KOMPAS, Kamis, 09 Maret 2006
Pilkada Irjabar, Pilihan yang Semakin Rumit
Kornelis Kewa Ama
Irian Jaya Barat akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah atau pilkada
gubernur pada 11 Maret 2006, satu hari setelah pelaksanaan pilkada Gubernur
Papua. Keputusan itu sudah matang dan tidak boleh dihambat oleh siapa pun.
Pemerintah tentu memberikan dukungan bagi pelaksanaan pilkada tersebut.
Apakah dampak dari pilkada itu terkait dengan keberadaan Undang-Undang Otonomi
Khusus (UU Otsus) yang berlaku di seluruh daratan Papua, termasuk Irjabar?
Calon gubernur Papua, Barnabas Suebu, dalam Debat Publik sebagai penutup
rangkaian kampanye di Jayapura, Senin (6/3), menyatakan, pilkada di Irian Jaya
Barat (Irjabar) jangan dipaksakan karena risikonya sangat besar bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dukungan internasional bagi Papua dalam rangka membangun keutuhan NKRI,
katanya, tetap kuat kalau UU Otsus dilaksanakan secara konsekuen, bermartabat,
dan berlaku bagi seluruh daratan Papua yang dulu disebut Provinsi Irian Jaya.
Melaksanakan pilkada di Irjabar dengan dasar hukum yang tidak jelas akan
mengundang sejumlah pertanyaan dari berbagai kalangan, terutama Majelis Rakyat
Papua (MRP). Hasil konsultasi publik yang dilakukan MRP menunjukkan bahwa
sebagian besar masyarakat Irjabar tidak menghendaki pemekaran Provinsi Irjabar.
Melaksanakan pilkada di Irjabar berarti merobek-robek otonomi khusus Papua, yang
selama ini disebut sebagai solusi akhir menyelesaikan masalah Papua. Artinya, tidak
ada pemekaran provinsi yang tidak berdasarkan UU Otsus.
Calon gubernur lainnya, John Ibo, menambahkan, pemerintah pusat terlalu khawatir
terhadap UU Nomor 21 Tahun 2001. Padahal, UU itu milik masyarakat RI yang
diberlakukan di Papua. Patut dipertanyakan, apakah pemerintah pusat benar-benar
ingin membangun kesejahteraan masyarakat atau membuat peraturan dan kebijakan
ganda untuk memecah belah masyarakat Papua.
MRP sudah membuka wacana dialog untuk menyelesaikan masalah Irjabar, tetapi itu
tidak ditanggapi. Pemerintah secara diam-diam mendukung pilkada di Irjabar.
Tanggal 11 Maret 2006 pilkada akan dilaksanakan di Irjabar. Masyarakat di tingkat
bawah yang diwawancarai MRP yang menolak pemekaran Irjabar akhirnya harus
mengikuti pilkada itu.
Apakah jika nanti 600.000 pemilih di Irjabar memberikan suara dalam pilkada itu,
berarti masyarakat mendukung pemekaran?
Tampaknya itu tak bisa dijadikan ukuran. Ada unsur lain yang mendorong masyarakat
ikut pilkada. Misalnya, ancaman dari elite politik setempat.
Wakil Ketua DPR Papua Komarudin Watubun menilai, pilkada di Irjabar semakin
membuka peluang bagi intervensi asing terhadap masalah Papua. Dunia internasional
menilai pemerintah tidak konsekuen melaksanakan UU Otsus di Papua.
Tak tertutup kemungkinan dunia internasional akan mempermasalahkan Papua di
forum PBB. Saat ini, sesuai dengan informasi yang berkembang, sudah 38 anggota
parlemen yang tergabung dalam Black Kaukus telah menandatangani pernyataan
kepada Kofi Annan agar masalah Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969
ditinjau kembali di forum PBB.
Ketika draf UU Otsus disusun, sejumlah duta besar Uni Eropa berkunjung ke
Jayapura, Wamena, dan Manokwari. Mereka menyatakan dukungan terhadap
keutuhan NKRI dalam kerangka UU Otsus.
Ketika masyarakat Papua berteriak merdeka sejak reformasi (1998) dan terus
menguat pada tahun 1999-2000, pemerintah pusat kebingungan mencari jalan keluar,
hingga akhirnya menawarkan UU Otsus. Gagasan itu ditolak sebagian besar
masyarakat Papua.
Mei 2001 terjadi dialog akbar di Gelanggang Olahraga (GOR) Cenderawasih yang
melibatkan elite politik Papua. Terjadi penolakan dari masyarakat. Namun, setelah
mendapat jawaban dari elite politik waktu itu, mereka pun tenang.
Salah satu jawaban elite politik adalah otonomi khusus sebagai jembatan emas
menuju kemerdekaan Papua. Selama 25 tahun pelaksanaan otonomi khusus, Papua
akan dibangun secara menyeluruh. Infrastruktur, ekonomi kerakyatan, sumber daya
manusia, pendidikan, dan kesehatan diprioritaskan.
Mungkin saja kemerdekaan yang dimaksud elite politik Papua saat itu adalah
pembebasan dari keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan keterisolasian. Akan
tetapi, masyarakat yang hadir di GOR menilai hal itu sebagai sebuah janji untuk
melepaskan Papua dari NKRI.
Belajar dari kasus Timor Leste, Papua pun harus ditata secara arif dan bijaksana.
Sekretaris Dewan Adat Papua (DAP) di Sorong, Yoab Syaftle, menyatakan, jika
pemerintah pusat memaksakan pilkada di Irjabar, konflik horizontal akan terjadi di
daerah tersebut. Kini ada dua kubu masyarakat di Irjabar, yakni yang pro dan kontra
terhadap pemekaran wilayah.
Jumlah kelompok masyarakat yang mendukung (pembentukan) Irjabar hanya sekitar
15 persen, kata Yoab.
DAP Sorong, DPRD Kota Sorong, dan pemimpin gereja-gereja di Kota Sorong menilai
keputusan yang diambil MRP merupakan yang terbaik. MRP bekerja sesuai dengan
aspirasi masyarakat, bukan rekayasa demi kepentingan politik tertentu. Karena itu,
mereka harus dihargai, apalagi MRP adalah lembaga resmi yang dibentuk
berdasarkan undang-undang.
Wakil Ketua MRP Frans Wospakrik mengatakan, pemerintah pusat paling
bertanggung jawab atas pelaksanaan pilkada di Irjabar. Kami telah bekerja sesuai
dengan hasil yang diperoleh di lapangan. Hampir sebagian besar masyarakat
menolak pemekaran Irjabar. Jika pusat menilai hasil itu adalah rekayasa, tanggung
jawab selanjutnya ada di pemerintah pusat, katanya.
Perjuangan ideologi suatu suku bangsa memang sulit ditebak. Sebuah ideologi tidak
mudah pupus dalam waktu singkat atau dibarter dengan peraturan tertentu. Bahkan,
membangun kesejahteraan secara menyeluruh di daerah itu juga belum tentu
menggusur ideologi tersebut.
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|