KOMPAS, Senin, 23 Januari 2006
Sampah Membuat Ambon Tak Lagi Indah
Reny Sri Ayu Taslim
Sebenarnya pantai ini indah dan karang-karang bawah lautnya pun tak kalah indah
dari tempat diving di daerah lain. Dalam brosur tempat-tempat diving di seluruh dunia,
Latuhelut salah satu yang tercatat di dalamnya. Sayangnya sekarang banyak
sampah, kata seorang wisatawan asal Jakarta yang ditemui di Pantai Latuhelut,
Ambon, akhir Desember lalu. Wisatawan lain pun sepakat akan pendapat itu.
Si wisatawan bertutur soal perahunya yan! g dipakai pergi menyelam yang terhenti
karena baling-balingnya tersangkut sampah. Sampah juga ada di bawah laut yang
mengganggu keindahan bawah laut.
Persoalan besar
Di tengah situasi Ambon yang kian kondusif pascakonflik, sampah menjadi satu
bidang kehidupan yang terabaikan dan menjadi persoalan besar.
Mereka yang baru tiba di Ambon akan langsung mengeluhkan persoalan sampah.
Sampah ada di mana-mana. Di saluran air terbuka dan saluran tertutup, di sepanjang
pesisir pantai nyaris semua dinodai sampah.
Contoh nyata adalah saat petugas membersihkan saluran air tertutup di daerah Soya.
Di saluran sedalam satu meter dan lebar 1,2 meter sepanjang 100 meter, sampahnya
lebih dari 20 truk. Itu dari saluran sepanjang 100 meter. Bisa dibayangkan berapa
banyak sampah di seluruh saluran air, ujar Wali Kota Ambon Jopie Papilaya.
Jopie mengungkapkan, lebih dari 50 persen saluran air di dalam Kota Ambon dipenuhi
sampah mulai dari plastik, sisa bangunan, hingga lumpur. Sebagian menyumbat
saluran, sebagian lainnya mengalir ke laut dan mengotori pesisir pantai. Padahal,
Ambon adalah pulau yang dikelilingi lautan dan teluk.
Sekarang kalau ke pantai tidak indah lagi karena banyak sampah dan bau. Terutama
di muara, tumpukan sampah sangat banyak. Padahal dulu (Ambon) sangat bersih,
kata Insany, warga Desa Batu Merah.
Kondisi itu kian diperparah dengan minimnya sarana angkutan sampah Pemerintah
Kota Ambon. Dengan volume sampah 430 meter kubik/hari, dengan tiga truk, enam
dump truk, dan sembilan pikap yang ada, hanya sekitar 332 meter kubik atau 77
persen sampah yang terangkut per hari. Belum lagi bicara soal sampah di saluran.
Bisa diduga, kini sekecil apa pun hujan, akan segera! muncul genangan. Ini
merupakan pemandangan baru di Ambon.
Ancaman banjir
Akibat ikutan lainnya adalah ancaman banjir karena sebagian besar daerah resapan
air, sudah berubah menjadi permukiman. Hutan-hutan di kawasan hutan lindung dan
daerah hijau lainnya, banyak yang dibabat dan berganti menjadi permukiman
pengungsi. Pascakonflik, pola permukiman pun berubah, pengungsi yang
terkonsentrasi di dalam kota juga memiliki andil pada munculnya masalah sampah.
Budaya bersih pun hilang. Saya heran, pascakonflik warga Ambon kehilangan budaya
bersihnya. Saya heran, dulu warga di sini terkenal pembersih, rapih, dan mencintai
keindahan, kata Jopie. Dia menegaskan akan membuat peraturan yang bisa bersifat
terapi kejut.
Dia mengakui, fokus pemerintah pascakonflik adalah pemulihan trauma konflik dan
mengembalikan hubungan antarwarga yang bert! ikai. Banyak hal terabaikan.
Setelah situasi mulai kondusif dan hubungan antarwarga mulai pulih, fokus beralih ke
sektor ekonomi. Pascakonflik warga hidup dalam ketidakteraturan.
Pemkot Ambon bekerja sama dengan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP)
untuk sistem pengelolaan sampah terpadu. Sampah plastik akan dijadikan bahan
baku untuk industri, sementara sampah organik dibuat pupuk. UNDP memberi dana
hibah 8 juta dollar AS.
Lokasinya kami pilih di Toisapu seluas lima hektar. Setidaknya dalam tiga bulan ke
depan bila amdal sudah selesai, kami akan segera membangun Instalasi Pengelolaan
Sampah Terpadu di tempat itu, kata Jopie. Soal drainase, akan dijajaki kerja sama
dengan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|