KOMPAS, Jumat, 07 April 2006
Eksekusi Mati di Poso Inkonstitusional
Al araf
Praktik penerapan hukuman mati di Indonesia tampaknya akan berlanjut. Setelah
grasinya ditolak Yudhoyono pada tahun 2005, tampaknya tiga terpidana mati kasus
Poso (Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu) bisa dipastikan akan
dieksekusi dalam waktu dekat.
Harapan, mimpi, dan keinginan agar negara tidak mencabut hak hidup yang
merupakan pemberian yang Kuasa sudah pupus.
Sejumlah organisasi lintas agama di Palu yang diwakili kelompok dan tokoh
Islam-Kristen merespons dan menyatakan penentangan atas rencana eksekusi ketiga
terpidana mati itu. Mereka menilai eksekusi atas ketiganya diyakini akan memutus
benang merah otak kerusuhan sebenarnya. Sayang, permintaan dan tekanan
kelompok agama tidak memengaruhi sikap pemerintah, yang berkeras dan berencana
melaksanakan eksekusi mati.
Sikap keras pemerintah itu melahirkan pertanyaan. Mengapa pemerintah ngotot untuk
melaksanakannya? Bukankah ketiga orang itu harus dibiarkan hidup sebagai kunci
untuk mengungkap kerusuhan dan mengetahui dalang kerusuhan sebenarnya?
Nuansa politis
Sebagai warisan masa lalu, penerapan hukuman mati di Indonesia tidak lepas dari
watak dan politik yang berperan saat itu. Sejak masa kolonial hingga kini, sejarah
menunjukkan bagaimana hukuman mati menjadi bagian manajemen politik kekerasan
dan politik ketakutan negara untuk mengontrol masyarakat.
Penerapan hukuman mati di Poso di satu sisi merupakan bukti bagaimana negara
menjadikan hukuman mati (seolah) sebagai komitmen untuk menyelesaikan kasus
Poso. Ketika masyarakat lelah, kesal, dan jenuh dengan konflik dan aksi teror yang
terus berlangsung di Poso, negara berusaha menghadirkan hukuman mati untuk
meredam dan memuaskan amarah masyarakat atas terjadinya kejahatan.
Di sisi lain, penerapan hukuman mati terhadap ketiga orang itu menimbulkan
kecurigaan, pertanyaan, dan bernuansa politis. Eksekusi mati kepada ketiganya akan
memutus rantai dan jaringan yang terlibat kerusuhan Poso. Wajar jika kelompok
lintas agama di Poso menolak eksekusi itu. Sebab, jika eksekusi dilakukan, akan
menutup upaya pengungkapan peristiwa dan dalang kerusuhan sebenarnya. Padahal,
sistematisasi konflik di Poso terus berlanjut, disertai teror baik bom, penembakan
misterius, dan pemenggalan kepala yang dilakukan orang terlatih. Hal ini
menimbulkan kecurigaan dan dugaan adanya aparat yang terlibat.
Bukan rahasia lagi jika konflik di Poso telah menjadi proyek kekerasan yang
menghabiskan dana miliaran rupiah. Menurut M Ichsan Loulemba, anggota DPD
Poso, ketidakmampuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah dan
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Poso menyelesaikan konflik disebabkan kentalnya
kepentingan ekonomi dan politik pejabat di Pemprov Sulteng dan Pemkab Poso,
termasuk pejabat di sektor keamanan (Kompas, 12/1/ 2005).
Tiga alasan menolak
Ada tiga alasan penolakan penerapan hukuman mati di Indonesia. Pertama, dari
efektivitasnya, hukuman mati yang diharapkan memberi efek jera akan mengurangi
angka kejahatan. Alasan pemerintah ini patut dipertanyakan sebab kenyataannya
penerapan hukuman mati tidak berbanding lurus dengan naik atau turunnya tingkat
kejahatan. Ilusi bahwa tujuan hukuman untuk mengurangi kejahatan harus dibuang
jauh karena naik-turunnya kejahatan tidak dipengaruhi besarnya hukuman yang
diberikan.
Secara sosiologis, sumber utama kejahatan dan kriminalitas adalah kemiskinan,
ketidakadilan, dan hubungan timbal balik antara penguasa dan preman/kriminal (Nico
S Nordhold, Order Zonder Order, 2003).
Kedua, pada prinsipnya, keputusan hakim dalam memutus salah-benarnya seseorang
sebenarnya bersifat relatif. Tak ada hakim yang dapat memutuskan bahwa
keputusannya dalam menghukum seseorang mutlak 100 persen benar atau seratus
persen salah. Sebab, keberadaan hakim hanya menafsirkan dan menyimpulkan atas
suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang melanggar dari norma-norma hukum yang
ada. Dalam posisi itu, penafsiran, kesimpulan, dan keputusan hakim memiliki
kecenderungan salah. Dalam konteks itu, kehadiran sanksi hukuman mati tidak dapat
memperbaiki keputusan hakim yang salah.
Ketiga, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi
manusia (HAM) internasional. Hukum HAM internasional secara tegas menyatakan
hukuman mati bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Konvenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik yang pada tahun 2005 telah diratifikasi Pemerintah
Indonesia. Lebih dari itu, kebijakan itu jelas kontras dan bertentangan dengan
semangat dalam Amandemen UUD 45 yang berusaha menjamin dan menjunjung
tinggi hak untuk hidup sebagai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun
(non derogable right) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 Ayat I Huruf I UUD 45.
Peninjauan kembali terhadap grasi ketiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yang
ditolak Presiden Yudhoyono tampaknya menjadi langkah bijak dan benar. Kita
membutuhkan sanksi hukuman yang tegas dan tidak pilih kasih terhadap pelaku
kejahatan, tetapi kita tidak membutuhkan sanksi hukum yang kejam, tidak
manusiawi, dan bertentangan dengan konstitusi yang merupakan norma hukum
tertinggi.
Al araf Koordinator Peneliti Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|