KOMPAS, Minggu, 09 April 2006
Penolakan PK dan Grasi II Tibo Dinilai Janggal
Presiden Diminta Tuntaskan Pengusutan Kasus Kerusuhan Poso
Palu, Kompas - Penolakan peninjauan kembali dan grasi kedua Fabianus Tibo (60),
Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48)-tiga terpidana mati kasus kerusuhan
Poso-oleh Mahkamah Agung dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam waktu
yang hampir bersamaan dinilai janggal dan terkesan dipaksakan.
Bahkan, penolakan itu diduga merupakan konspirasi pihak-pihak tertentu yang
menginginkan Tibo dan kawan-kawan secepatnya dieksekusi dengan tujuan agar
kasus kerusuhan Poso tidak terungkap.
Penilaian itu disampaikan Ketua Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah Rinaldy
Damanik dan Roy Rening, dua dari 20 penasihat hukum Tibo cs yang tergabung
dalam Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia,
Sabtu (8/4).
Di Jakarta, unjuk rasa kembali digelar sekelompok massa yang tergabung dalam
Aliansi Nasional untuk Pembebasan Tibo cs. Ratusan orang dari berbagai elemen
menggelar aksi di depan Istana Merdeka.
Selain menggelar orasi dan spanduk, mereka juga memutar film dokumenter berisi
kesaksian Tibo cs serta keterangan sembilan saksi yang menyatakan Tibo cs tidak
terlibat dalam kerusuhan Poso III.
Belum bisa diajukan
Rinaldy Damanik menyatakan, proses penolakan PK dan grasi kedua Tibo cs sangat
cepat. "Saya heran, kasus sebesar ini kok sebegitu cepat diputuskan," kata Rinaldy.
Roy Rening bahkan mengatakan, penolakan grasi kedua Tibo cs merupakan
penolakan grasi yang tercepat dalam sejarah hukum Indonesia. Seharusnya,
permohonan grasi baru dapat diputuskan setelah PK kedua yang diajukan Tibo cs
ditolak oleh MA dan harus diberitahukan secara tertulis kepada penasihat hukum atau
terpidana.
Sampai kemarin sore, kata Roy, baik Tibo cs maupun keluarga dan penasihat
hukumnya belum menerima surat pemberitahuan penolakan PK kedua dari MA.
"Tiba-tiba saya mendengar berita jika grasi kedua Tibo cs ditolak. Saya melihat ada
sesuatu yang tidak wajar dalam kasus ini," katanya.
Ketidakwajaran itu, lanjut Roy, selain tampak dari penolakan PK dan grasi kedua Tibo
cs yang keluar dalam waktu hampir bersamaan, juga dari pengumuman penolakan
grasi yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko
Polhukam) Widodo AS dengan didampingi sejumlah pejabat tinggi negara, antara lain
Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.
Berkait dengan pemberitaan mengenai penolakan grasi oleh Presiden, Pusat
Penerangan Hukum Kejaksaan Agung dalam siaran persnya, Sabtu malam,
memberikan klarifikasi. Menko Polhukam, tulis siaran pers yang ditandatangani
Masyhudi Ridwan, tidak pernah menyatakan bahwa grasi kedua terpidana Tibo dan
kawan-kawan telah ditolak. Yang benar adalah "Grasi sudah ditolak Presiden".
Menurut siaran pers itu, grasi terpidana Tibo cs telah ditolak Presiden pada tanggal
10 Maret 2005. Sesuai Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Grasi, grasi kedua Tibo cs tidak bisa diajukan sebelum tenggang waktu dua tahun
dari keputusan Presiden itu.
Jangan berhenti pada Tibo
Sejumlah tokoh di Jakarta yang dihubungi, antara lain Ketua Komisi III DPR Trimedya
Panjaitan, Wakil Ketua Mulfachri Harahap, dan Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD
Muspani berharap agar penuntasan pengusutan kasus kerusuhan Poso tidak hanya
berhenti pada penolakan grasi dan eksekusi bagi Tibo cs.
Kesaksian Tibo tentang 16 nama tersangka lain hendaknya ditindaklanjuti untuk
menuntaskan pengusutan kerusuhan Poso. Mengeksekusi Tibo dengan mengabaikan
kesaksiannya atas ke-16 nama tersangka lainnya hanya akan memberi kesan
kepada publik bahwa negara sengaja memutus mata rantai pengungkapan para
pelanggar HAM berat di balik serangkaian kerusuhan di Poso. (rei/cal/win)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|