KOMPAS, Jumat, 07 April 2006
Tibo, Akbar, dan Muhaimin
Todung Mulya Lubis
Beberapa hari terakhir ini, halaman surat kabar diisi berita penundaan eksekusi
hukuman mati bagi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu.
Eksekusi hukuman mati seharusnya dijatuhkan akhir Maret lalu, tetapi ditunda. Jaksa
Masyhudi Ridwan tak merinci alasan penundaan. Padahal, permohonan grasi ketiga
terpidana mati itu sudah lama ditolak Presiden Megawati sehingga tak ada lagi upaya
hukum yang dapat dilakukan.
Konon sedang ditempuh upaya hukum, yaitu pengajuan peninjauan kembali oleh
ketiga terpidana mati, selain permohonan grasi yang diajukan keluarga. Saya tak tahu
apakah hal ini masih bisa dilakukan.
Yang menarik adalah berbagai protes di masyarakat, baik dalam bentuk demonstrasi
maupun surat yang dilayangkan ke berbagai pihak. Tak kurang seorang Akbar
Tandjung meminta eksekusi hukuman mati ditunda sampai ada putusan peninjauan
kembali. Intervensi Akbar Tandjung ini menarik karena membuktikan secara
”substantif” ada sesuatu yang perlu dikaji ulang, yaitu benarkah Fabianus Tibo,
Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu bersalah, harus dihukum, dan apakah
hukuman itu harus hukuman mati. Apakah ketiga orang ini korban yang dikorbankan?
Apakah ada cerita lain yang tidak diketahui hakim dan kita semua?
Banyak menolak
Eksekusi hukuman mati terhadap orang tak bersalah sudah sering terjadi. Maka,
banyak ilmuwan menolak hukuman mati. Pasalnya, saat hukuman mati dijatuhkan,
tetapi ternyata si terpidana tidak bersalah, si terpidana yang telah dieksekusi tidak
bisa dihidupkan lagi.
Kesalahan fatal ini membuat ahli hukum pidana mempertanyakan ulang validitas
hukuman mati selain alasan, hukuman mati tak akan pernah mengurangi angka
kejahatan seperti terjadi di banyak negara dan Indonesia. Efek penjeraan (deterrent)
yang ingin dicapai sering tidak tercapai karena orang berbuat kejahatan biasanya
karena faktor amat kompleks dan terkait kemiskinan, pendidikan yang rendah,
kelainan jiwa, dan sebagainya. Adanya ancaman pidana mati tak selalu
mengurungkan niat seseorang untuk melakukan tindak pidana kejahatan.
Lihatlah China. Kini ada gelombang yang mendesak peninjauan ulang hukuman mati
karena kasus salah eksekusi. Seseorang yang dihukum mati karena didakwa
memperkosa terbukti bukan pelaku dengan munculnya seseorang yang mengaku
sebagai pemerkosa. Pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dan bukti-bukti lain
mendukung fakta, pengadilan keliru menjatuhkan hukuman mati. Bagaimana nasib
orang yang sudah dihukum mati?
Pemerintah China kini berencana melakukan beberapa langkah perbaikan agar
nantinya hukuman mati tak gampang dijatuhkan. Respons ini tentu tak memadai.
Tetapi, bagi Pemerintah China yang sistem peradilannya relatif masih tertutup,
respons ini memberi ruang baru bagi polemik pro-kontra hukuman mati. Saya yakin
kritik terhadap hukuman mati akan kian gencar dilakukan.
Pandangan dari Malaysia
Kritik juga muncul dari Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR. Muhaimin meminta
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan eksekusi hukuman mati itu
setelah mendengar banyak keberatan dari masyarakat sehingga dia mulai meragukan
kebenaran fakta-fakta yang dihadirkan di persidangan. Seruan ini punya makna yang
patut dipertimbangkan. Artinya, lagi-lagi pengadilan bisa salah, dan kita tak boleh
menjatuhkan hukuman mati untuk orang yang diragukan telah melakukan tindak
pidana berat. Jika ditelusuri, seruan Muhaimin bisa sampai pertanyaan dasar, apakah
kejahatan dapat hilang atau berkurang dengan hukuman mati? Kita harus mencari
jawabannya.
Dari Malaysia, Menteri Kehakiman Malaysia Nazri Aziz mendukung seruan
penghapusan hukuman mati di negaranya (New Strait Times, 21/4/2006). Alasannya,
selain tak akan mengurangi angka kejahatan, Menteri Kehakiman juga mengatakan,
tak seorang pun berhak mencabut kehidupan orang lain meski orang itu telah
mencabut kehidupan orang lain.
Yang mencengangkan saya, tak pernah terbayangkan ada Menteri Kehakiman dari
Malaysia yang berpandangan cerdas dan radikal. Di Malaysia, hukuman mati banyak
dijatuhkan terutama bagi mereka yang terlibat narkoba, tetapi perdagangan narkoba
tak pernah hilang. Dewan Penasihat Hukum Malaysia, semacam Bar Association,
menyerukan agar hukuman mati dihapuskan karena bertentangan dengan hak untuk
hidup (the right to life) yang secara empirik gagal mengurangi angka kejahatan.
Sebagai bagian komunitas internasional yang menghargai hak asasi manusia kita
akan menemukan banyak instrumen hukum internasional yang melarang
dijatuhkannya hukuman mati, seperti Universal Declaration of Human Rights (Pasal
3); Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 6); Protocol 6 of European Convention
for Protection Human Rights and Fundamental Freedom dan The Rome Statute of
International Criminal Court (Pasal 7). UUD 1945 hasil amendemen juga mengakui
hak untuk hidup yang seyogianya meniadakan hukuman mati. Tetapi, hukuman mati
masih bertebaran di berbagai produk perundangan kita termasuk undang-undang yang
terkait hak asasi manusia. Ini jelas inkonsistensi yang perlu mengalami koreksi.
Perdebatan ihwal hukuman mati harus mulai jernih mengkaji asumsi-asumsi yang
mendasari hukuman mati dan efektivitasnya, serta menawarkan jalan keluar yang
mampu menjaga harkat dan martabat manusia. Ini tentu perdebatan panjang, namun
kita tak bisa berpaling.
Mungkin nasib Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu tak bisa
tertolong. Tetapi, beban kita adalah menyelamatkan kemanusiaan kita. Sebagai
makhluk yang tak pernah sempurna, kita tak selalu mampu menangkap semua fakta.
Karena itu, kita tak berhak mencabut nyawa manusia. Ini bukan berarti tak akan ada
kejahatan, termasuk kejahatan yang menghilangkan nyawa manusia. Jawaban atas
terjadinya kejahatan harus dicari pada akar kehidupan: telah lepaskah kita dari lingkar
kemiskinan yang menghancurkan kemanusiaan? Jika kita semua hormat pada fitrah
kemanusiaan, niscaya kejahatan akan semakin tiada.
Todung Mulya Lubis Ketua Dewan Pendiri Imparsial, The Indonesian Human Rights
Monitor
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|