KOMPAS, Minggu, 12 Maret 2006
Mengajak Indonesia Bernyanyi!
Frans Sartono
Pernah dengar lagu "Goro-gorone", "Hela Rotane", "Lembe-lembe", atau "Gepe
Gepe"? Pernah terhibur oleh suara Bob Tutupoli, Pattie Bersaudara, Broery
Marantika, Lex's Trio, Harvey Malaihollo, Ruth Sahanaya, atau Glen Fredly? Itulah
deretan lagu dan seniman berdarah Maluku yang mewarnai Tanah Air dengan
nyanyian.
Musik menjadi nyawa orang Maluku," kata Bob Tutupoli, penyanyi yang sekitar lima
dekade berkiprah di dunia musik Indonesia.
Alam Maluku yang berkelimpahan hasil bumi dipercaya sebagai lanskap kehidupan
yang mengajarkan penghuninya untuk mensyukuri berkah dengan bernyanyi. Benny
Likumahuwa, seniman jazz kawakan itu, menuturkan bagaimana para tetua dulu
mengibaratkan Maluku sebagai taman Eden—semacam "tanah surga" yang
digambarkan Koes Plus dalam lagu Kolam Susu.
"Satu pohon sagu tak habis dimakan satu keluarga dalam setahun. Padahal pohon
sagu tumbuh terus. Ikan tinggal ambil di laut dan dalam lima menit kami sudah
mendapat satu bakul. Orang tinggal memuji limpahan berkah dengan nyanyian. Jadi
alam yang menyebabkan orang bernyanyi," tutur Benny.
Alam yang ramah dan indah menjadikan kehidupan mengalir santai dan
menyenangkan. Orang mempunyai banyak waktu ! luang untuk berkumpul bersama,
bercengkerama di pantai dengan bermain musik dan bernyanyi. Itulah mengapa
kemudian banyak lagu tentang keindahan pantai, laut berikut ombaknya.
Angin, laut, ombak, menurut Chris Pattikawa, merupakan unsur-unsur alam yang
mengajarkan ilmu bernyanyi kepada orang-orang Maluku. Teluk Ambon, misalnya,
mempunyai karakteristik ombak yang lembut sesuai struktur pantai yang landai.
Efeknya, ombak memecah pelan-pelan.
"Akibatnya, orang-orang di teluk Ambon mengeluarkan suara yang lebih soft dan
manis. Suara mereka keluar dari diafragma yang halus, bukan dari leher," jelas Chris
yang melahirkan kelompok vokal itu.
Orang-orang di luar Teluk Ambon dengan karakter ombak yang langsung memecah
keras akan mempunyai gaya suara yang berbeda pula. Kultur kehidu! pan pantai dan
laut mengajarkan orang Maluku akan ritme. Ilmu ritme itu secara natural terefleksikan
dalam musik perkusi Maluku seperti tifa atau tutubuang.
"Orang mendayung sampan akan membentuk tempo. Begitu juga dengan tifa," jelas
Chris.
Begitulah bernyanyi, bermusik, dan aktivitas fisik kelautan menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari orang Maluku. Dalam perjalanan waktu, tata hidup itu
membentuk aktivitas berkesenian, yaitu bernyanyi serta aktivitas fisik berupa
olahraga.
"Makanya orang Maluku itu kalau tidak jadi penyanyi ya jadi petinju he-he...," canda
Bob Tutupoli.
Konon, menurut Bob, orang Maluku yang merantau ke luar daerah dan sukses
menjadi penyanyi atau petinju akan disambut ramai di ! kampung halaman, lebih dari
seorang presiden sekalipun.
Kultur bernyanyi itu semakin tertata oleh tradisi bernyanyi dalam tata peribadahan.
"Apa pun itu, setiap kali orang Maluku berkumpul pasti ada nyanyi-nyanyi. Kalau
tidak, mereka pasti langsung pada pulang," kata Bob yang populer dengan lagu Tiada
Maaf Bagimu sampai Widuri itu.
Kultur bernyanyi
Kultur bernyanyi terus hidup pada keluarga Maluku yang hidup jauh dari kampung
halaman. Bernyanyi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dengar cerita Harvey
Malaihollo tentang sang opa Bram Titaley yang pernah dikenal sebagai "buaya"
keroncong.
"Setiap hari sambil duduk-duduk, Opa bernyanyi sambil main ukulele," kenang Har!
vey akan Bram.
"Sore-sore sambil minum kopi, kami nyanyi-nyanyi bareng-bareng. Kadang malah
pakai mikrofon dan speaker," tutur Harvey yang mulai dikenal ketika memenangi
Bintang Radio dan Televisi pada tahun 1976.
Ibu Harvey pernah bergabung dengan empat saudara perempuan lainnya membentuk
Titaley Sisters. Mereka sempat muncul di TVRI.
Lihat pula kultur bernyanyi pada keluarga Tetelepta. Keluarga ini mempunyai
nona-nona Salomina, Agustina, Yuliaty, Estherlina. Mereka pada pertengahan era
1970-an membentuk Lex's Trio.
"Begitu bangun tidur, orangtua kami sudah bersenandung," tutur Estherlina (50) atau
Lien.
"Di rumah, dalam suasana s! uka atau duka, kalau kami kumpul pasti nyanyi," kata
Lien yang berposisi pada suara tiga dalam Lex's Trio.
Pentas musik pop
Kultur bernyanyi keluarga Maluku kemudian melebar ke lingkup yang lebih luas, yaitu
ke belantika musik Tanah Air. Pada setiap dekade selalu muncul seniman berdarah
Maluku. Hajatan musik Java Jazz Festival 2006 sampai membuat program khusus
Moluccan Night sebagai catatan akan kontribusi seniman berdarah Maluku pada
musik Tanah Air.
Acara diisi dengan penghormatan untuk John Pattirane. Ia adalah penulis lagu yang
diam-diam telah mengajari anak negeri ini bernyanyi lewat lagu ciptaannya, seperti
Tanase, Buka Pintu, Huhate, Ayo Mama, Waktu Hujan Sore-sore, Lembe-lembe,
Sudah Berlayar, sampai Goro-gorone.
Ada pula Tribute to Chris Kayhatu. Chris pada era 1980-an meramaikan belantika
musik Tanah Air era awal 1980-an lewat kelompok Funk Section yang sedang dilanda
gaya pop jazz. Chris yang meninggal pada tahun 1991 dalam usia 34 tahun itu
memopulerkan lagu berbahasa Ambon, yaitu Rame-Rame dan Enggo Lari.
Seniman Maluku dari masa ke masa terus menyumbangkan bakat untuk musik di
Tanah Air. Di era 1930-an, Bram Titaley merajai kontes nyanyi di Pasar Gambir,
Batavia. Era 1970-an Bram dikenal sebagai penyanyi dalam kelompok Hawaiian
Seniors yang sering muncul di TVRI.
Era 1960-an Enteng Tanamal dikenal sebagai gitaris andal yang pernah tergabung
dalam band Panca Nada. Era tersebut juga memunculkan Pattie Bersaudara yang
terdiri dari Silvy dan Nina. Selain dikenal lewat lagu Paradiso atau ! Cinta Pertama,
Pattie juga populer lewat lagu berbahasa Ambon seperti Huhate dan Ouw Ulate.
Untuk bernyanyi dalam bahasa Ambon, Silvy dan Nina yang lahir di Yogyakarta itu
harus belajar keras lafal bahasa Ambon. "Kalau salah ucap bisa dimarahin orang
Ambon hi-hi...," kenang Silvy.
Era awal 1970-an muncul Broery Marantika lewat lagu Angin Malam ciptaan A
Riyanto. Pria kelahiran Ambon, 25 Juni 1948, itu dua kali berturut-turut pada tahun
1973 dan 1974 menjadi juara Festival Lagu Populer Tingkat Nasional (FLPN). Suara
Broery terus menghiasi belantika musik hingga akhir hayatnya pada 7 April 2000
dalam usia 52 tahun.
Era 1970-an juga dimeriahkan oleh Melky Goeslaw, lelaki asal kampung Buli,
Ternate, yang ketika kelas empat Sekolah Rakyat pernah nyanyi di depan Bung
Karno yang berkunjung ke Ternate pada tahun 1956. ! Ia merantau ke Jakarta pada
tahun 1959. Pada tahun 1975 Melky memenangi kontes nyanyi FLPN dengan lagu
Pergi Untuk Kembali ciptaan Minggus Tahitu.
Minggus Tahitu adalah nyong Ambon produktif menulis lagu sejak zaman Pattie
Bersaudara. Belakangan Pergi Untuk Kembali populer kembali lewat suara Ello, anak
Minggus.
Muncul pula Ade Manuhutu pelantun Nona Anna itu, Lex's Trio, Grace Simon, Franky
Sahilatua, kelompok vokal Andarinyo, Masnait, sampai Pahama, trio yang
memopulerkan lagu Kidung.
Dekade 1980 muncul nama Utha Likumahuwa adik kandung Benny Likumahuwa,
Chris Kayhatu, Hendry Manuputti, Ruth Sahanaya, dan Jopie Latul. Era 1990-an
muncul Andre Hehanusa. Pada era 2000 muncul trio Mollucas, Glen Fredly, serta
Ello.
Glen Fredly (30) saat ini sedang menjadi bintang di pentas pop. Glen mengaku
terinspirasi oleh seniornya seperti Jopie Latul dan Broery Marantika. Ketika kelas
satu SMA, Glen yang menjadi anggota paduan suara pernah berjumpa dengan
Broery. Glen mengaku merasa seperti disapa "dewa".
"Seluruh orang Ambon pengen nyanyi kayak Broery. Kalau dia turun ke Ambon, ah,
udah kayak dewa!" seloroh Glen.
Pentas jazz juga dimeriahkan Benny Likumahuwa, Oele dan Jackie Pattiselanno,
Jeffrey Tahalele, Karim dan Awat Suweleih, Yance Manusama, Margie Segers, juga
Didi Pattirane adik John Pattirane yang pernah menjadi gitaris pada orkestra pengiring
Frank Sinatra.
Terus bernyanyi
Di luar batas-batas geografis Indonesia, seniman berdarah Maluku juga bermusik.
Tersebutlah antara lain Daniel Sahuleka, lelaki kelahiran Semarang yang kini
bermukim di Belanda. Di Java Jazz, konser Daniel dipadati pengunjung yang serentak
melantunkan lagu Don't Sleep Away The Night dan You Make My World So Colorful.
Java Jazz juga menampilkan Massada, kelompok musik dari Belanda yang diawaki
keturunan Maluku, yaitu Jopie Manuhutu, Johnny Manuhutu, Alvin Manuhuwa, dan
Nipi Noya. Mereka menggunakan alat musik Maluku seperti tifa dan tumbu.
"Akar Maluku kami sudah ada dalam darah. Kami sudah main di seluruh dunia,
kenapa nggak main di rumah sendiri. Rasanya, kami seperti pulang kembali," kata
John Manuhutu dalam bahasa Indonesia.
Naluri bernyanyi terus hidup di tengah kon! disi Tanah Air yang, mungkin, tak
segemah ripah dulu. Mereka seperti mengajak negeri ini bernyanyi dalam suka dan
duka. "Dunia ini rasanya damai kalau kita bernyanyi," kata Lien Tetelepta. Amin.
(Dahono Fitrianto/ Edna Pattisina)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|