KOMPAS, Jumat, 31 Maret 2006
Nasionalisme Kesiangan
Ikrar Nusa Bhakti
Pemberian visa tinggal sementara oleh Australia kepada 42 dari 43 warga Papua yang
meminta suaka politik kepada Negeri Kanguru itu telah menyebabkan sebagian elite
politik di Indonesia "kebakaran jenggot". Mereka tak habis pikir mengapa di tengah
puncak-puncaknya hubungan bilateral Indonesia-Australia, Pemerintah Australia
justru sangat tidak sensitif terhadap perasaan rakyat Indonesia yang sedang
berupaya menyelesaikan kasus Papua secara dialogis.
Peristiwa ini sekali lagi membenarkan pandangan Dr Colin Brown, supervisor penulis
saat mengambil program doktor di Griffith University, Brisbane, Australia, bahwa
hubungan di antara dua negara bertetangga itu, Indonesia dan Australia, ibarat roller
coaster, naiknya amat lambat, tetapi ketika sudah mencapai titik puncak akan
menukik ke titik nadir secara cepat.
Seperti biasa pula, beberapa anggota DPR, khususnya dari Komisi I yang antara lain
membidangi politik luar negeri, menjadi kelompok yang paling lantang mengkritik
Australia. Ada yang menyatakan bahwa protes keras saja dari Pemerintah Indonesia
kepada Australia tidak cukup, ada yang mendesak agar kita memutuskan hubungan
diplomatik dengan Australia, ada yang meminta agar kunjungan anggota eksekutif
dan legislatif ke Australia ditunda dulu, tetapi ada juga yang lebih arif menyatakan
agar dibentuk tim investigasi dahulu supaya bisa melihat persoalan ini lebih obyektif
(Kompas, 25 dan 26 Maret 2006). Tifa yang ditabuh para anggota DPR itu membuat
sekelompok mahasiswa, pemuda, dan bahkan akademisi ikut menuntut agar kita
memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia.
Sejarah berulang
Sejarah pasang surut hubungan diplomatik Indonesia-Australia terulang kembali. Jika
kita mengingat kembali hubungan Indonesia-Australia, betapa sulit dan lambannya
untuk mencapai titik puncak. Ini diawali sejak buruh-buruh pelabuhan Australia pada
awal kemerdekaan RI secara gigih mendukung perjuangan kaum digulis dan rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Dalam film dokumenter karya orang Belanda,
Indonesia Calling, digambarkan bagaimana para buruh Australia itu melakukan
pemboikotan atas kapal-kapal Belanda yang akan membawa senjata atau logistik
perang ke Batavia.
Pemerintah Buruh di bawah Joseph Bennedict Chiefly, seorang aktivis buruh yang
puritan, mendukung penuh bantuan Australia kepada Indonesia tersebut. Meski
Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia saat itu, Dr HV Evatt, mendekatinya secara
akademis, kenyataannya Australia mendukung kemerdekaan RI. Tak heran jika
Indonesia memilih Australia sebagai anggota Komisi Tiga Negara, yang kemudian
menjadi Komisi Jasa-jasa Baik PBB. Meski kisah ini kadang menjadi legenda,
dukungan Australia tersebut menjadi perekat yang amat erat bagi hubungan kedua
negara, dalam badai sekalipun.
Bagi Indonesia, sebagai pengingat buat kita semua, termasuk anggota DPR, ada tiga
negara yang dipandang sangat berjasa bagi kemerdekaan Indonesia, yaitu Australia,
Mesir, dan India. Karena itu, sejarah menunjukkan, di tengah badai politik yang
mengempas hubungan bilateral, seperti yang sering terjadi antara RI-Australia dan
pernah pula beberapa kali terjadi antara RI-India soal perebutan pengaruh
kepemimpinan di Dunia Ketiga antara Presiden Soekarno dan Perdana Menteri
Jawaharlal Nehru dan perang India-Pakistan, Indonesia tidak akan memutuskan
hubungan diplomatik dengan kedua negara.
Kembali ke soal marah-marah terhadap Australia, ini juga sering terjadi. Simak saja
ketika David Jenkins menulis di harian The Sydney Morning Herald pada Juli 1986
yang judulnya menakjubkan, After Marcos, Now for Soeharto's Million. Meski isinya
soal kekayaan dan bisnis keluarga istana, hal itu membuat marah sejumlah pejabat
RI. Menristek BJ Habibie membatalkan kunjungannya ke Australia, Panglima ABRI
Jenderal Benny Moerdani memerintahkan menutup Selat Lombok untuk latihan
perang-perangan. ABRI juga mengkritik keras telaah yang dibuat Paul Dibb untuk
mengkaji kapabilitas pertahanan Australia, yang antara lain mengungkapkan,
"Indonesia adalah negara dari dan melalui mana ancaman terhadap Australia dapat
dilakukan."
Untuk memperbaiki hubungan, PM Bob Hawke saat itu mengubah hubungannya dari
special relationship menjadi hubungan biasa. Alasannya, kalau hubungannya tidak
spesial, Indonesia tidak akan berharap banyak agar Australia tidak melakukan
tindakan yang dianggap Indonesia tidak bersahabat. Pergantian Menlu Australia dari
Bill Hayden kepada Gareth Evans telah mengubah gaya politik luar negeri Australia
terhadap Indonesia.
Masa PM Paul Keating yang menggantikan Bob Hawke merupakan masa keemasan
hubungan kedua negara. Pada masa ini pula kedua negara menandatangani
Agreement on Maintaining Security pada Desember 1995. Namun, pada masa PM
John Howard, kembali hubungan kedua negara mengalami ujian berat, soal Timor
Timur. Kesalahan interpretasi atas surat John Howard kepada Habibie mengenai
referendum di Timor Timur menyebabkan hubungan kedua negara kembali
gonjang-ganjing. Padahal intinya, "demi kepentingan nasional Indonesia, Australia,
dan kepentingan rakyat Timor Timur, sebaiknya referendum ditunda saja dan berikan
otonomi khusus pada wilayah itu. Ini sama persis kebijakan Perancis di Kaledonia
Baru". Lagi-lagi, suara paling lantang mengkritik Australia datang dari Komisi I DPR
yang diketuai oleh Yasril Ananta Baharuddin dari Partai Golkar.
Bercermin diri
Australia memang tidak sensitif dan amat gegabah dalam memberi visa tinggal
sementara kepada 42 warga Papua. Namun, ini juga bukan pertama kali terjadi. Pada
1985-1987, Australia memberi visa yang sama kepada 8-15 warga Papua yang masuk
dari Merauke ke Kepulauan Selat Torres dan kepada kelompok musisi Black Brothers
yang diusir oleh PM Walter Lini dari Vanuatu dan lari ke Canberra. Alasan
kemanusiaan menjadi dasar dari pemberian visa itu. Beda dengan suaka politik,
penerima visa sementara tidak boleh melakukan aktivitas politik apa pun yang dapat
merusak hubungan Australia dan Indonesia.
Jika Australia tidak menerapkan prinsip good neighbourly relations, tentunya kita juga
dapat membiarkan para pencari kehidupan baru dari Afganistan, Iran, China, dan
lain-lain untuk melanjutkan perjalanan ke Australia. Mengapa Australia tega terhadap
para pengungsi dari Iran dan Afganistan yang berada di atas kapal Tampa beberapa
tahun lalu dan meminta Papua Niugini dan Nauru (The Pacific Solution) untuk
menampungnya, jawabannya sudah jelas.
Apakah Australia menerapkan standar ganda, jawabannya juga jelas. Pengungsi dari
Asia Barat dan Timur Tengah itu sebagian besar beragama Islam, orang Afganistan
itu bukan orang Pashtun seperti mayoritas pengungsi Afghan yang sudah lebih dulu
ada di Australia, sementara orang-orang Papua itu Kristen dan berasal dari kelompok
minoritas Melanesia.
Apakah di Australia ada elemen-elemen pendukung Papua Merdeka, jawabannya juga
jelas ada, dari ekstrem paling kiri sampai ke ekstrem paling kanan. Pemerintah
Australia tentunya juga harus memperhitungkan popularitas dan dukungan dari
domestik politik Australia. Karena itu, wajar kalau visa tinggal sementara itu
dikeluarkan oleh kementerian imigrasi dan urusan etnik Australia. Belajar dari kasus
Timor Timur, kita juga tak perlu percaya pada jaminan pernyataan Pemerintah
Australia bahwa ia mendukung integritas dan kedaulatan NKRI.
Lepas dari itu, justru kita bangsa Indonesia yang harus mengintrospeksi diri.
Sudahkah kita sesama anak bangsa memiliki empati kepada sesama anak-anak
bangsa di Papua? Nasionalisme bukanlah jago-jagoan menunjukkan siapa yang dapat
bersuara lantang kepada negara asing, bukan pula jagoan demonstrasi di depan
kedutaan-kedutaan AS, Malaysia, Swedia, atau Australia. Sudahkah kita merasa
senasib sepenanggungan dengan saudara-saudara kita di Papua? Sudahkah kita
memiliki rasa kebersamaan atas kesulitan dan keterbelakangan yang dialami sesama
anak-anak bangsa di Papua yang tidak berubah cara hidup dan kehidupannya sejak
44 tahun lalu?
Adakah kita menilai bahwa Indonesia adalah satu kesatuan politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan yang berarti masalah Papua adalah masalah
anak-anak Indonesia? Pernahkah kita memprotes penerapan kembali pendekatan
militeristik di Aceh dan Papua pada era Reformasi ini? Beranikah kita mengatakan
kepada pemerintah bahwa NKRI yang kita tegakkan bukanlah dengan ujung bayonet
dan moncong senjata seperti pada 1950-an dan era Orde Baru, melainkan dengan
memberi rasa aman, adil, dan sejahtera kepada segenap anak-anak bangsa, apa pun
keturunan, etnik, budaya, dan agamanya? Pernahkah kita berpikir bahwa pemerintah
pusat bukanlah pemilik wilayah negeri ini, melainkan anak-anak bangsalah dari
Sabang sampai ke Merauke sebagai pemilik sah negeri ini.
Mengapa kita harus bersuara lantang kepada negeri orang karena keputusan politik
luar negerinya, sementara kita jarang sekali bersuara lantang atas
persoalan-persoalan yang terjadi di Kalbar, Kalteng, Sulteng, Maluku, Aceh, dan
Papua, termasuk kasus Wasior, Freeport, dan Abepura? Nasionalisme kita harus
menunjukkan perhatian kepada nasib seluruh anak bangsa di negeri ini dan bukan
"nasionalisme kesiangan" ala sebagian anggota DPR, yang lebih suka melakukan
studi banding ke luar negeri dan memaki-maki negeri orang ketimbang melakukan
introspeksi diri mengenai apa yang sudah bangsa ini lakukan kepada sesama anak
bangsa.
Ikrar Nusa Bhakti Alumnus Griffith University, Australia
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|