KOMPAS, Jumat, 17 Maret 2006
Bara Itu Akhirnya Memercikkan Api
Bara di Papua mulai memercikkan api. Peristiwa menyayat hati dan merobek rasa
kebangsaan ini merupakan puncak dari serangkaian aksi protes yang sudah
berlangsung hampir dua pekan belakangan ini, mulai dari Jakarta, Jayapura, hingga
Timika, Kabupaten Mimika, tempat perusahaan tambang raksasa internasional, PT
Freeport Indonesia, beroperasi.
Kamis (16/3) kemarin, massa yang tergabung dalam Front Pembebasan Masyarakat
Papua Barat bentrok dengan polisi di depan Kampus Universitas Cenderawasih,
Abepura, 12 kilometer barat Kota Jayapura. Akibatnya, tiga anggota Brimob
Kepolisian Daerah Papua dan seorang anggota TNI Angkatan Udara tewas dikeroyok
massa, di samping 19 anggota polisi lainnya luka-luka. Dari pihak massa, sekitar
empat orang luka-luka.
"Percikan api" muncul pada titik di mana orang Papua merasa bosan dengan
janji-janji—pada setiap keterlibatan bangsa ini dalam menyelesaikan persoalan
mereka. Mulai dari kecemburuan sosial, pelanggaran hak asasi manusia (HAM),
sampai soal ketidakadilan ekonomi.
Ketika kompleksitas persoalan Papua belum terpecahkan, warga Papua melihat
kegiatan PT Freeport Indonesia (FI) begitu menyilaukan. Di sana simbol kemakmuran
dunia itu begitu menggiurkan di tengah kemiskinan dan keterbelakangan.
Mereka lalu menuntut penutupan PT FI dan meminta kaji ulang kontrak dengan PT FI
sebab dinilai tidak berpihak kepada kepentingan Papua. "Kami ingin renegosiasi
kontrak karya terhadap pertambangan yang memiliki cadangan emas tertinggi di
dunia itu," kata Musa Tipagaw, Kepala Lembaga Adat Moni-Ugimba, tegas.
"Saya sepakat perjanjian kerja sama itu diteliti kembali sehingga adil bagi warga
Papua," ungkap Uskup Timika Mgr John Saklil beberapa waktu lalu kepada Kompas.
Siapa yang "bermain dan menumpang" di belakang rangkaian peristiwa mulai dari
pemblokiran di Mil 72 Tembagapura hingga peristiwa bentrokan kemarin barangkali
tidak terlalu sulit dipetakan.
"Mereka ingin mengambil bagian dari kue ekonomi dan sumber daya alam Papua,
menggunakan masyarakat Papua sendiri," ungkap anggota Perwakilan Komisi
Nasional (Komnas) HAM Papua, Fritz Ramandey. Warga pun terprovokasi oleh
pernyataan sejumlah elite politik di Jakarta itu.
Hanya saja kemarahan kepada PT FI terlihat seperti sebuah pelampiasan.
Bukan baru
Isu kehadiran PT Freeport bukanlah masalah baru sebab perusahaan tambang
raksasa Amerika Serikat itu sudah berada di sana sejak tahun 1967.
Akumulasi dari berbagai rasa ketidakadilan, rasa ketertinggalan, dan rasa tidak
dipedulikan akhirnya ditumpahkan kepada PT Freeport. Mengapa PT Freeport yang
dijadikan sasaran kemarahan?
PT Freeport merupakan satu-satunya perusahaan besar yang ada di daerah itu.
Meski tidak muncul ke permukaan secara terbuka, motif ekonomi di belakang
ramai-ramai isu PT Freeport amat terasa kental. Sejak lama memang perusahaan
tersebut menjadi rebutan karena memiliki konsesi atas deposit tembaga dan emas
terbesar di dunia.
Sekarang PT FI dikabarkan akan melepas 10 persen sahamnya yang ada di PT
Indocopper Investama Corporation. Tidak mengherankan kalau muncul lebih dari satu
peminat dan tentunya setiap pembeli memiliki naluri alamiah, harga saham murah.
Bagaimana caranya? Apakah skenarionya seperti proses divestasi saham PT Kaltim
Prima Coal beberapa tahun lalu?
Terpinggirkan
Terlepas dari goreng-menggoreng saham, baik "kasar" atau "halus", sepanjang tidak
menyentuh persoalan rakyat Papua, perpindahan kepemilikan saham di PT Freeport
tidak akan memberi manfaat apa-apa bagi mereka. Kekayaan alam hanya dinikmati
segelintir orang, sementara masyarakat Papua terpinggirkan di tanah leluhurnya.
"Malah sekarang tiba pada suatu kesimpulan, biarlah kami mengurus diri sendiri.
Persoalan merdeka atau tidak merdeka, itu soal lain. Tetapi, fenomena yang ada di
daerah paling timur republik ini adalah demikian. Ini bukan isu warung kopi," ujar John
Saklil.
Karena itu, persoalan ini semestinya ditangani sebaik mungkin sehingga tidak
semakin rumit. Namun, pemerintah sepertinya lamban merespons aspirasi itu.
Dalam kasus HAM, lanjut John Saklil mencontohkan, hampir semua keluarga di
Papua tahu perilaku sejumlah aparat keamanan. Sebagian besar warga pernah
mengalami kekerasan militer. Kasus pembunuhan atau peperangan, pelecehan, dan
pemerkosaan berjalan setidaknya sejak tahun 1997 hingga kini. Ini merupakan trauma
kolektif rakyat yang sangat menyakitkan dan sulit disembuhkan.
Hal lain yang juga memprihatinkan mereka, di kampungnya sendiri warga merasa
tidak aman dan tidak bebas bergerak. Di satu kecamatan yang kini menjadi tempat
operasi PT FI, semua komponen aparat keamanan ada di sana. Seluruh kawasan PT
FI itu seperti daerah operasi militer. Masyarakat berhadapan dengan aparat dan tidak
bisa berbuat apa-apa.
Jadi, pantaskah kalau mereka mengatakan merasa tidak aman dan tidak bebas hidup
di tanah sendiri? (Dedi Muhtadi)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|