. Dengan posisi kunci yang kini digenggamnya, mudah-mudahan pihak yang disebut terakhir ini insaf telah melukai bangsa untuk kemudian sungguh-sungguh meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua Barat.

Solusi

Sebaiknya kita tidak mencari kambing hitam di luar pagar negeri kita. Siapa pun yang datang ke negeri ini secara bersahabat adalah tamu kita yang mampu kita lindungi. Penyebab luka martabat bangsa adalah para baron yang korup—baik di pusat maupun daerah—yang senantiasa dikerubungi laron-laron yang mengajak selingkuh. Karena itu, beberapa langkah solusi dapat diambil.

Pertama, tingkatkan pemberantasan korupsi tanpa pandang kantong. Kedua, reformasi total birokrasi sipil secara menyeluruh. Ketiga, bangun kepolisian dengan sepenuh hati. Keempat, tinjau kembali semua kontrak kerja pertambangan dan kehutanan karena banyak yang cacat hukum dan dilakukan rezim Orde Baru yang juga korup dan sudah delegitimized.

Hukum internasional membolehkan pembatalan kontrak yang cacat. Nigeria contohnya. Berbagai tambang kekayaan kita selalu diminati siapa saja dan kapan saja. Kelima, ramahlah kepada rakyat dan tanah lingkungan Papua Barat. Meski disebut paling akhir, ini adalah akar pokok terlukanya martabat kebangsaan kita dalam Maret kelabu.

Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/lokkie2005
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044