KOMPAS, Minggu, 12 Maret 2006
Mari Katong Bersaudara!
Edna C Pattisina
Gandonge sioh gandonge/mari beta gendong ale jua/katong dua cuma satu
gandonge/satu hati satu jantung e... (saudara oh saudara/mari saya gendong kamu
juga/kita berdua satu saudara/satu hati satu rasa)
Sebait lagu Gandongne yang bercerita tentang persaudaraan ini dinyanyikan hampir
dalam setiap pertemuan masyarakat Maluku di perantauan. Sambil berpegangan
tangan dan bernyanyi, mereka berharap bahwa pada! suatu hari nanti, persaudaraan
yang telah terburai akan terkait lagi. Seperti pada Moluccan Nite Java Jazz, Minggu
(5/3), semua orang memegang tangan siapa pun yang ada di sampingnya, dan
menyanyikan lagu ini bersama-sama. "Bung yang berdiri di sebelah saya sampai
menangis," kata Dr Evert DC Poetiray, tokoh masyarakat.
Mungkin naif kalau berharap sebait lagu akan menyelesaikan masalah. Namun,
pendekatan budaya yang tidak sekadar formalitas bisa menjadi jalan pembuka untuk
mencairkan hubungan. Kekentalan budaya asal orang Maluku-bahkan yang di
perantauan-masih terlihat dari kehidupan sehari-hari, seperti bahasa, kebiasaan,
makanan, bahkan intonasinya yang khas saat berbicara, kegemaran pada musik dan
tarian. Nona dan nyong, usi dan bung-begitu mereka saling memanggil perempuan
dan laki- laki-masih memiliki akar budaya yang menghormati pruralitas dan dialog
dalam menyelesaikan masalah.
Menjadi formalitas
Suaidi Marasabessy yang pensiun sebagai letjen TNI menilai, sejak zaman leluhur
orang Maluku pun punya budaya Siwa Lima yang menghargai perbedaan. Namun,
sayangnya budaya itu kemudian menghilang seiring dengan individualitas, juga
terbentuknya kelompok-kelompok yang mendasari dirinya pada kampung asal atau
golongan. Pela gandong atau kekerabatan pun menjadi formalitas yang gagal
membentuk persaudaraan. Menurut dia, kini tibalah saatnya mencari sebuah bentuk
budaya yang bisa merangkul semua orang sambil tetap merayakan perbedaan yang
ada. "Harus diakui, solusi yang dibuat pemerintah walau telah menyebut-nyebut pela
gandong hanya sebatas simbol saja," kata Suaidi.
Akar budaya ini bukanlah sebuah konsep yang bersifat umum. Budaya adalah alat
yang men! yentuh lapisan rasa yang terdalam dengan hal-hal sederhana yang hadir
sehari-hari. Samuel Wattimena, perancang busana yang telah melanglang buana,
misalnya, tersentuh hatinya setiap kali mendengar lagu Maluku Sio Tantina.
Pasalnya, waktu ia masih kecil, setiap kali ia sakit batuk atau demam, lagu ini yang
menjadi penghibur hati. Tentunya ditambah dengan pengobatan tradisional sederhana
yang sampai sekarang bau dan kehangatannya tidak bisa dilupakan Samuel: bawang
diiris, dicampur dengan minyak kayu putih, ditempel di perut serta kaus kaki dan
selimut tebal. Di sebelahnya duduk ayah atau ibu yang merawatnya. "Keluarga saya
itu disiplin Belanda, tapi sampai sekarang kalau dengan lagu Sio Tantina, yang saya
ingat cuma kebersamaan dan kehangatan dengan mereka," kata Samuel.
Gara-gara alam yang menghadirkan ritme lewat deburan ombak dan angin,
masyarakat Maluku relatif musikal. Sesuatu yang didefinisikan Glenn Fredly ! sebagai
jiwa orang Maluku. Glenn, yang waktu masih kecil menganggap ayahnya kampungan
kalau sedang bicara bahasa Maluku, kini malah dengan bangga menyanyikan lagu
Maluku hampir dalam setiap pentasnya. "Waktu kami konser di ulang tahun ke-60
Provinsi Maluku tahun 2005, bayangkan hadir sekitar 400.000 orang, dan aman.
Semua bergetar. Semua orang menari dan menyanyi!" katanya.
Serupa dengan Glenn, Jesse Samu-samu (28) bersama kawan- kawan Maluku-nya di
Depok juga mengadaptasi budaya Maluku- nya ke dalam denyut kehidupan anak
muda. Bersama beberapa kawan muda yang berusia 15-23 tahun, ia dan adiknya,
Edo, membuat kelompok Street Jongen. Komunitas basket jalanan yang kerap
berakrobatik dalam gaya basket mereka yang freestyle dan streetball ini sudah tampil
dalam berbagai acara di Jakarta. Mereka memadukan musik, dansa, dan olahraga
dengan persaudaraan anak-anak muda Maluku. "Kalau bercanda antar-kita, yah
banyak yang p! akai bahasa Maluku, makanya kita nggak peduli dia dari Maluku yang
mana, yang penting anaknya asyik dan nggak narkoba," kata Jesse.
"Selalu enjoy"
Mendengar cerita itu, Mans Muskita-Latuharhary yang merupakan Ketua Lembaga
Kebudayaan Maluku membenarkan bahwa orang-orang Maluku itu "selalu enjoy".
Berbagai kumpulan masyarakat yang terdiri dari negeri (kampung) atau pela
(persaudaraan) selalu diisi dengan menari dan menyanyi. Bahkan, Mans yang gemar
olahraga ini bercerita bagaimana kelompok- kelompok olahraga Maluku di era 60-70
seperti Bintang Timur, Jong Ambon, dan Maluku selalu berdansa seusai olahraga
bersama di Lapangan Ikada. "Nggak usah diatur, tahu-tahu semua sudah berdiri,
nyanyi dan dansa," katanya.
Budaya menari dan menyanyi memang sudah mendarah daging bagi masyarakat
Maluku. Lihat saja komunitas dokter asal Maluku yang bernama Perhimpunan Dokter
Serumpun Maluku "Makang Patita". Makang Patita-sebuah adat kebiasaan makan di
tepi pantai sambil berdiskusi menyelesaikan masalah-dipakai sebagai nama karena
ke-150 dokter asal Maluku ini ingin melakukan hal-hal serius tanpa kehilangan
suasana santai khas Maluku. "Kami membicarakan hal-hal serius seperti mengirim
bantuan tenaga medis ke Maluku, tapi habis itu yah musik menyanyi dan badan
bergoyang," kata Dr Evert DC Peotiray sebagai pendiri Makang Patita.
Cerita ahli bedah ini, kalau selesai pertemuan, hampir pasti lagu-lagu Maluku yang
dinyanyikan, seperti Ole Sio, Mande-mande, dan Hujan Sore-sore. Atau mereka
berdansa polonaise. "Yah, ikatan itu tidak bisa hilang, itulah darah Maluku," kata
dokter yang kalau dengan sesama orang Maluku bercakap dala! m bahasa Ambon
campur Belanda itu.
Dalam acara-acara tersebut, sambil menyanyi dan menari, makanan-makanan asal
Maluku pun sudah siap di meja. Sebut saja kohu-kohu-cabikan ikan tongkol yang
dimakan dengan parutan kelapa, daun kemangi yang disiram jeruk. Atau pepeda,
yaitu bubur sagu yang dimakan dengan diisap, demikian juga ketupat santan,
colo-colo, sagu bakar, dan bruine boon cakalang. "Sayangnya tidak ada restoran
khusus Maluku ya, jadi kalau mau makan harus pesan atau bikin sendiri," kata Mans.
Di berbagai kantong permukiman masyarakat Maluku yang biasa disebut Kampung
Ambon, seperti Kramat VII, Polonia, dan Cengkareng, kebiasaan dansa dan makan
bersama itu juga tidak pernah ketinggalan. Kerap mereka mendirikan sabua-sebutan
untuk tenda-di depan rumah. Kalau sudah begitu, sampai oma- oma dan opa-opa pun
tidak ketinggalan turun untuk d! ansa cha-cha, jiven, dan waltz. Di Belanda,
kampung-kampung serupa yang disebut wiyk, menurut Johnny Manuhutu dari
Massada, juga masih memelihara tradisi Maluku. Mereka kerap mengadakan Malam
Maluku dengan baju tradisional yang dimiliki semua orang, yaitu baniang untuk pria
dan kebaya Maluku untuk wanita.
Dulu ketika banyak orang Maluku di Jakarta masih tinggal di Alamo-dinamai sesuai
dengan benteng di Texas karena bentuknya memang benteng lengkap dengan pintu
gerbangnya-pesta bisa dilakukan di pelataran benteng sampai pagi. Sementara di
Kramat VII, yang ditinggali sejak tahun 1945, kini hanya tersisa sekitar 40 keluarga
asal Maluku. "Tiap sore kami kumpul-kumpul di depan rumah untuk ngobrol atau main
gitar, sering orang- orang yang dulu tinggal di sini masih suka datang untuk ngumpul,"
kata Jopie Tauihuttu, warga Kramat VII.
"Orang Maluku i! tu memang suka bergaul," cerita Leo Francis, tokoh masyarakat
informal. Ia bercerita, orang Maluku dari Ternate hingga Pulau Kisar tempat ia berasal
banyak berkiprah di berbagai kawasan Jakarta. Leo yang pada era 80-an biasa
nongkrong di kawasan Melawai bercerita bahwa pesta-pesta di rumah-rumah
beberapa orang asal Maluku selalu ada kelompok band lengkap untuk mengiringi
mereka menari dan menyanyi. Penampilan pun tidak mau yang nomor
dua-parlente-begitu istilahnya. "Baju pun kami beli di butik MicMac, tidak mau baju
yang jelek-jelek," kata Leo yang sempat mengawasi keamanan di Pasar Kaget,
Melawai.
Sektor informal
Peranan orang Maluku dalam sektor informal atau yang diistilahkan Leo sebagai
"grass root" memang cukup besar. Kalau dulu Alamo sering dipelesetkan sebagai
Ambon Lapar Makan Orang, kini kelompok ! seperti itu bisa dikatakan "ada tapi tidak
ada". Ongky Pietersz, tokoh masyarakat informal, juga mengakui bahwa peranan
orang Maluku di sektor informal cukup besar. "Semua kami anggap saudara, nggak
ada tradisinya orang Maluku itu keroyokan, yang akhir-akhir ini karena ada
kepentingan orang luar Maluku," kata Ongky yang mengaku juga suka menyanyi.
Persaudaraan, budaya menari dan menyanyi yang kental, begitu orang Maluku
menggambarkan dirinya. Kalau sudah begini, rasanya sudah saatnya kita
menggunakan budaya dan kebijakan lokal sebagai "senjata", setelah selama ini harus
diakui bahwa kita sebagai masyarakat dan negara kerap gagal menyelesaikan
masalah lewat instrumen-instrumen formal. Mari katong (kita) bersaudara!
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|