KOMPAS, Selasa, 21 Maret 2006
Saham untuk Martabat Rakyat Papua
Toto Sugiarto
Aksi protes dalam rangka menuntut hak rakyat Papua akhirnya memakan korban.
Tiga anggota Polri dan seorang anggota TNI AU tewas dalam bentrokan antara aparat
dan pengunjuk rasa anti-PT Freeport. Tindakan anarki dan kekerasan itu tentu saja
memunculkan keprihatinan mendalam.
Namun, langkah penyelesaian hendaknya tidak hanya menangkap dan mengadili
pelaku pembunuhan aparat saja. Pemerintah perlu menelusuri akar masalahnya.
Aparat! di lapangan hanya menjalankan tugas dari atasan yang tidak mungkin mereka
tolak. Mereka adalah korban, sama seperti rakyat Papua yang merupakan korban
syahwat kekuasaan dan kerakusan penguasa.
Pemerintah hendaknya jangan menutup telinga dari "teriakan" sebagian rakyat Papua
yang minta keadilan. Mereka menilai kehadiran PT Freeport tidak memberikan
keuntungan apa pun bagi rakyat setempat. Alih-alih memberikan keuntungan, PT
Freeport bagi sebagian rakyat Papua hanya menyisakan limbah dan kerusakan alam.
Sementara setiap hari mereka melihat berkuintal-kuintal emas diangkut entah ke
mana dengan nilai miliaran dollar AS.
Serigala bagi rakyat
Dalam pandangan sebagian orang Papua, kondisi sekarang sangat keterlaluan.
Perusahaan asing dengan mudahnya mengeruk emas bernilai miliaran dollar AS.
Mereka beroperasi di bawah jaminan keamanan penuh dari aparat. Sementa! ra pada
saat orang Papua sendiri mengais sisa-sisa pertambangan tersebut malah dicegah
dan dilarang, bahkan ditembaki aparat keamanan.
Perlakuan ini sungguh amat menyakitkan hati dan merendahkan martabat bangsa.
Bagaimana bisa pemerintah dan aparat negara bertindak seperti serigala bagi
rakyatnya sendiri dan menghamba bagaikan budak kepada perusahaan asing?
Bukankah alasan rasional bergabungnya manusia atau kelompok manusia ke dalam
suatu negara adalah untuk memelihara hak hidup dan kehidupan mereka? Bagaimana
bisa pemerintah menempatkan diri berhadapan dengan rakyatnya dalam rangka
melindungi bisnis kapitalis asing?
Keuntungan pemerintah pun amat kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diraup
PT Freeport-McMoRan. Dilihat dari jumlah saham saja sudah tidak signifikan.
Pemerintah Indonesia hanya memiliki 9,36 persen saham, bandingkan dengan saham
yang dimiliki PT Freeport-McMoRan sebesar 81,28 persen. Itu pun pemerintah harus
menjadi tameng PT Freeport-McMoRan.
Tak punya saham
Di sisi lain, rakyat Papua tidak memiliki saham sama sekali. Mereka hanya diberi
belas kasihan sebesar 1 persen dari keuntungan. Bayangkan, rakyat lokal yang
secara turun-temurun mendiami daerah itu sekarang hanya menjadi pengemis yang
hidup dari belas kasihan yang diberikan orang asing, yang menjadi kaya dan
meraksasa dari hasil tambang daerah itu sendiri. Adalah wajar jika pada akhirnya
muncul kecemburuan dan amarah.
Untuk meredakan kecemburuan dan kemarahan rakyat Papua, pemerintah perlu
menunjukkan kepedulian yang tulus terhadap kesengsaraan mereka sekarang seraya
mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan. Karena itu, tidak cukup hanya
dengan pemberian 1 persen keuntungan bagi rakyat lokal.
Pemerintah perlu mengusahakan agar rakyat daerah tersebut t! urut memiliki saham,
misalnya, 10 persen. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah memiliki otoritas penuh
terhadap seluruh wilayah Republik, termasuk wilayah pertambangan di Papua.
Meskipun sudah terikat kontrak, bukan berarti pemerintah kehilangan kedaulatan di
wilayah tersebut.
Dengan memiliki saham, rakyat tidak perlu menjadi pengemis di tanahnya sendiri.
Mereka akan berada di posisi yang setara dengan PT Freeport McMoRan dan
pemerintah. Teknisnya, tentu saja tidak seluruh rakyat duduk dalam kepemilikan,
melainkan lembaga-lembaga tertentu representasi rakyat Papua, misalnya
lembaga-lembaga adat, MRP, DPRD, dan pemerintah daerah.
Keberadaan PT Freeport-McMoRan kelihatannya tidak terhindarkan karena memang
sudah terikat kontrak. Yang perlu diubah adalah eksistensi rakyat Papua, yang
sekarang sebagai pelengkap penderita, menjadi sesama pemain yang turut
menikmati kekayaan daerahnya.
Toto Sugiarto Peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS); Alumnus Program
Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|