KOMPAS, Kamis, 06 April 2006
Mencari Suaka Itu Konstitusional
Rachland Nashidik
Kegusaran Indonesia pada Australia harus diletakkan ke dalam cara berekspresi yang
cerdas dan benar. Jika tidak, kita akan dikenang sebagai bangsa yang senang
mempermalukan diri sendiri.
Hak mencari suaka politik adalah hak individual. Sepenuhnya terserah kepada si
individu untuk memutuskan kapan dan mengapa hak itu digunakan. Pikiran dan tubuh
manusia bukanlah yurisdiksi negara. Pemerintah tidak boleh merasa memiliki pikiran
dan tubuh warganya meski atas nama kedaulatan negara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah orang pertama yang tidak boleh lupa:
hak suaka politik ini dilindungi amandemen kedua UUD 1945, persisnya oleh Pasal
28 G Ayat 2. Bunyinya, "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh
suaka politik dari negara lain".
Bagian hukum nasional
Perlindungan terhadap hak ini, termasuk kewajiban menghormati prinsip
non-refoulement- prinsip berstatus jus cogens yang isinya melarang pengembalian
pencari suaka politik ke negara asal-juga telah jadi bagian hukum nasional. Pertama
oleh ratifikasi Republik Indonesia terhadap International Covenant on Civil and Political
Rights (2006); dan sebelumnya terhadap Convention Against Torture (1998) di mana
non-refoulement adalah prinsip fondasionalnya.
Jauh sebelumnya, preseden perlindungan yang sama dapat ditemukan dalam Surat
Edaran Perdana Menteri Nomor 11/RI/ 1956 tanggal 7 September 1956 tentang
Perlindungan Pelarian Politik.
Surat Edaran yang ditandatangani Mr Ali Sostroamidjojo itu menyatakan, "Indonesia
melindungi pelarian politik yang masuk dan yang sudah berada di wilayah Indonesia,
berdasarkan hak dan kebebasan asasi manusia, serta sesuai dengan hukum
kebiasaan internasional."
Indonesia tidak bisa mengakui dan menjamin hak itu sambil pada saat bersamaan
kelihatan memusuhinya.
Visa proteksi sementara
Departemen Luar Negeri Indonesia seharusnya bisa menjelaskan kepada Presiden,
pemberian visa proteksi sementara (temporary protection visa) bukan akhir yang
bahagia bagi para pencari suaka politik ke Australia.
Visa ini berlaku sementara dan akan dievaluasi setelah tiga tahun. Selama itu setiap
pencari suaka yang telah diakui statusnya di bawah hukum internasional sebagai
refugee tidak bisa melakukan perjalanan ke luar Australia, meski sekadar untuk
menemui keluarga yang tercerai. Jika memaksa, mereka akan kehilangan status
humanitariannya dan bakal ditolak masuk kembali ke Australia.
Bagi mereka juga tak ada fasilitas negara untuk kesejahteraan, bantuan pekerjaan,
atau sekadar biaya untuk belajar bahasa Inggris. Pihak yang tersisa untuk membantu
mereka adalah lembaga-lembaga masyarakat yang, dalam urusan refugee ini,
dibatasi aksesnya terhadap dana masyarakat yang tersedia.
Kepahitan dari kenyataan itulah yang akan segera dialami para pencari suaka asal
Papua. Segera setelah tiga tahun yang sulit, mereka pun harus membuktikan ulang
keabsahannya sebagai refugee. Akankah pada tahap itu mereka kembali lolos?
Saya tidak punya angka untuk menebak. Namun, sejumlah penelitian menyebutkan,
Australia hanya menerima satu refugee untuk setiap 1.583 warga Australia. Jumlah
itu jauh lebih kecil dibanding Inggris (1:530) atau Tanzania (1:76).
Apa yang bisa dilakukan?
Apa yang bisa kita lakukan? Indonesia, tentu saja, berhak membela diri dari berbagai
sangkaan terhadap dirinya. Namun, pemerintah harus melakukannya dalam
penghormatan yang konsisten terhadap hak dan kebebasan asasi manusia.
Indonesia bisa membuktikan kepada Australia kerapuhan validitas dari klaim yang
diajukan pencari suaka. Namun, hak mereka untuk meninggalkan Indonesia harus
dihormati. Adalah cerdas dan terhormat bila Jakarta dapat menjadikan proses
pembuktian itu sebagai tulang punggung diplomasi untuk meyakinkan Canberra agar
menyediakan bagi mereka mekanisme naturalisasi, bukan status refugee.
Oleh karena itu, merayakan imparsialitas hukum adalah langkah yang sebaiknya
ditempuh.
Sebenarnya hukum internasional menyediakan fasilitas untuk menangani dispute
antarnegara dalam masalah refugee melalui International Court of Justice.
Masalahnya, sampai hari ini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Geneva tahun
1951. Akibatnya, Indonesia tidak bisa memanfaatkannya untuk menantang keputusan
Australia.
Namun, kita sama sekali belum terlambat. Departemen Luar Negeri harus ditugasi
untuk mempercepat ratifikasi terhadap Geneva Convention Relating to the Status of
Refugees dan protokolnya, dari tahun 2009 menjadi tahun depan. Prinsip
non-retroactivity tidak perlu berlaku bagi kasus suaka ini karena sifatnya yang bisa
diargumentasikan sebagai continuing case.
Dan inilah yang paling penting, Indonesia harus bergegas untuk sungguh-sungguh
memperbaiki sikap dan kebijakannya di bumi Papua, lagi-lagi dengan
mengedepankan imparsialitas hukum yang teguh dan perlindungan penuh atas
keseluruhan hak-hak asasi manusia. Jangan main-main dengan hal ini, karena
impunity dan keadaan perlindungan hak asasi manusia yang buruk di Papua amat
mungkin adalah informasi yang mengondisikan keputusan pejabat imigrasi di
Australia, kini, dan di masa datang.
Jangan lupa, Potret Papua sebenarnya adalah made in Indonesia. Apa yang
dilakukan Australia hanya memungut potret yang terbuang itu, memberi pigura, lalu
memasangnya di dinding hall of shame yang entah untuk apa mereka buat.
Tiga tahun adalah masa yang singkat bagi mereka yang mendapat temporary
protection visa dari Australia. Namun, itu adalah kesempatan yang cukup bagi
Indonesia untuk membuktikan kepada dunia kesungguhan komitmennya kepada
warga Papua.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya segera bersiap untuk kompetisi ini.
Rachland Nashidik Direktur Eksekutif Imparsial, The Indonesian Human Rights
Monitor
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|